MCW Temukan Banyak Pelanggaran Selama Pemilu 2024 di Malang Raya
Malang Corruption Watch (MCW) menilai bahwa kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Malang Raya kurang berkualitas karena banyaknya temuan pelanggaran, baik saat kampanye maupun pemungutan suara.
Pelanggaran ditemukan MCW selama melakukan pemantauan sejak awal pelaksanaan kampanye hingga pemungutan suara Pemilu 2024 di Malang Raya. Yakni Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu.
Ketua Tim Pemantau Pemilu MCW, Dhien Favian menjabarkan, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada saat masa kampanye. Di antaranya pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK) yang menyalahi aturan Pemerintah Daerah (Pemda).
Ia menyebutkan, selama melakukan pemantauan, pihaknya menemukan masifnya pemasangan APK di ruas-ruas jalan yang mengganggu ketertiban umum seperti di pohon, rambu-rambu lalu lintas, hingga tiang penerangan jalan.
Menurutnya, hal itu jelas melanggar Perda Kota Malang No 2 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Reklame. Disebutkan dalam Pasal 18 ayat (2) bahwa “Penyelenggara Reklame dilarang memasang atau mendirikan reklame pada taman kota, hutan kota, jalur hijau, tiang listrik, tiang penerangan jalan umum”.
”Temuan itu sebenarnya sudah disampaikan oleh MCW kepada Bawaslu. Tetapi, masih ditemukan pengulangan terhadap pemasangan APK yang melanggar ketentuan dari Pemda,” kata dia dalam keterangannya, Kamis, 15 Februari 2024.
Selain masalah APK, Favian menyampaikan, MCW juga menemukan adanya pelanggaran kampanye yang menggunakan fasilitas negara, dimana pelanggaran ini jamak ditemukan selama masa reses oleh anggota DPRD Kota Malang.
Ketika masa reses dilangsungkan sejak tanggal 1 Februari 2024 lalu, dia mengungkapkan MCW menemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan anggota dewan selama reses dilangsungkan.
”Pelanggaran (kampanye menggunakan fasilitas negara ini) paling jamak dilakukan tertuju pada kegiatan kampanye yang dilakukan oleh calon legislatif petahana di sela-sela reses,” ungkapnya.
Dari pelanggaran di atas, Favian mengungkapkan, pihaknya menemukan ada 7 modus yang dilakukan oleh para calon legislatif petahana. Yaitu saat berkampanye menggunakan fasilitas negara di sela-sela reses.
”Modus ini menjadi bentuk pelanggaran serius terhadap ketentuan kampanye yang sudah dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum, yakni Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 pasal 72 ayat (1),” ujarnya.
Selanjutnya, temuan pelanggaran lain saat kampanye adalah politik uang. Dari hasil pemantauan, dia mengatakan praktik tersebut masih jamak dilakukan oleh peserta Pemilu 2024 ketika masa kampanye.
”Terdapat dua kasus yang ditemukan oleh MCW mengenai politik uang. Yaitu penyalahgunaan beras bantuan sosial (bansos) untuk kampanye dan pembagian uang kepada peserta rapat umum,” ungkapnya.
Terkait penggunaan bansos ini, kata Favian, beberapa calon DPR RI menggunakan bansos dari pemerintah tersebut untuk diberikan sebagai “hadiah” kepada peserta kampanye.
Di sisi lain, lanjutnya, pembagian uang pada rapat umum atau kampanye akbar dari salah satu partai politik maupun organisasi relawan pendukung paslon tertentu dilakukan dengan pemberian uang sebesar Rp50.000 hingga Rp100.000 sebagai biaya pengganti transportasi.
Temuan itu tentu melanggar Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 Pasal 33 ayat (7) “Setiap bahan Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus memiliki nilai: a. paling tinggi Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) jika dikonversikan dalam bentuk uang; b. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai standar biaya masukan; dan/atau c. yang harganya tetap wajar.
”Dengan demikian, pembagian uang ini juga termasuk politik uang dikarenakan pembagiannya diselingi dengan imbalan untuk mengikuti acara kampanye tersebut,” ujarnya.
Pemungutan Suara Menyisakan Masalah
Tidak hanya saat kampanye Pemilu 2024, Divisi Riset Badan Pekerja MCW, Coqi Basil menambahkan, pihaknya juga menemukan adanya pelanggaran saat pemungutan suara pada tanggal 14 Februari 2024.
”Pemungutan suara juga menyisakan banyak permasalahan. Selama pemantauan ke beberapa tempat penghitungan suara (TPS), MCW menemukan tiga kejanggalan yang ditemukan dalam mengawal penghitungan suara,” kata Coqi.
Adapun tiga kejanggalan, dipaparkan Coqi, yaitu upaya intimidasi dari KPPS dan PTPS kepada beberapa pemantau MCW saat terjun ke TPS untuk mendapatkan dokumentasi model C1.
Ia menyebutkan, bentuk intimidasi yang diterima beberapa pemantau MCW, antara lain adanya dialog bernada tinggi yang menyebabkan kegaduhan dan mengundang perhatian seluruh masyarakat yang ada di TPS.
Selain itu, beberapa pemantau juga tidak diperbolehkan untuk memfoto model C1 dan memberikan alasan bahwa pemantau harus mengawas TPS dari pagi dan hanya mengawasi di luar TPS semata.
Menurutnya, hal itu jelas bertentangan dengan Peraturan KPU No 25 Tahun 2023 Pasal 59 ayat (1) ”Setelah rapat Pemungutan dan penghitungan suara berakhir, Saksi, Pengawas TPS, pemantau Pemilu, atau masyarakat yang hadir pada rapat penghitungan suara diberi kesempatan untuk mendokumentasikan formulir Model C” dan ayat (2) ”Dokumentasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa foto dan video”.
”Dengan demikian, bukan menjadi alasan untuk menghalangi pemantau pemilu independen untuk mendokumentasikan hasil penghitungan suara. Pengawasan ini seharusnya diperlukan untuk mencegah kecurangan pemilu dari TPS,” ujarnya.
Dilarang Dokumentasi Model C1
Kemudian, pelanggaran lainnya adalah pengkondisian. Berdasarkan temuan MCW di lapangan, Coqi menyebutkan, terdapat pemberian arahan oleh oknum Panwas di salah satu kelurahan kepada PTPS yang dia bawahi untuk tidak membolehkan adanya dokumentasi model C1 oleh pemantau pemilu.
Apabila terdapat pemantau yang ingin melakukan dokumentasi, lanjutnya, PTPS diperintah untuk melaporkannya kepada Panwas. Oknum tersebut, kata dia, juga memberikan tekanan kepada pemantau pemilu dengan membentak pemantau yang ingin melakukan dokumentasi.
”Pengkondisian iduga kuat bertujuan supaya seluruh PTPS di satu kelurahan untuk tidak memberikan dokumentasi model C1 kepada pemantau agar hasil penghitungan suara tidak dapat diakses secara transparan,” ucapnya.
Dengan penjabaran pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas, Coqi mengatakan, sudah cukup menggambarkan bagaimana dugaan kuat pelanggaran masih saja terjadi di Malang Raya pada saat pelaksanaan Pemilu 2024.
Coqi menyampaikan, Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu seharusnya mampu mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran tersebut secara dini. Akan tetapi, Bawaslu saat ini terkendala dengan inefektivitas yang luar biasa untuk menindak setiap pelanggaran yang ada.
MCW Buka Pos Aduan Pelanggar Pemilu
Oleh karena itu, sebagai respon terhadap pelanggaran di atas, pihaknya mendesak Bawaslu untuk menindak tegas pelanggaran pemilu ini, terutama melalui pemberian sanksi secara pidana maupun secara administrasi.
”Bawaslu juga punya wewenang untuk memeriksa, memutus dan mengadili pelanggaran administrasi pemilu, yang itu artinya setiap pelanggaran dalam kampanye harus ditindak secara serius untuk memberikan efek jera terhadap pihak yang melanggar ketentuan yang berlaku,” tegasnya.
Tidak hanya mendesak Bawaslu supaya menindak tegas dugaan pelanggaran tersebut, lanjut Coqi, MCW juga membuka pos aduan pelanggaran pemilu sebagai platform bagi masyarakat umum dalam melaporkan beberapa potensi kecurangan yang terjadi selama masa Pemilu 2024.
Menurutnya, pos aduan ini penting untuk memaksimalkan pengawasan partisipatif dari masyarakat akan penyelenggaraan pemilu dan semua data dari pos aduan ini akan digunakan untuk mengawal jalannya pemilu secara bersama-sama.
”Bagi setiap masyarakat yang hendak melaporkan kecurangan pemilu, bisa mengakses pos aduan dari MCW pada link ini: s.id/AduanPemiluMCW2024,” tuturnya.