Mbah Wahab Versus Mbah Bisri
Pengantar Redaksi: Selasa malam (28/3) berlangsung Haul (peringatan kematian) KH Bisri Syamsuri di Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Sebagai bagian dari penghormatan kepada kakek Ketum PKB A. Muhaimin Iskandar dan Wagub Jatim Saefullah Yusuf, berikut kami kutip cupilkan kisah beliau yang ditulis KH Yahya Cholil Staquf lewat Terong Gosong.
HUBUNGAN antara Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Bisri Syansuri pastilah tidak masuk akal bagi manusia-manusia bebal jaman sekarang. Kyai Wahab ahli ushul, sedangkan Kyai Bisri ahli fiqih. Tentu cara pandang keduanya dalam berbagai masalah pun berbeda. Walaupun keduanya beriparan –Kyai Bisri menikahi adik Kyai Wahab, semua riwayat menyatakan bahwa Kyai Wahab dan Kyai Bisri tak pernah sependapat, baik dalam cabang-cabang syari’at maupun politik, sejak masih mondok di Tebuireng sampai menjadi pemimpin-pemimpin besar kaum Nahdliyyin.
Mahrus Husain, sepupu saya, memperoleh riwayat dari kakak iparnya, Kyai Abdul Nashir, dari ayahnya, Kyai Abdul Fattah bin Hasyim bin Idris, keponakan Kyai Wahab Hasbullah sekaligus menantu Kyai Bisri Syansuri, bahwa pada suatu bahtsul masail tentang hukumnya drum band, Kyai Wahab dan Kyai Bisri berdebat begitu kerasnya sampai-sampai Kyai Bisri menggebrak meja.
Tak mau kalah, Kyai Wahab pun menggebrak juga, bahkan dengan kaki! Orang-orang ketakutan dan sangat khawatir bahwa Nahdlatul Ulama akan pecah hanya gara-gara hukumnya drum band.Siapa sangka, ketika waktu jeda tiba, keduanya justru berebut melayani satu terhadap yang lain dalam jamuan makan.
Ketika Kyai Wahab menjadi Rais ‘Aam, Kyai Bisri Wakil Rais ‘Aam-nya. Kyai Wahab ngajak keluar dari Masyumi, Kyai Bisri tak setuju. Kyai Wahab ngajak masuk DPRGR, Kyai Bisri juga tak setuju. Tapi ketika keputusan jam’iyyah ditetapkan sesuai pendapat Kyai Wahab, Kyai Bisri tunduk dan tidak memisahkan diri.
Muktamar NU ke-25 di Surabaya, 1971. Kyai Wahab, Sang Rais ‘Aam, sudah sangat sepuh dan dalam keadaan sakit hingga tak mampu bangkit dari pembaringan –beliau akhirnya wafat hanya beberapa hari seusai Muktamar. Suasana Muktamar didominasi oleh kehendak suksesi. Dapat dipastikan seluruh muktamirin tanpa kecuali menginginkan Kyai Bisri tampil sebagai Rais ‘Aam yang baru. Bahkan boleh dikata, beliau sudah menjadi Rais ‘Aam de facto. Muktamar hanya formalitas pengesahan saja.
Siapa sangka, sebelum palu diketuk, Kyai Bisri berdiri dihadapan sidang untuk menyampaikan sikapnya yang tak dapat ditawar oleh siapa pun juga dengan harga apa pun juga:
“Selama masih ada Kyai Wahab, saya hanya bersedia menduduki jabatan dibawah beliau!”
Lahumal faatihah. (Dikutip dari Terong Gosong Yahya Cholil Staquf)