Mbah Kiai Ma'shum Lasem, Menerjang Barisan Kambing
"Setiap orang punya maqom (stasiun, jenjang rohani dalam tradisi tasawuf, red). Dan dalam setiap maqom, skala prioritas amalnya berbeda dari maqom lainnya," demikian ajaran Kiai Bisri Mustofa.
Bagi orang yang maqomnya 'alim, yaitu telah (relatif) sempurna pengetahuannya tentang (syari'at) agama, mengajar adalah amal paling utama baginya. Yang maqomnya muta'allim (pelajar): ya belajar. Yang maqomnya mutaharrif, yaitu orang yang mempunyai tanggungan nafkah tapi tidak bisa memperoleh penghasilan kecuali dengan bekerja setiap harinya, bekerja (mencari nafkah) adalah amal paling utama baginya.
Pada mulanya, Kiai Ma'shum Lasem rahimahullah, ayahanda Kiai Ali Ma'shum Krapyak, berdagang secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya, dengan jadwal yang tetap.
Demikian dikisahkan dalam buku biografinya, karya M. M Luthfi Thomafi. Di antara langganannya adalah pasar-pasar di Cirebon, Demak dan Jombang. Di setiap kota itu Kiai Ma'shum membagi waktu. Usai berdagang di pasar, sejumlah santri telah menunggunya di masjid, untuk memperoleh pengajaran berbagai kitab darinya.
Mimpi Bertemu Rasulullah SAW
Bertahun-tahun beliau menekuni pola kegiatan itu, dengan maksud menjaga keseimbangan antara mencari nafkah dan mengajarkan ilmu. Sampai akhirnya Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang di salah satu mimpinya dan memerintahkannya berhenti berdagang untuk kemudian membangun pesantren dan mengkhususkan diri dengan mengajarkan ilmu saja.
Kiai Ma'shum patuh. Pesantren dibangunnya di Desa Soditan, Lasem, kemudian berhenti berdagang sama sekali dan menghabiskan seluruh waktunya untuk mengajar.
Kiai Abdul Wahab Husain rahimahullah sudah punya tanggungan santri yang cukup banyak di pesantrennya di desa Kauman, Sulang, Rembang. Tapi Kiai Wahab tetap menekuni pekerjaannya sebagai polangan (pedagang) kambing. Menjelajahi desa-desa untuk membeli kambing-kambing petani adalah pekerjaan beliau sehari-hari. Pada hari pasaran, sendiri pula beliau menggiring kambing-kambing itu ke pasar hewan.
Hari itu, dengan topi laken khas polangan dan pecut di tangan, Kiai Wahab menggiring kambing-kambingnya menyusuri jalan raya. Susah payah ia jaga agar kambing-kambing itu tidak melantur terlalu ke tengah, walaupun jalan raya agak sepi. Tiba-tiba sebuah mobil yang berjalan lambat-lambat dari arah belakang melintasinya.
Kurang ajarnya, mobil itu malah sengaja menerjang barisan kambing-kambingnya sehingga kocar-kacir tak karuan. Sudah tentu Kiai Wahab kaget, kelabakan, dan berang bukan alang kepalang! Apalagi mobil itu malah lantas berhenti tidak jauh darinya, seolah menantang!
Di kursi belakang terlihat ada seorang penumpang, tapi kurang jelas karena kacanya gelap. Kiyai Wahab yang jadhug lagi berangasan tak memperdulikan lagi kambing-kambingnya. Dengan penuh amarah ia hampiri jendela disamping penumpang itu. Ia yakin, itu boss, yang punya mobil. Digebraknya atap mobil dengan garang, sekalian melampiaskan kekesalan.
Kaca jendela diturunkan, dan sebuah kepala melongok keluar. Bukan main kagetnya Kiai Wahab. Ternyata orang itu adalah... Kiai Bisri! Gurunya sendiri!
"Sudah jadi kiai punya pondok kok santrinya ditinggal polangan wedhus," kata Kiai Bisri, "pulang sana!"
Demikian dikisahkan K.H. Yahya Cholil Staquf, Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, pelanjut perjuangan kakeknya, Kiai Bisri Mustofa Rembang.