Mbah Agus, Hidup Sebatang Kara di Hutan Mangrove Probolinggo
Kehidupan pria renta, Agus Sugiarto, 76 tahun atau Mbah Agus, benar-benar memprihatinkan. Di usianya yang merangkak senja, pria ini mengaku sudah 40 tahun lamanya tinggal sebatang kara.
Ya, Mbah Agus, mengaku bertempat tinggal di gubuk bambu reot di tengah hutan mangrove di Kelurahan/Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo. Lokasi gubuk kakek kelahiran Yogyakarta itu berada di sebelah utara Rumah Susun Sederhana Sistem Sewa (Rusunawa) Mayangan, Kota Probolinggo.
Tetapi karena berada di rerimbunan hutan mangrove, dari Jalan Lingkar Utara (JLU) di depan Rusunawa itu, gubuk Agus tidak terlihat. “Saya asalnya dari Yogyakarta, tetapi kedua orangtua saya sudah meninggal. Saya juga tidak tahu lagi di mana lima saudara saya tinggal sekarang,” ujar Agus saat ditemui sejumlah wartawan di gubugnya, Minggu sore, 30 Oktober 2022.
Meninggalkan kampung halamannya sejak putus Sekolah Dasar, Agus kemudian merantau sehingga terdampar di Probolinggo. Sebelum tinggal di gubug bambu di hutan mangrove, ia sempat tidur Alun-alun Kota Probolinggo. “Saat itu, kalau siang saya mengamen, malam harinya tidur di dekat air mancur di tengah alun-alun,” ujarnya.
Berbekal sedikit ketrampilannya, ia sempat bekerja sebagai tukang servis kunci atau membuat kunci duplikat. Tetapi karena pekerjaan itu tidak bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari, akhirnya ia tinggalkan.
Akhirnya, Agus membuat gubuk bambu di tengah hutan mangrove di Mayangan. Sejak tinggal di kawasan pesisir pantai utara Probolinggo itu, ia mengaku, tidak lagi mengamen.
Untuk makan sehari-hari, Agus mengaku bekerja mencari kerang, kepiting, dan udang di kawasan hutan mangrove itu. “Kerang, kepiting, dan udang yang saya jual, terkadang langsung saya masak sendiri kemudian saya makan,” katanya.
Agus juga terkadang mencari bawang bekas untuk dijual. “Yang penting halal, bisa saya jual untuk makan sehari-hari,” imbuhnya.
Meski tinggal sendirian di tengah rimbunnya hutan mangrove, Agus mengaku tidak pernah takut. Termasuk ketika malam hari, ia tidur di gubuk berukuran 2 x 1 meter persegi dengan penerangan lampu berbahan bakar minyak tanah.
Di gubuk sederhana itu, tempat tidur Agus bercampur dengan dapur yang ia gunakan untuk memasak dan menumpuk perabotan rumah sederhana.
Ditanya soal kondisi tubuhnya yang telah tua, Agus membenarkan, dirinya sudah tidak sesehat dulu. “Saya sudah sering sakit-sakitan, mungkin karena sudah tua,” katanya.
Seolah terisolasi dengan dunia luar, Agus pun tidak bisa bergaul dengan warga kampung di Mayangan. Termasuk dengan warga yang tinggal di Rusunawa Mayangan, yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari gubuknya.
Karena itu Agus pun tidak tersentuh program bantuan dari pemerintah setempat. “Saya belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah,” ujarnya.
Advertisement