Mbah Katimin, Penjaga Hutan di Lereng Gunung Klotok Kediri
Hari beranjak senja, mendekati pukul 17.00 WIB, terdengar suara langkah kaki turun dari atas kawasan hutan lingkungan Lebak Tumpang Kecamatan Mojoroto Kota Kediri. Terlihat samar sosok pria tua. Meski raganya sudah renta, pria yang diperkirakan berusia 134 tahun ini masih kuat turun naik menyusuri jalan perbukitan Kaki Gunung Klotok. Menjaga hutan dan menghijaukan lerengnya.
Dia adalah Mbah Katimin. Warga mengenalnya dengan baik. Mbah Katimin memilih tinggal menyepi selama puluhan tahun di hutan Kaki Gunung Klotok. Hidupnya ia dedikasikan untuk alam dan menolong sesama. Mbah Katimin tinggal seorang diri di sebuah gubuk. Jika malam tiba ia merasakan kesunyian dan hanya ditemani sebuah lampu tempel atau oblek berbahan minyak tanah.
Mbah Katimin juga dikenal oleh siapa pun yang pernah singgah di lokasi kamping Batu Bengah. Pondoknya ada di jalur pendakian menuju lokasi kamping. Dibutuhkan kurun waktu kurang lebih 45 menit berjalan kaki dari bawah menuju ke atas.
"Jika di atas hujan, dia berani turun ke bawah, meski pada malam hari tanpa lampu penerangan. Lebih berani lagi, dia turun tanpa alas kaki, padahal jika hujan jalannya licin dan berbatu," ungkap Mbah Supiran salah satu warga, pemilik warung di Lingkungan Lebak Tumpang Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.
Mbah Supiran melanjutkan ceritanya, jika gubuk yang dijadikan tempat tinggal oleh Mbah Katimin selama ini dibuat oleh warga. Selama tinggal di dalam kawasan hutan, Mbah Katimin pernah bercerita jika sering menjumpai benda pusaka atau bertemu makhluk astral yang menampakan diri.
"Kalau nggak sakti, usia segitu mana bisa turun naik ke atas sana Mas. Selama tinggal di dalam kawasan hutan, Mbah Katimin sering dijumpai makhluk astral dan didatangi pusaka berbentuk Nogo Sosro," kata kekek berusia 78 tahun ini.
Mbah Supiran menilai, Mbah Katimin memiliki kemampuan supranatural yang mumpuni. Terkadang banyak orang dari luar kota, datang ke Lebak Tumpang hanya untuk mencari keberadaan Mbah Katimin.
"Selain dari Kediri, mereka yang datang mencari Mbah Katimin juga berasal dari luar daerah seperti Jombang, Blitar dan daerah lainya. Keperluanya bermacam-macam. Ada yang minta didoakan supaya cepat dapat jodoh, kenaikan pangkat dan lain lain,” terangnya.
Selain dinilai memiliki kesaktian, Mbah Katimin juga mempunyai kemampuan dalam hal memijat orang sakit. Banyak orang yang datang menemuinya mengeluh sakit, setelah dipijat ternyata sembuh.
"Ada yang sakit lumpuh lama, stroke, dipijat Mbah Katimin datang dua kali sembuh. Ada yang juga yang mengeluh rematik dan lainya," tuturnya.
Selama mengobati orang sakit, Mbah Katimin tidak pernah mematok harga. Semuanya ia lakukan karena rasa tulus ikhlas membantu sesama.
Setelah ditemui, Mbah Katimin selalu bergegas kembali ke dalam hutan, berdoa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karena sifat belas kasihnya itu, Mbah Katimin disukai banyak orang lingkungan sekitar. Bahkan jika ada warga yang membutuhkan uang, Mbah Katimin tidak segan membantunya.
"Terkadang uang pemberian dari tamunya tersebut, dipinjamkan salah satu pedagang yang ada disini, dia juga gak pernah nagih ,"pungkasnya.
Siapakah Mbah Katimin?
Mbah Katimin bukan asli warga Lingkungan Lebak Tumpang Kelurahan Pojok Kecamatan Mojoroto. Sebelumnya bapak tujuh anak ini tinggal di wilayah Kecamatan Banyakan Kabupaten Kediri, bersama keluarganya. Saat rezim Soeharto mulai berkuasa, Mbah Katimin kemudian memutuskan untuk tinggal menetap di hutan belantara.
"Saya lupa pastinya kapan, mulai masuk hutan. Yang saya ingat saya masuk hutan sejak Pak Harto mulai berkuasa," kenangnya dalam dialek bahasa Jawa ketika ditemui Ngopibareng.id.
Selama tinggal di dalam hutan, ia selalu merawat pepohonan yang ada di sana. Jika menemukan lahan kosong di dalam hutan, ia tanam pepohonan sejenis jati, mauni, serta pohon buah buahan seperti pisang. "Saya tinggal untuk membangun hutan, sebelumnya kondisi hutan tidak seperti sekarang ini,"paparnya.
Selama menanam pohon pisang dan ketela di atas, sering kali ia menjumpai para pendaki mengambil tanaman-tanaman tersebut tanpa izin. Tetapi Mbah Katimin tidak mempersoalkan hal itu, asalkan dimanfaatkan untuk dikonsumsi.
Meski, ia tidak memungkiri sebagai manusia biasa yang masih memiliki keluarga, perasaan kangen muncul dengan anak cucunya terkadang muncul. Kala perasaan itu timbul, ia kemudian memutuskan untuk pulang mampir ke rumah sejenak lalu balik lagi ke dalam hutan. Terkadang, anak cucunya juga datang menjenguk.
Di sela sela obrolan, mendadak mata Mbah Katimin menerawang melihat ke atas. Obrolan seketika berhenti, ia berusaha mengingat kembali tentang berapa usianya kini. "Yang saya ingat, ketika penjajah Jepang masuk ke Indonesia, usia saya sudah 52 tahun," ingatnya.
Mbah Katimin memiliki istri bernama Panirah, namun sejak dua tahun lalu Panirah meninggal. Kini hidupnya ia dedikasikan untuk menolong sesama dan membangun hutan.
Di usianya yang lebih dari satu abad, ia merasa sangat bersyukur diberikan umur panjang. "Resep umur panjang itu, perkataan harus jujur dan perbuatan harus selalu baik, " tutur Mbah Katimin.