Mayoritas vs Keadilan, Masalah Penting di Mata Ulama Pesantren
Masalah mayoritas dalam komposisi masyarakat menjadi perhatian serius kalangan ulama pesantren. Selain itu, hal itu dikaitkan dengan masalah keadilan.
Bagaimana sesungguhnya sikap mayoritas terhadap kalangan minoritas yang kerap terpinggirkan? Ini catatan KH Husein Muhammad, sahayat Gus Dur yang juga aktif di Fahmina Institute ini:
Bagaimana kita harus memutuskan jika dihadapkan pada suatu masalah dengan dua pandangan yang berbeda atau kontradiktif. Dalam hal ini misalnya antara pendapat mayoritas (orang banyak) tapi tidak adil (atau dipandang tidak adil), dan pendapat minoritas tetapi adil (atau dipandang adil?). Bagaimana para ulama Islam menjawab pertanyaan ini ?.
Ilkiya al Harasi, seorang mujtahid terkemuka dalam mazhab Syafi’i mengatakan bahwa persoalan ini selalu diperdebatkan para ulama. Sebagian mendukung pendapat pertama. Yakni mengunggulkan pendapat mayoritas daripada pendapat tunggal /mlnoritas, meskipun adil. Mereka mengatakan bahwa pendapat mayoritas itu sama atau lebih dekat dengan “khabar” (berita) yang ‘mustafidh’. Yakni kebenaran yang disetujui oleh banyak orang (mayoritas). Pendapat mayoritas tidak mungkin keliru, atau sesat, kata mereka. “yadullah ma’a al-Jama’ah” (Tuhan bersama mayoritas).
Sementara yang lain menolak. Mereka mengunggulkan pendapat yang adil meskipun sedikit daripada pendapat mayoritas. Mereka mengatakan bahwa banyak fakta yang menunjukkan bahwa para sahabat lebih mengutamakan pandangan Abu Bakar al Shiddiq dibanding pandangan kebanyakan orang.
Pandangan Umar bin Khattab
Pendapat Umar bin Khattab lebih diunggulkan daripada pendapat mayoritas. Pandangannya tentang harta rampasan perang yang tidak lagi dibagikan kepada para tentara yang ikut perang pada akhirnya lebih dipilih para sahabat yang lain, meskipun semula ditentang banyak orang karena dianggap menentang keputusan Nabi Saw, yang mengacu kepada teks suci Al-Qur’an. Umar berargumen : “Jika harta itu seluruhnya dibagikan kepada mereka (para tentera perang), maka bagaimana nasib masa depan rakyat kita?”. Umar lalu mengutip ayat al Qur-an : “li kayla yakuna dulatan baina al aghniya minkum” (supaya kekayaan tidak beredar dikalangan orang-orang yang kaya saja). Pendirian Umar ini tentu saja dalam rangka mewujudkan keadilan sosial secara lebih luas sebagaimana yang dicita-citakan Nabi Saw dan demi masa depan bangsa.
Mazhab Hanafi mendukung pandangan kedua ini, yakni mengunggulkan keadilan bukan mayoritas :
لا يجوز الترجيح بكثرة الأَدلة عندنا، فإِذا كان في أَحدِ الخبرين المتعارضين كثرةُ الرواة، وفي الآخر قلَّتُها: لم يترجَّح أَحد الخبرين على الآخر بهذه المزية، لأَن المعتبر في هذا الباب العدالة ، فكم من جماعةٍ قليلة عادلةٍ أَفضل من فئة كثيرة عاصية.
“Dalam pandangan kami, kita tidak boleh menunggulkan sesuatu hanya karena banyaknya dalil. Bila ada informasi (khabar/hadits) dari nabi yang saling bertentangan, dimana yang satu diriwayatkan oleh banyak orang, dan yang satu lagi diriwayatkan oleh sedikit orang, maka kita tidak bisa mengunggulkan berita (hadits) atas dasar jumlah (kuantitas) perawi. Yang menjadi pedoman kita adalah keadilan. Betapa banyak sekelompk kecil yang adil,lebih utama daripada sekelompok besar orang tetapi maksiat”.
Al-Qur’an menyampaikan kepada kita bahwa banyak fakta di mana golongan kecil/sedikit dapat mengalahkan golongan besar/banyak, berkat izin Allah :
كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإذْنِ اللَّهِ واللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (البقرة, 249)
"Berapa sering terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
Ada banyak contoh mengenai persoalan ini. Dalam soal perempuan sebagai hakim, mayoritas ulama mazhab tidak membolehkan. Abu Hanifah hanya membolehkan untuk menangani kasus perdata. Dan hanya Ibnu Jarir yang membolehkan mengadili kasus apa saja, perdata maupun pidana. Hari ini kita meligat dengan nyata telah banyak hakim perempuan baik di pengadilan umum maupun pengadilan agama. Merempuan tidak kalah cerdas dan berani dalam memutuskan masalah.
Kita juga melihat dengan jelas fakfa sejarah. Selama berabad-abad mayoritas ulama fiqh tidak membolehkan (mengharamkan) perempuan menjadi pemimpin politik atau pengambil kebijakan publik, sebagai presiden atau perdana menteri, gubernur, Bupati/Walikota dan seterusnya. Tetapi dewasa ini sudah banyak ulama yang membolehkannya dan fakta politik di beberapa negara dengan penduduk mayoritas muslim telah memiliki presiden atau perdana menteri perempuan. Bagaimana dengan pemimpin non muslim yang adil?.
Makna Al-Qur'an
Hari ini aku sarapan pagi di Tulungagung, bersama aktivis ulama perempuan. Dalam obrolan sambil makan aku bilang : kemarin ada yang tanya bagaimana memaknai al Qur'an. Aku bilang : amat sangat tidak mudah. Ia tidak bisa hanya dimaknai secara harfiah. Karena setiap kata bisa mengandung makna atas makna (makna berlapis-lapis). Aku kemudian mengutip kata-kata Imam al Ghazali.
قال الغزالى فى الاحياء : فاعلم ان من زعم ان لا معنى للقرآن الا ما ترجمه ظاهر التفسير فهو مخبر عن حد نفسه وهو مصيب فى الاخبار عن نفسه ولكنه مخطئ فى الحكم برد الخلق كافة الى درجته التى هى حده ومحطه بل الاخبار والاثار تدل على ان فى معانى القرآن متسعا لارباب الفهم. ..
"Ketahuilah bahwa orang yang beranggapan bahwa al Quran hanya bisa dimaknai menurut makna literalnya (tersurat, harfiyah) adalah orang yang sedang memberitahukan keterbatasan pengetahuannya. Dia benar dalam hal pemberitahuannya itu untuk dirinya sendiri. Tetapi dia keliru jika hal itu harus diberlakukan untuk orang lain. Banyak hadits dan sumber dari sahabat Nabi yang nenunjuklan bahwa al Quran itu memuat makna yang sangat luas bagi orang-orang yang cerdas dan pintar.
Seorang teman bertanya : "itu dari mana?". Aku bilang : dari kitab Ihya Ulum al-Din.
Aku melanjutkan. Saat aku di Turki, aku membaca kitab "Qawaid al Isyq al Arba'un" (40 kaidah Cinta). Dalam kaidah yang ke tiga disebutkan :
القاعدة الثالثة
انَّ كُلَّ قَارِئٍ لِلْقُرْآنِ الكَرِيمِ يَفْهَمُهُ بِمُسْتَوَى مُختَلِفٍ بِحَسَبِ عَمْقِ فَهْمِهِ. وَهُنَاكَ أرْبَعَةُ مُسْتَوَيَاتٍ مِنَ البَصِيرَةِ: يَتَمَثَّلُ المُسْتَوَى الأوَّل فِي المَعْنَى الخَارِجِي وهُو المَعْنَى الَّذِي يَقْتَنِعُ بِهِ مُعْظَمُ النَّاسِ، ثُمَّ يَأْتِي المُسْتَوى البَاطِنِي. وفي المُسْتَوَى الثاَّلِثِ يَأتِي بَاطِنُ البَاطِنِ، أَمَّا المُسْتَوَى الرَّابِع فَهوَ العَمْقُ وَلَا يُمْكِنُ الإعْرَابُ عَنهُ بِالكَلِمَاتِ، لِذَلِكَ يَتَعَذَّرُ وَصْفُهُ.
"Setiap pembaca Al-Qur'an akan memahaminya sesuai tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing. Ada empat lapis tingkatan makna. Pertama pemahaman literal (eksoterik). Ini pemahaman masyarakat umum. Kedua, pemahaman batin (esoterik). Ketiga, makna dari makna batin. Dan ke empat makna yang terdalam. Ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata dan karena itu sulit digambarkan".
Demikian catatan KH Husein Muhammad, yang ditulis di Tulungagung, 16.09.22 (HM)