Media Memberi Manfaat Pembangunan Pariwisata
Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) kembali berkomitmen untuk mencanangkan jurnalisme yang ramah pariwisata.
Kolaborasi dengan Kementerian Pariwisata pun dilakukan. Bentuknya, Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Kila Senggigih Beach Lombok.
Pakar Komunikasi Politik, Kadri, memberikan pandangannya mengenai hubungan media dan pariwisata.
Menurutnya, media yang berfungsi sebagai pemberi informasi, Pendidikan, penghibur, pengontrol sosial, dan berperan sebagai lembaga ekonomi dalam fungsi bisnis.
Dengan fungsi tersebut, idealnya media bisa memberi manfaat bagi pembangunan pariwisata. Tapi, media juga bisa menghambat perkembangan pariwisata.
Kepentingan di balik media, lanjut Kadri, strategi posisi media banyak kepentingan yang ingin memanfaatkannya. Seperti kepentingan penguasa, politis, pemodal, dan lainnua.
Ditambahkannya, Isi media juga dipengaruhi banyak kepentingan internal dan kepentingan eksternal. Dari kepentingan individu sampai kepentingan ideologis.
Menurut Kadri, media tradisional dengan media siber memiliki perbandingan seperti sumber informasi, arahan informasi, jangkauan, kecepatan, akses, relasi pengguna, posisi audience, peluang dominasi.
Kadri menambahkan, pentingnya citra dan image suatu negara. Menurutnya, hal itu antara lain ditentukan oleh image pariwisata. Kunjungan wisatawan mancanegara ke suatu negara, membuat tersebut berstatus aman.
Kadri lalu membahas pentingnya publikasi media untuk branding pariwisata. Terutama di media online yang menjadi sarana branding yang strategis. Dijelaskannya, melibatkan media dalam pembangunan pariwisata adalah keniscayaan.
“Harus dimaknai sebagai bentuk kepedulian, sehingga bisa juga disebut jurnalisme peduli pariwisata. Hal ini juga bisa membantu promosi pariwisata lewat publikasi dan memberi masukan atau catatan membangun di bidang pariwisata lewat forum terbatas,” imbuhnya.
Sedangkan Ketua SMSI Auri Jaya dalam sambutannya mengatakan, tahun ini ada dua hal yang disorot oleh Persatuan Wartawan Indonesia. Selain membangun produk jurnalistik yang ramah anak, para wartawan juga dituntut untuk ramah pariwisata. Hal ini diterjemahkan oleh SMSI dengan membuat sebuah panduan meliput berita-berita tentang bencana.
“Harus dibedakan media konvensional dan media sosial. Kita bergerak dengan rambu-rambu kode etika yang jelas. Tidak begitu halnya dengan media sosial yang bergerak tanpa aturan,” tegas Auri.
Auri berharap, FGD kali ini bisa melahirkan sebuah pencerahan bahwa media sosial juga harus memiliki aturan-aturan yang tertuang dalam kode etik.
“Media sosial selama ini menjadi lahan subur bagi berkembangnya berita-berita hoax. Dengan adanya kode etik dalam hal pemanfaatannya, penyebaran berita bohong bisa diminimalisir dan muaranya pada semakin berkembangnya pariwisata Indonesia,” tandasnya.
Sedangkan Staf Khusus Menteri Pariwisata Bidang Komunikasi dan Media Don Kardono, berharap media tampil sebagai pengawal pariwisata.
“Kita berharap pariwisata menjadi garda terdepan dari pariwisata. Sebagai ujung tombak untuk memperkenalkan potensi wisata Indonesia,” katanya. (*)