Meikarta, Sudahlah Yang Waras Ngalah Saja
PEPATAH money can’t buy everything tak berlaku bagi pengembang sekelas Lippo. Dengan kekuatan uang di tangan, pengembang kota Meikarta ini bisa membeli segalanya. Penguasa, Media, citra, penghargaan, dan apa saja yang mereka inginkan.
Hanya bermodal jualan mimpi, ditopang dengan publikasi dan iklan besar-besaran di semua platform media, Meikarta panen berbagai penghargaan.
Strategi ini mengingatkan kita pada doktrin Menteri Propaganda Nazi Jozef Goebbels "Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya!”
Senin (11/9) Meikarta memperoleh penghargaan di ajang Golden Property Award 2017 yang diselenggarakan oleh Bank Tabungan Negara (BTN) dan Indonesia Property Watch (IPW).
Meikarta dinilai sebagai sebuah proyek yang berhasil mendorong dan menggairahkan industri properti yang sedang lesu. Karenanya Meikarta mendapat penghargaan dalam kategori Best Innovative Marketing Strategy, sebagai Breaktrough Phenomenal Marketing Campaign.
Sepekan sebelumnya, Selasa (29/8) Meikarta mendapat penghargaan dalam kategori Inovasion Award bidang pemasaran dari harian Sindo. Yang menyerahkan penghargaan tersebut CEO MNC Hary Tanoesoedibjo. Hanya dalam empat bulan penjualan, Meikarta disebut-sebut berhasil menjual 120.000 unit apartemen.
Beberapa bulan sebelumnya (13/5) Musium Rekor Indonesia (MURI) memberi penghargaan karena dalam penjualan perdana langsung terjual 16.800 unit.
Lengkap sudah, semua berada dalam genggaman Meikarta. BTN adalah bank yang saham mayoritasnya dimiliki oleh Kementrian BUMN. Jadi BTN adalah institusi dan representasi negara.
Sindo adalah bagian dari konglomerasi group Media Network Corporation (MNC) milik taipan Hary Tanoesoedibjo yang memiliki semua platform media, mulai dari tv, radio, media cetak dan media online.
Hary Tanoe dalam Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017 yang mendukung Prabowo dan Anies-Sandi berada dalam kubu yang berseberangan dengan James Riady yang menjadi pendukung utama Jokowi dan Ahok.
Penghargaan yang diberikan MNC kepada Meikarta bisa menjadi signal adanya rekonsiliasi secara bisnis dan politik, dua kekuatan pemodal raksasa itu. Partai Perindo milik Hary Tanoe beberapa waktu lalu sudah menyatakan akan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Dengan begitu dia akan berada dalam satu kubu dengan James Riady dan barisan taipan lainnya.
Media-media besar lainnya sekelas Kompas dan Tempo naga-naganya juga sudah berada dalam genggaman. Silakan dicermati artikel, berita, apalagi advertorial tentang Meikarta di kedua media tersebut. Rasanya agak sulit untuk tidak menaruh curiga, semuanya berkaitan dengan gelontoran iklan yang membuat kedua media tersebut sulit untuk bersikap independen, apalagi bersikap kritis.
Meikarta bagi media cetak yang sedang menghadapi problem penurunan oplag dan tentu saja penurunan porsi kue iklan, sungguh merupakan sebuah berkah yang patut disyukuri. Teori tembok api (firewall) yang menjadi batas suci yang tidak boleh dilanggar untuk menjaga independensi redaksi dari kepentingan bisnis, tinggal lah teori. Ketika kepentingan bisnis yang bicara, teorinya berbeda lagi. Ini soal kelangsungan hidup, atau mungkin juga soal keserakahan.
Jadi jangan kaget bila Meikarta juga mendapat penghargaan dari organisasi atau asosiasi media sebagai "Dewa penyelamat media Award," karena besarnya belanja iklan mereka. who knows?
Logika bisnis dan akal sehat
Coba perhatikan, semua penghargaan Meikarta adalah dalam bidang marketing. Padahal secara legal formal dan etika, justru marketing alias penjualan inilah jadi masalah utama. Wagub Jabar Deddy Mizwar menyebut Meikarta melakukan penipuan dan bisa menjadi masalah pidana, karena menjual barang yang belum berizin.
Lembaga Ombudsman Indonesia bahkan bersuara keras agar iklan dan penjualan Meikarta dihentikan karena melanggar UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Selain berbagai perizinan seperti Amdal dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang belum mereka kantongi, iklan Meikarta juga terlalu bombastis tidak berdasarkan fakta.
Dalam berbagai iklan dan brosurnya Meikarta menyebut lahan yang dijanjikan kepada konsumen seluas 500 hektar. Luas taman atau central park yang akan mereka bangun seluas 100 hektar. Padahal lahan berizin yang mereka miliki hanya seluas 84, 6 hektar.
Bos Lippo James Riady ketika hadir dalam acara BTN Golden Property Award menyebut, sudah ada 130.000 orang pembeli apartemen Meikarta. Namun James juga mengakui bahwa perizinan mereka belum beres.
Bagaimana nasib dengan para pembeli mimpi ini, bila sampai urusannya tidak jelas. Inilah yang sangat dikhawatirkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Ombudsman RI bahkan mengingatkan masyarakat agar tidak melakukan transaksi apapun dengan Meikarta. “Jangan melakukan pembayaran down payment, uang muka, atau bahkan sebatas booking fee. Bagi yang sudah telanjur berhak meminta pengembalian dana,” tegas komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih.
Seperti pepatah anjing menggonggong, kafilah berlalu, peringatan dari Pemprov Jabar, Ombudsman RI dan YLKI, diabaikan begitu saja. Pemerintahan Jokowi sampai sekarang tak sepatah kata pun terdengar komentarnya. Yang sering kita dengar adalah mantra sakti yang berulang kali dirapal Jokowi, investasi jangan sampai terhambat peraturan.
Penghargaan dari berbagai lembaga, termasuk dari sebuah bank milik BUMN tadi menunjukkan bahwa pepatah _money can’t buy everything,_ sudah ketinggalan zaman. Realitas hari ini money can buy everything.
Lippo secara agresif terus memasarkan penjualan Meikarta dan menggelontor media dengan iklan gila-gilaan. Dengan bungkamnya media mainstream dan tak berdayanya lembaga-lembaga pemerintah, kita tinggal bisa berharap masih ada akal sehat yang bekerja.
Dalam situasi seperti ini ada baiknya mengingat apa yang pernah dikatakan oleh pejuang persamaan hak di Amerika Serikat Dr Marthin Luther King Jr “It may well be that we will have to repent in this generation. Not merely for the vitriolic words and the violent actions of the bad people, but for the appalling silence and indifference of the good people who sit around and say, “Wait on time.”
Barangkali generasi (kita) ini harus bertobat. Bukan hanya karena perkataan kasar dan aksi tindak kekerasan dari orang jahat, tapi karena orang-orang baik banyak yang memilih diam dan tidak peduli. Mereka memilih duduk bergerombol sambil berkata, “tunggu waktu yang tepat.”
Dalam bahasa lain, sikap seperti ini sudah sering kita dengar “Yang merasa waras, ngalah saja”. Nah…
*Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik