Rumitnya Melanjutkan, Mudahnya Perubahan
Oleh: Fathorrahman Fadli
Thomas Alfa Edison mengaku tak sudi menerima kegelapan. Apalagi harus melanjutkan kegelapan. Ia lebih suka dunia yang terang benderang. Dalam riwayat yang lain, anak miskin yang menjadi masyhur itu, juga mengaku bosan dengan kegelapan. Kegelapan baginya adalah penuh kepalsuan. Bagaimana mungkin sang penemu listrik pertama dunia itu sudi mempertahankan dan melanjutkan kepalsuan. Bagi para pemilik akal sehat, akan memiliki nalar yang sama dengan Thomas Alfa Edison yang berkarakter itu. Akal sehat Thomas itu hanya membutuhkan dukungan untuk sebuah perubahan. Dari dunia yang gelap gulita menuju dunia yang terang benderang. Sedangkan para penganut akal bengkok akan selalu mencari alasan demi alasan untuk menutup kepalsuan dan menggelar kegelapan.
Kepalsuan memang melahirkan bencana dan pemborosan. Kepalsuan selalu bekerja di ruang gelap yang tidak pernah efektif melahirkan produk yang betul-betul dibutuhkan manusia dan kemanusiaan. Kepalsuan membutuhkan alasan yang diproduksi secara massif untuk menutup sejumlah kebenaran dalam ruangan yang selalu terang benderang. Kepalsuan membutuhkan pikiran iblis yang meracuni manusia dalam kesesatan berfikir. Kesesatan berfikir hanya memproduksi dusta, kemunafikan dan pemborosan.
Oleh karena itu, jika anak-anak bangsa mengikuti jalan pikiran yang sesat, maka jelas bangsa itu tidak pernah akan menerima harapan. Yang pasti bangsa itu hanya layak menerima penyesalan. Penyesalan selalu datang dikemudian hari, sedangkan harapan bisa kita rancang mulai saat ini, esok hari dan waktu yang akan datang. Dalam nalar yang seperti itu Thomas Alfa Edison bekerja dari hari ke hari, dari percobaan yang satu ke percobaan ilmiah yang lain. Andai saja ia berhenti melakukan perubahan, maka sudah pasti dunia tetap gelap gulita. Namun karena Thomas tak lelah melakukan eksperimennya, maka harapan akan dunia yang terang benderang itu muncul dan bisa kita nikmati hingga saat ini. Thomas menemukan listrik yang mengubah dunia dari gelap menjadi terang.
Perubahan hanya butuh dukungan
Dalam konteks kita berbangsa dan bernegara, akal sehat untuk menjemput dunia yang terang benderang itu memang tidak harus dilakukan oleh banyak orang. Cukup satu dua orang yang bekerja secara serius memikirkannya, sedang yang lain hanya cukup untuk memberinya dukungan. Ide akan perubahan, tidak mungkin dipikirkan oleh orang banyak, namun tetap membutuhkan dukungan akal sehat dari orang banyak.
Akhir-akhir ini, ketika bangsa Indonesia sedang larut dalam pertikaian yang diakibatkan oleh aksi dukung mendukung kandidatnya sebagai calon presiden pada 2024 itu, ada baiknya kita sama-sama kembali berfikir dengan akal sehat. Akal sehat sudah pasti secara akurat mampu membawa harapan dan kemajuan. Sedangkan akal-akalan yang hanya ingin menang sendiri, hanya akan bertemu dengan rasa malu karena selalu bekerja melawan fakta-fakta dan kenyataan hidup yang semestinya terjadi.
Provokasi, agitasi, saling menjelekkan satu kandidat dengan kandidat yang lain hanya akan mudah menjerumuskan bangsa ini ke dalam jurang kebodohan dan kemiskinan sekaligus. Contoh yang mutakhir adalah kasus ekspor nikel illegal 5 juta ton melayang tanpa pemerintah mengetahui siapa pelakunya; maling atau justru ‘petugas negara’ yang melakukannya dengan berpura-pura tidak tahu. Lalu untuk apa petugas Negara itu kita gaji dengan uang rakyat jika terhadap tugas-tugasnya itu mereka mengaku tidak tahu. Lalu dimana akal sehatnya itu diletakkan. Ini hanya contoh kepalsuan yang bekerja diruang gelap. Apa hal-hal yang seperti ini mesti kita lanjutkan? Oh my God! Dengan tegas harus kita katakan tidak!
Kembali Menjadi Bangsa Normal
Secara psiko-sosial, bangsa ini sejatinya terbilang berada pada kondisi yang lumpuh. Lumpuh akibat menanggung beban hutang yang besar, kemiskinan meningkat dengan cepat, ekonomi stagnan tak bergerak wajar, saling tuding, serta rendahnya kepekaan atau sensitifitas kita untuk membela bangsanya sendiri. Bangsa ini adalah bangsa yang sangat kaya raya, potensi alamnya luar biasa besar untuk menghidupi secara baik seluruh rakyatnya. Namun pada detik yang sama kita kehilangan kekuatan untuk menahan laju angkara murka segelintir orang tamak dan rakus. Orang yang tak tahu diri bahwa tindakan tamak itu telah memenjarakan bangsanya terjebak dalam kubangan utang yang kian berat.
Orang yang tidak punya malu bahwa tindakannya itu telah menjual kekayaan bangsanya secara sadistik, lalu mereka telah menghilangkan harapan akan munculnya senyum generasi anak-anak bangsa pewaris negeri ini. Apa sebab? Kekayaan bangsa mereka telah dijual atas nama konstitusi yang mereka tabrak lari, atas nama kepentingan nasional yang dipalsukan, atas nama pembangunan infrastruktur yang mereka ubah dari milik publik rakyat menjadi milik pribadi. Sehingga rakyat dui negeri yag katanya berdaulat ini terpaksa harus keluar duit ratusan juta dalam setahun hanya untuk melintasi daerah di negerinya sendiri. Apa hal seperti ini harus dilanjutkan?
Apakah negara atas nama infrastruktur telah berubah menjadi perampok uang rakyat yang sistematis? Apakah negara telah menjadi monster perampas uang rakyat dari dompet mereka secara setengah sadar? Apakah negara telah berubah menjadi sekumpulan penjahat yang bekerja memiskinkan rakyatnya melalui undang-Undang tanpa nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab? Apakah Negara telah berubah menjadi perampok uang rakyat yang dikemas melalui serentetan pajak yang beraneka rupa itu? Bagaimana mungkin rakyat bisa sejahtera, jika dan hanya jika rakyat dipaksa terus mengeluarkan uangnya sendiri di tengah ekonomi mereka yang semakin terpuruk?
Untuk itulah, ada baiknya kita kembali menjadi bangsa yang normal. Tidak mungkin kita sebagai bangsa disuruh melanjutkan sejumlah kepalsuan rezim yang tidak berakal sehat ini. Tidak mungkin kita dipaksa melanjutkan sejumlah pengkhianatan yang bertumpuk dan menyesakkan dada dan akal sehat kita sebagai bangsa. Sebab bangsa ini membutuhkan harapan dan dunia yang terang benderang, sebagaimana spirit Thomas Alfa Edison, sang penerang dunia itu. Selamat menggunakan akal sehat.
Advertisement