Medsos Ãœber Alles, Atau...Mad Sos?
Oleh: Erros Djarot
Media sosial atau dikenal dengan singkatan ‘medsos adalah mesin yang sangat efektif untuk menciptakan pencitraan. Lewat pencitraan ini terciptalah produk imaji yang dikehendaki. Lewat gempuran masif mesin pencitraan ini, pesan atau imaji yang diprogram oleh mesin ini akan tertanam dan melekat dalam benak massa penerima. Pesan atau imaji itu pun akan dikunyah dan diserap sampai menembus wilayah alam bawah sadar sang penerima program pencitraan ini.
Mesin ini mempunyai pengikut dan teknisi yang setia dan canggih sehingga mereka dapat menciptakan realita di atas realita. Lewat ilmu sihir dunia medsos ini, condensed atau fake reality pun akan menjadi seakan benar ada dan nyata. Bahkan mesin pencitraan ini sanggup melahirkan sesuatu; dari ‘nothing to something’; dari bukan siapa-siapa menjadi yang dikenal dan disegani siapa pun. Dari miskin menjadi kaya dalam waktu singkat, maupun sebaliknya. Menjadi terkenal dan dihormati sekejap, dan menjadi obyek cemooh publik dalam waktu seketika pula.
Untuk dipahami, mesin medsos ini menempatkan jumlah follower sebagai ‘agama’baru. Besaran angka follower pun diposisikan sebagai ‘berhala’ yang layak dimuliakan dan disembah. Di alam serba digital ini, para influencer dan para buzzer pun tampil sebagai para ‘nabi baru’ dalam dunia yang serba ‘mistis’ ala millenial ini. Patokan prestasi kerja ‘ritual’ mereka sangat sederhana; menurunnya jumlah follower adalah indikasi semakin mendekatnya jalan menuju ‘neraka’. Perbanyak follower adalah jalan yang benar agar bisa hidup tenang dan bekal masuk ‘surga’ menikmati pasive income yang menawan sekaligus membius..
Mereka yang masih menganut mashab ‘agama’ kuno, eksistensinya akan tergerus. Contoh sederhana yang terjadi dalam dunia pertunjukan. Berlian Hutauruk sopran elite Indonesia yang begitu kondang, tenar dan sangat membumi, memiliki penggemar dan ribuan bahkan ratusan ribu fans yang fanatik, kalah jauh daya jualnya dengan artis kemarin sore yang gak jelas karya dan kesejarahannya. Di wilayah pasar seni entertainment masa kini, nama besar seniman kawakan sekelas Berlian sekalipun, tersingkir dan terhapus dari radar pasar kesenian jalur mainstream.. Mengapa? Karena tak intens menggauli dunia medsos, follower-nya di dunia maya hanya mencatat angka ratusan saja. Sementara sang artis kemarin sore, yang layak disebut ‘artis kagetan’ made in medsos, follower-nya menembus angka satu hingga lima juta lebih, bahkan puluhan juta.
Dampaknya, para sponsor yang menjadi ‘penyembah berhala’ paling potensial, selalu berpatokan pada jumlah follower ketika ingin menampilkan artis yang akan disponsorinya. No follower, you are nothing but a shadow giant! (tanpa follower Anda tak lebih dari sebuah bayangan besar). Parap artis dan selebritis yang follower-nya jutaan, di mata para sponsor hadir sebagai manusia kelas bangsawan. Dan hebatnya, menggaet follower ini bisa dilakukan dengan cara apa saja. Lewat skandal sekali pun seperti menjadi sah-sah saja. Karena riwayat tertjadinya penggelembungan follower bukan masalah penting untuk dirujuk, diketahui, apalagi dikupas dan dibahas untuk dipersoalkan.
Gerak mereka ini mencatatkan rekor fantastik. Setelah pasar ekonomi mereka kuasai, mereka pun merambah ke pasar politik. Gedung wakil rakyat (DPR) mereka tembus. Tercatat beberapa nama selebritis yang berhasil merintis jalan mereka hingga sampai ke senayan, gedung DPR. Bukan karena kemampuan menyerap aspirasi rakyat, atau mumpuni dan memahami kerja di wilayah legislasi, pengawasan, atau pun budgeting. Sama sekali jauh dari itu. Semua karena jasa medsos sang ‘juru selamat’.
Para ‘pemain’ di negeri ini, belakangan mulai terbuka matanya. Di wilayah ekonomi, para konglomerat lebih dini melek dan menguasai dunia ini. Sementara di wilayah politik, hanya sebagian kecil pemain kelas kakap yang sadar akan pentingnya mendaya-gunakan medsos untuk multi tujuan pencapaian. Salah satu pemain yang brevetnya dibilang sudah masuk dalam kategori kelas jenderal di negeri ini, selain SBY adalah Presiden Jokowi. Ia sangat jeli mendekap dunia medsos dengan intens dan kreatif. Itulah sebabnya dia selalu ke luar sebagai juara ketika opini dan dukungan massa menjadi kuncinya.
Bisa dipahami mengapa para buzzer menjadi the darling-nya kekuasaan di sirkel istana Jokowi. Seseorang yang sadar dari mana ia dibesarkan, akan merasa yang membesarkannya itulah ibu kandung sejatinya (bukan partai mana pun). Memelihara kedekatan dan kemesraan hubungan dengan ‘saudara-saudara kandungnya’ (para pegiat medsos) yang serahim se-ibu, terbilang wajar dan memang seharusnyalah dijaga dengan intens. Tidak mengherankan bila pasukan tempur dan para jenderal di pasar duia maya ini, kemudian diposisikan sebagai elemen strategis dalam sirkel kekuasaan masa kini yang serba millenial oriented. Mereka pun diprioritaskan berperan menjadi alat sekaligus senjata pembungkam maupun pemecah masalah sekaligus pendobrak segala rintangan yang ada.
Nah, rupanya alam membaca peristiwa yang tak sedap ini. Diturunkannya lah virus Corona yang mungkin salah satunya mengemban misi untuk memilah-milah mana sebenarnya bibit unggul --yang genuine, dan mana yang bercitra besar dan mumpuni karena banyak mengkonsumsi suntikan pencitraan berlebihan. Daya gerak, daya tangkap, daya asli seseorang yang besar dan hebat karena ketat berkutat di wilayah tabung pencitraan, kali ini dihadapkan pada realita obyektif. Sebuah realita yang tidak lagi bisa dikondens atau direkayasa kehadiran dan tampilannya. Karena ia nyata dan ada tanpa bisa direkayasa, yakni; kehadiran virus Corona-Covid-19.
Dengan kata lain, walau seribu buzzer bahkan sejuta buzzer diturunkan, mereka tak akan mampu merubah realita ini. Apalagi menyetop gempuran virus Corona Covid-19 yang liar, ganas, dan mematikan ini. Siapa pun yang sandaran kekuatan kekuasaannya semata bertumpu pada kedigdayaan medsos sebagai ujung tombak, pasti akan kewalahan dan amburadul kebingungan menangani gempuran masif virus Covid-19 yang hadir dalam dunia nyata. Sebaliknya, mereka yang kekuatan kekuasaannya bersandar pada kekuatan rakyat dan dirinya, akan dengan tenang dan seksama mengusir virus Covid-19 dengan langkah yang terencana, terukur, dan terkendali secara nation wide. Contoh konkrit adalah dua negara menengah, Taiwan dan Vietnam.
Untuk kasus Indonesia, semoga saja para pemimpin di negeri ini bisa membuktikan diri sebagai pemimpin sejati yang lahir dari rahim penderitaan rakyat. Bukan yang malah membuat rakyat lebih menderita. Yang didambakan adalah hadirnya seorang pemimpin yang mampu menyelesaikan secara komprehensif tantangan Covid-19 yang menyerang secara nyata, di dunia nyata pula. Mengusir dan melawan lewat pencitraan, bukanlah solusi., Sebaliknya, malah memperbesar masalah dan memperburuk keadaan. Media sosial adalah medium yang memang bisa menjadi kawan paling baik, tapi sebaliknya bisa juga seketika menjadi musuh paling sadis dan jahat.
Semoga para pemimpin negeri ini, bangkit dalam kesadaran melihat dan menghadapi kenyataan. Kenyataannya, kita dalam keadaan cukup rawan!
Diperlukan langkah nyata lewat perencanaan, program, dan pelaksanaan yang terukur, terkendali, dan terbukti bermanfaat. Yang pasti, semua ini bisa diwujudkan secara bersama dan gotong royong. Tapi jelas bukan melalui pencitraan!
Nah, untuk sementara, lupakan dulu ‘medsos über alles’ dalam konteks hanya untuk pencitraan semata.! Untuk saat ini, kurang bermanfaat dan malah terasa menyakitkan! Sebaiknya, gunakan medsos untuk hal yang nyata berguna bagi rakyat kita hari ini. Sebagai medium penggalang solidaritas dan semangat gotong royong dan bersatunya kembali rakyat yang satu dan bersatu.
Kalau kedigdayaan dunia medsos didekap dengan sikap, pendekatan, dan tujuan mulia ini, medsos über alles, why not? Bukan ‘medsos über alles’ yang menterjemahkan ‘millenialisme dalam kehiidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini. Itu ‘mad’sos namanya!
*Dikutip sepenuhnya dari Watyutink.com.
Advertisement