Pakar Busana: Baju Puan Saat Sidang Paripurna Bukan Baju Bali
Ketua DPR RI Puan Maharani pada sidang paripurna DPR RI 16 Agustus 2021 lalu memakai busana yang dinarasikan pakaian adat Bali. Beberapa netizen juga menyebutnya begitu. Puan dipuji terlihat anggun bak seorang selebritis papan atas. Ketua DPR RI waktu bersanding Presiden Jokowi yang mengenakan busana tradisional Suku Badui.
Tapi berbeda dengan penilaian pakar busana Bali, Anak Agung Ngurah Anom Mayun K. Tenaya. Ia menyebut busana yang dipakai Puan Maharani pada sidang paripurna DPR mendengarkan pidato pengantar RUU APBN dan nota keuangan 2021-2022 yang disampaikan Presiden Jokowi, bukan baju adat Bali. Masyarakat adat pun tidak mengakui itu pakaian adat Bali.
"Kalau disebut bagus memang iya. Tapi kalau itu dikatakan pakaian adat Bali tidak benar," kata pakar busana Bali yang akrab dipanggil Mayun kepada Ngopibareng.id Minggu, 22 Agustus 2021
Akademisi Program Studi Fashion dari Institut Seni Indonesia Denpasar itu menyebut busana yang dikenakan Puan hasil modifikasi yang biasa dilakukan oleh desainer untuk para selebritis.
Menurut Mayun, busana Puan itu bukan payas agung sebagaimana disebut di beberapa media sosial. Sebab di Bali, payas agung hanya boleh digunakan pada waktu upacara Manusa Yadnya tingkat utama, dan digunakan oleh kalangan tertentu.
Busana yang dipakai Puan adalah hasil modifikasi madya rias bali, bukan pakaian adat. Mayun anggap aneh saja.
"Saya pribadi melihatnya aneh saja. Apalagi kain yg diselempangkan di tangan adalah kain yg digunakan untuk pria bukan digunakan wanita," ujarnya.
Belajar dari kejadian ini, Anak Agung Ngurah Anom Mayun K Tenaya menyarankan para desainer busana daerah, membiasakan berkonsultasi dengan pakar busana daerah, apakah busana daerah yang dia buat itu sudah benar atau belum. Apalagi pakaian Bali erat kaitannya dengan upacara adat. Jangan sampai pakaian upacara adat di Pura dipakai untuk pesta atau upacara yang lain, jadi aneh pesannya.
Menurut dia, keberadaan pakaian Bali sangat erat kaitannya dengan budaya tata cara upacara di Bali. "Punahnya kain-kain asli Bali akibat dari budaya masyarakat sendiri seperti penyederhanaan upacara, yang biasanya menggunakan kain-kain sakral, akhirnya ditiadakan," ujarnya.
Terkait penggunaan busana adat ke pura, tambah Ngurah Mayun, sebenarnya tak harus repot dan mahal asalkan mau belajar dan latihan.
"Bagi yang wanita tidak boleh menggunakan kebaya pendek, harus panjang. Begitu pun menggunakan kain, jangan menggunakan kain yang dijahit, itu namanya rok," ujar akademisi yang kini sedang menempuh S3 dan meneliti berbagai jenis kain khas Bali itu.
Oleh karena itu, dia mengajak untuk menggunakan busana yang rapi, beretika dan sederhana kepada generasi muda, tak harus ribet dan mahal.
"Tren 'fashion' yang dibawa oleh media saat ini, cenderung demi tuntutan berpenampilan trendi, modis dan meniru kalangan selebritis dijadikan sumber rujukan berbusana. Persoalannya, sebagai rujukan dari tren fashion ini tidak cocok diterapkan bagi masyarakat Bali, khususnya sebagai rujukan busana ke pura," katanya.
Padahal dalam awig-awig atau pakem berbusana sudah ada. Pakem busana adat Bali warisan leluhur dirasa sudah lengkap, karena sudah mempertimbangkan unsur-unsur estetika dan etika.
"Prinsip berbusana adat Bali memenuhi Triangga, Wesa, Nyasa, Purwadaksina dan Prasawiya," ucapnya.
"Triangga" menata busana berdasarkan kosmologi Hindu, struktur busana mulai kepala, badan hingga kaki. Sedangkan "Wesa" dimaknai status dalam fase kehidupan, busana anak, dewasa atau orang tua. Sementara "Purwadaksina dan "Prasawiya" merupakan konsep berbusana seperti kain yang dililitkan di tubuh pria atau wanita. Kalau wastra (kain) pria dililitkan searah jarum jam, sedangkan wanita sebaliknya kain dililitkan berlawan arah jarum jam.
Perancang busana yang dikenakan Puan Maharani pada upacara kenegaraan 16 Agustus 2021, layak diacungi jempol, berani melakukan improvisasi, sehingga terkesan anggun bagi pemakainya kalau dipandang dari sudut selebritis.
"Tapi kalau dari pakaian adat tidak masuk," katanya.
Agung Ngurah Anom Mayun K Tenaya menyayangkan tiga jenis kain asli Bali telah punah, sebagai dampak dari budaya penyederhanaan upacara yang tidak lagi menggunakan kain-kain sakral.
"Ada 10 jenis kain Bali yang khas yakni jenis bebali, keling, wali, endek, cepuk, gringsing, songket, prada, cecawangan. Jenis bebali, wewali dan keling saat ini sudah tidak ditemukan lagi atau mengalami kepunahan, kain-kain itu ada dari Tengenan, Nusa Penida, sebagian besar Bali Mula," kata Agung Mayun.