SAYA tidak pernah bertanya langsung kepada Pak SBY – tentang apa sebetulnya yang menjadi penyebab, dia dimusuhi atau bermusuhan dengan Ibu Megawati Soekarnoputri. Karena kesempatan untuk bertanya seperti itu, tidak pernah tercipta. Selain itu, hubungan saya dengan SBY, tidak ada yang istimewa. Saya pernah satu pesawat dalam bisnis kelas ketika kami sama-sama ikut serta dalan rombongan Presiden Megawati ke New York, Amerika Serkat kemudian ke Tripoli, Libya, di tahun 2003. Saat itu SBY masih menjabat Menko Polkam dalam Kabinet Presiden Megawati -Hamzah Haz. Dalam posisi sebagai Menko Polkam, SBY juga pernah saya wawancarai untuk program “Nuansa Pagi” RCTI yang membahas tentang upaya pemerintah memerangi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Menjelang putaran kedua Pilpres 2004, SBY menggelar pertemuan di Hotel Mandarin, Jakarta. Yang menjadi moderator, Andi Mallarangeng. Ada pertanyaan yang saya ajukan kepada SBY tapi tidak dijawabnya. “Nanti kita bicara Bung Derek. Yah, saya kira kita memang perlu ketemu”, ujar SBY sembari terburu-buru meninggalkan Lantai Mezanie, Hotel Mandarin, Jakarta, dengan escalator, pulang. Setelah itu praktis tidak pernah bertemu, apalagi setelah SBY menjadi Presiden selama dua periode (2004 – 2009 dan 2009 – 2014). HIngga detik tulisan ini dibuat. Berbeda dengan Megawati. Kedekatan saya dengan suaminya, Tafuiq Kiemas, almarhum, membuat saya punya akses yang lebih mudah. Salah satunya, saya sempat menanyakan langsung kepada Megawati tentang mengapa putri Proklamator Bung Karno ini, terkesan begitu marah terhadap SBY. Jadi saya pernah menanyakannya langsung. Dan jawabannya pun saya dapatkan langsung. Sehingga saya bisa memahami, mengapa Mega demikian lama memendam amarahnya terhadap SBY. Jawaban Mega saya dapatkan saat Megawati sudah tidak lagi menjadi Presiden. Tepatnya ketika di suatu momen makan malam bersama di kediaman Jl. Teuku Umar, Jakarta Pusat. Yang makan malam di ruang makan keluarga, hanya kami bertiga : Mba Mega, Bang Taufiq atau TK dan saya. Saya lupa siapa yang memulai percakapan tentang hal yang ‘sensitif’ tersebut. Yang pasti sebelum makan malam, saya tidak punya rencana untuk berbicara seperti layaknya seorang wartawan. Saya ingin memperlakukan undangan pribadi Bang TK, sebagai sebuah kehormatan istimewa. Apalagi karena baru pertama kali saya makan malam bersama dengan bekas Presiden (Megawati) dan mantan Presiden Bayangan (Taufiq Kiemas), di kediaman pribadi. Momen langka itu tak boleh terganggu oleh percakapan yang sensitif. Hubungan Megawati dan SBY ketika itu, masih dipenuhi oleh aroma sensitif. Mega yang dikalahkan SBY dalam Pemilu Presiden 2004, merasa kalah tidak wajar. Ia punya catatan, “dicurangi” oleh kekuatan asing yang mendukung SBY. Soal campur tangan asing ini, didiamkan oleh Mega. Termasuk Taufiq yang tahu persis bagaimana Amerika Serikat secara tegas menyatakan, tidak lagi mendukung Megawati dalam Pilpres 2004. Mega maupun Taufiq sadar, diam adalah emas. Kalau ‘mempermasalahkan kecurangan’ tersebut, mereka bakal dituding sebagai politisi yang tidak sportif. Politisi yang tidak siap kalah. Pemimpin partai yang mencari-cari alasan yang tidak berdasar. Mega dan suami, sangat paham situasi kebatinan masyarakat Indonesia pasca Pemilu Presiden 2004. Eforia masyarakat yang merasa memiliki seorang Presiden yang berpostur tinggi besar dan ganteng, begitu kuat. Berkuasanya kembali seorang jenderal, dapat ditafsirkan sebagai sebuah keinginan masyarakat Indonesia yang tetap mau diperintah oleh militer. Namun di sela-sela makan malam dengan kuliner yang lezat, entah siapa yang memulai, tiba-tiba topik pembicaraan beralih ke soal serius. Padahal mulanya hanya seputar makanan dan kesehatan. Saya baru tahu bahwa selama Mega menjadi Presiden, makanan yang disajikan di rumah kediaman pribadi, semuanya disuplai oleh mertuanya Puan Maharani. Puteri tunggal Mba Mega dan Bang TK. Khusus tentang kesehatan yang dibahas antara lain bagaimana menyembuhkan berbagai penyakit yang tak terdeteksi oleh dokter, tapi dapat disembuhkan secara herbal atau alternatif. Pengobatan herbal itu berupa gigitan ular berbisa (kobra) di salah satu bagian organ tubuh manusia. Tentu saja dengan bantuan pawang ular. Kalau tidak salah nama pawangnya, Sartono, dari Jawa Tengah. Mba Mega dan Bang TK mengaku, sudah pernah diterapi seperti itu. Itu sebabnya keduanya menawarkan kepada saya terapi yang sama. Walaupun tidak disebutkan waktunya, saya menduga keduanya menjalani pengobatan gigitan ular berbisa, di tahunn 1990-an. Saat itu Mega masih berada di luar kekuasaan. Jadi tak akan ada yang peduli kalau Mega dan Taufiq kedapatan sedang berada di Jawa Tengah, mencari pawang ular untuk pengobatan. Keberadaan mereka di kampung-kampung tak akan menarik perhatian. “Penyakit apa saja bisa disembuhkan…..”, berkata kedua pasangan suami isteri tersebut, mencoba meyakinkan saya yang sudah memperlihatkan wajah penolakan. Mba Mega tertawa lepas, ketika saya beritahu bahwa saya takut. Sambil menggerak-gerakan tubuh bagian bahu, saya katakan, selain takut, saya juga merasa geli. Seperti saya katakan di bagian awal, entah siapa yang memulai pembicaraan tentang hal politik. Namun ketika pertanyaan saya tentang apa yang menyebabkan Mba Mega demikian marah kepada SBY, meluncur secara spontan saja. Iawaban atau penjelasan Mba Mega, secara logika dan akal sehat sangat dapat dimengerti. “Dia itu tidak sportif. Omongannya tidak bisa dipercaya. Kalau anda ingat, SBY itu kan sebelumnya dipecat oleh Presiden Gus Dur sebagai Menteri Pertambangan. Tapi saya angkat dia sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, setelah saya menggantikan Gus Dur”, tutur Mega. Masih menurut Mega, seusai dilantik sebagai Menko Polkam, pada tahun 2001, SBY sembari mengucapkan terima kasih, juga berbisik : “Saya akan kawal ibu hingga tahun 2009”. Di sini Mega menafsirkan SBY akan siap berjuang dengan Mega bukan hanya sampai tahun 2004. Melainkan periode berikutnya. Tahun 2004 – 2009. Nah ketika Mega memutuskan akan maju kembali dalamn Pilpres 2004, Mega mengajak SBY untuk menjadi pasangannya sebagai Wakil Presiden. Tapi SBY, menurut Mega menolak sambil menyampaikan ucapan terima kasih atas keinginan Mega merekrutnya sebagai calon Wapres. SBY beralasan dia cukup ingin menjadi anggota kabinet (Menteri) saja.Di saat yang hampir bersamaan Jenderal (Purn) AM Hendropriyono selaku Kepala BIN (Badan Intelejen Negara) memberi laporan bahwa ada tanda-tanda SBY sedang membangun partai baru. Partai ini akan dijadikannya sebagai kendaraan politik dalam Pilprs 2004. Mega kemudian memanggil SBY dan menanyakan langsung atas laporan tersebut. Tapi SBY membantah bersungut-sungut. Kenyataannya, SBY memang maju sebagai calon Presiden mewakili Partai Demokrat, partai yang baru didirikan oleh Ventje Rumangkang dkk. “Saya lebih menghargai orang seperti Yusril Ihza Mahendra”, ujar Mega.Dimana ketika Mega mengajaknya menjadi pasangan Wapres, Yusril menjawab, tidak bersedia namun dengan alasan yang jujur. “Maaf bu saya mau menantang ibu sebagai calon Presiden”, ujar Mega menirukan ucapan Yusril. Kekecewaan Mega terhadap SBY, nampaknya tidak karena alasan di atas saja. Sebab menurut Derry Kiemas, adik kandung Taufiq Kiemas, selama Mega menjadi Presiden, SBY merupakan salah seorang Menteri yang paling sering diajaknya berdiskusi di kediaman Jl.Teuku Umar. Ungkapan itu disampaikan Derry dalam sebuah obrolan santai, kami berdua. Obrolan santai itupun, tidak diniatkan untuk mencampuri urusan pribadi apalagi masalah Kebangsaan yang mendera Mega -SBY. Derry atau Ade merupakan adik kelas saya di Perguruan Tinggi Publisistik (PTP) Jakarta, di awal tahun 1970-an. Karena kedekatan kami – yang juga ikut membuat saya dekat dengan almarhum kakaknya, manakala kami bertemu, pembicaraan kami melintas berbagai bidang. Kalau bicara soal politik, cakupan kami bisa merembet sampai ke soal politik dalam dunia olahraga. Kalau menurut Derry, dia bisa memahami jika kakak iparnya - Mba Mega begitu marah terhadap SBY. Walaupun Derry tidak tinggal serumah dengan Mba Mega dan Bang TK, tetapi dia sering mendengar siapa saja Menteri dari Kabinet Mega – Hamzah Haz yang paling sering bertamu ke Teuku Umar. “Pak SBY itu, saya dengar, Menteri yang paling sering diterima Mba Mega sebagai Presiden, di kediaman pribadi. Kalau sudah dengan Pak SBY, katanya diskusinya selalu lama”, berkisah Derry Kiemas mengutip cerita dari bagian Rumah Tangga Teuku Umar. Walaupun cerita Derry hanyalah sebuah cerita ringan yang secara kebetulan muncul dalam percakapan kami pribadi, namun informasi itu, tetap saja saya gunakan untuk rujukan. Setidaknya saya punya kesimpulan sementara, di saat Mba Mega menjabat sebagai Presiden ke- 5 RI, SBY sebagai Menko Politik dan Keamanan (Menko Polkam) merupakan salah seorang anggota kabinet yang sangat dibutuhkan oleh Mega selaku Presiden. Dan saya berpikir, hal itu wajar. Sebab dari SBY sebagai seorang jenderal, bekas anak buahnya pemimpin Orde Baru, Mega sangat membutuhkan perspektif tentang berbagai masalah politik dan kemiliteran. Bagaimanapun, Mega sebagai seorang Presiden dari kalangan sipil dan ayahnya Bung Karno, seorang Presiden sipil yang dijatuhkan oleh kekuatan militer, sangat memerlukan pemikiran dari seorang petinggi militer kaliber SBY. Walapun tidak dikemukakan Mega, Taufiq atau siapa saja yang tahu “chemistry” PDIP, kekecewaan ataupun ketidak sukaan Mega semakin bertambah-tambah saat SBY merekrut seorang kader PDIP menjadi Menteri. Tahun 2007, SBY merombak kabinetnya, lalu Mayjen Mardiyanto sebagai Menteri Dalam Negeri. Bagi Mega ataupun PDIP, langkah SBY itu merupakan usaha penggembosan terhadap partai berlambang Banteng itu, secara disengaja. Sebab saat itu Mardiyanto sedang menjabat Gubernur Jawa Tengah dan bisa dikatakan satu-satunya jenderal yang menjadi Gubernur melalui jalur PDIP. Dipilihnya Mardiyanto sebagai Gubernur Jateng melalui rekomendasi DPP PDIP, harus mengorbankan kader PDIP yang sudah lama berkiprah di partai tersebut. Gara-gara Mega lebih memilih seorang jenderal menjadi Gubenur ketimbang kader partai yang sipil, PDIP Jawa Tengah terpecah. Jadi perekrutan Mardiyanto oleh SBY dilihat Mega sebagai sebuah agenda untuk menghancurkan PDIP dan legacy-nya. Sudah begitu, SBY sering mengeluarkan pernyataan yang menyinggung perasaan. Melalui kalimat bahwa pemerintahann SBY menjadi tukang cuci piring kotor yang ditinggalkan oleh pemerintahan Mega. Padahal dalam pemerintahan Mega, SBY juga menjadi anggota kabinet. SBY akhirnya dianggap tidak sensitif terhadap perasaan orang lain. Tapi citra SBY sebagai seorang yang sangat paham perasaan orang lain, justru lebih kuat. Usaha Mega untuk merangkul keluarga SBY dan militer, juga dilakukannya. Yaitu dengan merekrut Kolonel Eddy Wibowo, iparnya SBY menjadi salah seorang ajudan Presiden Megawati. Mungkin masih ada lagi yang dipendam Megawati, tapi wanita yang merasa dizolimi oleh Presiden Soeharto dan militer selama 32 tahun, tidak mau lagi bersuara. “Enough is enough”, begitu mungkin kata hati Megawati, sekalipun dia sadar banyak pihak yang terus mencibirinya – seakan-akan dia seorang pedendam yang mengada-ada. *) Derek Manangka adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta Susilo Bambang Yudhoyono