Meiliana Tak Seharusnya Dipenjara, Ini Alasan Yenny Wahid
Yenny Zannuba Wahid, menyayangkan putusan hakim karena menghukum Meiliana, seseorang yang seharusnya tidak dihukum. Menurut Direktur Wahid Foundation ini, memperkecil volume pengeras suara dari masjid bukanlah penodaan agama sebagaimana dirujuk pasal 156a KUHP.
"Vonis Meiliana ini jelas tidak mencerminkan rasa keadilan, sementara para pelaku kerusuhan justru divonis paling tinggi 2 bulan 18 hari. Meiliana jelas menunjukan dirinya sebagai korban dari pelintiran kebencian yang menyebabkan kerusuhan di Tanjung Balai," tuturnya pada ngopibareng.id, Jumat 24 Agustus.
Seperti ditulis ngopibareng.id, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan, menyatakan Meiliana, terbukti bersalah, Selasa 21 Agustus lalu. Seorang ibu rumah tangga berdarah Tionghoa dan beragama Buddha asal Tanjung Balai, ini dinilai melanggar Pasal 156a KUHP dan dipenjara satu tahun enam bulan.
Dalam pasal tersebut berbunyi, “sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
"Atas nama keadilan, meminta hakim dalam proses banding membebaskan Meiliana. Hakim tidak boleh tunduk pada tekanan massa dan semata-mata berpegang pada prinsip kebenaran dan keadilan," kata Yenny Wahid.
Kasus ini bermula dari obrolan Meiliana dengan seorang pada Jumat pagi, 22 Juli 2016. Meiliana meminta tetangganya memberi tahu agar pengurus masjid BKM Al-Makhsum mengecilkan volume pengeras suara. Masjid itu dekat tempat tinggal Meiliana di Jalan Karya, Lingkungan I, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Tanjung Balai Selatan, Tanjung Balai.
Permintaan itu akhirnya sampai ke telinga pengurus Masjid Al-Makhsum. Pihak pengurus lantas mendatangi dan menanyakan permintaan perempuan itu. Pertemuan itu sempat memanas lantaran pengurus tak terima dengan sikap Meiliana yang menyoal volume.
Suami Meiliana, Lian Tui, sempat mendatangi masjid dan meminta maaf atas peristiwa itu. Tapi isu sudah terlanjur menyebar. Di media sosial, beredar informasi keliru, Meiliana melempari masjid, mengusir imam, dan menghentikan salat maghrib. Itu semua tidak benar. Massa tak terima dengan sikap Meiliana dan mendatangi rumah Meiliana dan merusaknya. Amuk massa meluas. Sejumlah vihara dan klenteng berikut sejumlah kendaraan di kota itu dirusak dan dibakar.
Polisi menangkap pelaku kerusuhan. Delapan orang diajukan ke pengadilan. Pada 23 Januari 2017, Hakim Pengadilan Negeri Kota Tanjung Balai memvonis mereka dengan hukuman rata-rata 1 bulan. Hukuman paling tinggi diterima Zakaria Siregar, pelaku berstatus mahasiswa yang dituntut lima bulan dan akhirnya divonis 2 bulan dan 18 hari.
"Vonis Meiliana ini jelas tidak mencerminkan rasa keadilan, sementara para pelaku kerusuhan justru divonis paling tinggi 2 bulan 18 hari. Meiliana jelas menunjukan dirinya sebagai korban dari pelintiran kebencian yang menyebabkan kerusuhan di Tanjung Balai," kata Yenny Wahid.
Pada bagian lain, secara tegas, Wahid Foundation menyampaikan pernyataan sikapnya.
"Atas nama keadilan, meminta hakim dalam proses banding membebaskan Meiliana. Hakim tidak boleh tunduk pada tekanan massa dan semata-mata berpegang pada prinsip kebenaran dan keadilan," kata Yenny Wahid.
Selanjutnya proses mediasi dapat dilakukan oleh Meiliana dan masyarakat untuk terus membangun rasa saling pengertian dan kesepahaman.
Kasus serupa ini pernah terjadi di Banda Aceh dalam Kasus Sayed Hasan (75 tahun). Ia akhirnya menggugat Kemenag Banda Aceh, Ketua MPU Banda Aceh, hingga pengurus masjid dekat rumahnya. Pengeras suara itu mengganggu dirinya yang punya penyakit jantung dan hipertensi. Kasus ini akhirnya berakhir dengan kesepakatan tidak melanjutkan proses dan pengurus masjid mengatur volume pengeras suara.
Yenny Wahid menegaskan, pihaknya mendesak DPR RI menghapus Pasal 156a KUHP. Pasal ini terbukti terus memakan korban. Laporan Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan dan Politisasi Agama tahun 2017 yang dikeluarkan oleh Wahid Foundation mencatat telah terjadi 18 tindakan kriminalisasi berdasarkan Agama atau keyakinan oleh Negara dan 10 tindakan oleh non-Negara. Sebagian besar menggunakan pasal 156a. Korban penodaan ini beragam, dari pejabat hingga guru sekolah.
Selain itu, pihaknya mendesak Kepolisian dan Kejaksaan tidak lagi menggunakan pasal 156a KUHP dalam memproses laporan-laporan masyarakat. Sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan MK dalam uji materi UU PNPS tahun 1965, ukuran-ukuran penodaan agama dalam UU tersebut tidak terlalu jelas dan kadang diterapkan secara tidak tepat.
"Kami mengimbau tokoh agama dan masyarakat untuk terus mengedepankan dialog dan sikap kasih sayang dalam merespons dan mengatasi isu-isu sensitif berbasis agama dan keyakinan. Kasus Tanjung Balai menunjukan bahwa bahaya terbesar adalah berita palsu dan pelintiran kebencian yang menyebabkan amarah massa," tegas Yenny Wahid. (adi)