Janji Setia, Mbah Parno Tak Akan Tinggalkan Masjid Istiqlal
Namanya memang tak sepopuler arsitek Friedrich Silaban dalam sejarah pembangunan Masjid Istiqlal Jakarta. Namun, keberadaan Suparno di masjid terbesar di Asia Tenggara ini tak kalah penting.
Kakek berusia 90 tahun ini merupakan salah satu saksi hidup sejarah pendirian Masjid terbesar yang menjadi salah satu ikon Indonesia ini.
Sekadar tahu, sejak Silaban ditunjuk sebagai arsitek pembangunan Masjid Istqlal tahun 1951, Suparno lah yang melayani Silaban dalam keseharian, mulai dari menyediakan minum, sampai menjadi kuli bangunan. Pekerjaan itu dilakoni sampai pembangunan Masdjid Istiqlal itu selesai pada 1978.
Atas kecintaannya pada Masjid Istiqlal yang menjadi bagian dari hidupnya, sampai sekarang Mbah Parno tetap tinggal di Masjid Istiqlal sebagai pelayan Masjid.
Dalam rangka Hari Amal Bhakti Kementerian Agama ke-73 awal Januari 2019, Mbah Parno yang hingga kini masih berkhidmat di Masjid Istiqlal mendapat berkah berupa hadiah sebuah rumah dari Mentri Agama Lukman Hakim, di daerah Parung, Tangerang.
Voucher yang diberikan Mentri Agama tertulis "Bantuan Rumah untuk Mbah Suparno, Pelayan Friedrich Silaban (Arsitek Masjid Istiqlal)”.
Tapi rumah seharga Rp 300 juta itu disuruh menempati anaknya. Sedang Mbah Parno ingin tetap tinggal di Istiqlal sampai akhir hayatnya. "Saya ingin tetap menjaga rumah Allah ini sampai mati," janji Mbah Parno.
Meskipun usianya sudah hampir satu abad, tapi panca indra Mbah Parno tetap terjaga, baik pendengaran dan pengelihatannya masih normal.
Mbah Parno lahir di Desa Kalimati Juwangi Boyolali Jawa Tengah pada 1928. Tahun 1951, dia merantau ke Ibu Kota sebagai kuli bangunan. Pada 24 Agustus 1952, bertepatan dengan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, saat Presiden Soekarno meletakkan batu pertama pembangunan Masjid Istiqlal. Mandor yang diikuti Mbah Parno ikut dalam pembangunan masjid tersebut.
Di sinilah, Suparno yang kala itu berusia 24 tahun bertemu dengan Arsitek Masjid Istiqlal, Friedrich Silaban, seorang Batak yang beragama Kristen (Protestan).
Kala itu, pekerjaan Suparno adalah kuli bangunan, plus mencari tenaga-tenaga untuk pembangunan Masjid tersebut.
“Waktu itu, masih belum punya sepeda. Saya jalan kaki muter-muter mencari orang untuk kerja proyek di Masjid ini. Para tukang becak saya tawari. Saat itu, kita dibayar Rp 15 seharinya,” cerita Mbah Parno.
Masjid Istiqlal berdiri di atas tanah seluas sembilan hektar. Lima hektar di antaranya untuk masjid, sisanya dibuat taman, parkir dan lain sebagainya.
“Saat itu, Pak Soekarno memerintahkan Pak Silaban yang juga dosen UI di Salemba bagian Arsitek, untuk membuat tiga gambar. Masjid ini, Monas dan Stadion Utama Senayan. Nah, begitu Pak Silaban diturunkan di sini, saya yang disuruh melayani. Ya cetak gambar, makannya apa, minumnya apa, itu semua saya yang ngurusi,” kenang Mbah Parno
Mbah Parno menyatakan, bahwa awalnya ia memang hanya sebagai kuli bangunan. Namun karena cekatan, Suparno menyita perhatian Silaban. Maklum, setiap disuruh, Suparno tidak pernah mengecewakan.
“Pak Silaban suka dengan kerja saya. Karena setiap disuruh, saya langsung berangkat, dan setiap ditanya, selalu saya katakan, sudah saya laksanakan dan beres, Pak,” tuturnya.
Pelan namun pasti, Suparno beralih profesi, dari kuli bangunan, menjadi tukang membuatkan teh, kopi, dan menyiapkan makanan Silaban yang menggemari ikan mentah.
Selama bekerja membangun Masjid Istiqlal, Silaban hanya mau dilayani oleh Suparno, khususnya dalam hal teknis seperti mengantar surat, mengecek barang, serta membuatkan kopi, minuman, dan makanan. Mbah Parno juga mengaku, belum pernah sekalipun Silaban marah padanya.
Diangkat Jadi Pegawai
Setelah Masjid berdiri dan siap digunakan, Suparno diangkat menjadi pegawai Istiqlal. Tugas utamanya adalah mengantar surat. Uniknya, lelaki yang memiliki lima anak ini selalu jalan kaki dalam mengantar surat, terutama saat mengantar ke alamat yang dekat dengan Istiqlal, misalnya: Kemenkeu, Istana, Kemendagri, Kemenag, dan lainnya.
Hingga kini, kakek dua cucu ini setia pada masjid Istiqlal. Layaknya Mbah Marijan yang setia menjadi juru kunci Gunung Merapi di Magelang, Mbah Parno juga mengabdikan hidupnya pada Masjid Istiqlal. Meski tugasnya berbeda, tapi ia mempunyai kesetiaan yang sama besarnya.
Presidenp pertama RI, Soekarno, memutuskan membangun Masjid Istiqlal di seberang Gereja Kathedral yang lebih dulu ada, untuk memperlihatkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.
Masjid Istiqlal dalam arti harfiah Masjid Merdeka, adalah masjid negara berkapasitas 200 ribu orang. Saat ini dipimpin oleh seorang Imam besar Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A. yang sebelumnya pernah menjabat sebagai wakil Mentri Agama. (asm)