Mengapa Indonesia tak Mau Negara Islam? Penjelasan Gus Yahya
KH Yahya Cholil Staqut, Katib Am Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dalam pelbagai forum terus menyuarakan nilai-nilai Islam rahmatan lil’alamin. Beberapa kali, Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang ini, memanfaatkan forum ilmiah membahas perdamaian dunia dalam tilikan Islam Indonesia, di Amerika Serikat.
Di Jakarta, Gus Yahya, panggilan akrab putra KH Cholil Bisri, almaghfurlah, ini berkesempatan memberikan ceramah pada forum Gala Dinner, yang digelar Asia Liberty Forum 2018, di Hotel Oriental Jakarta, pada 11 Februari lalu. Forum ini menarik karena diikuti para tokoh perdamaian dan Indonesianis (pengkaji masalah Indonesia dari luar negeri). Kepada ngopibareng.id, sekretaris Presiden KH Abdurrahman Wahid (1999-2001) ini menyampaikan sejumlah pengalaman istimewanya itu.
"Di sebuah lembaga kajian di Washington, Kamis siang yang lalu, seseorang bertanya kepada saya. 'Kalian (Nahdlatul Ulama) adalah mayoritas di antara umat Islam di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Mengapa kalian tidak mau negara Islam?'
Demikian Gus Yahya, mengawali kisahnya. Begini ceritanya:
Ada sebuah gedung bersejarah tak jauh dari sini --cuma 10-12 menit-- di Jalan Pejambon dekat Gambir. Dulu dinamai Gedung Chuo Sangi In --bahasa Jepang. Sekarang disebut Gedung Pancasila.
Di gedung itu ada satu ruangan yang --jika Anda memasukinya lebih dari 70 tahun yang lalu dan melihat sekeliling ruangan-- Anda akan menyaksikan dinamika seluruh jagad tergambar di situ. Ruangan itu dipenuhi orang-orang yang menganut segala macam ideologi dan pandangan tentang masa depan peradaban umat manusia. Dari liberalisme Barat sampai integralisme Jawa. Dari Islamisme sampai komunisme.
Maka, orang-orang di ruangan itu --para Bapak Pendiri Indonesia-- butuh menemukan cara untuk mengelola perbedaan-perbedaan di antara mereka agar tidak terjadi konflik dan kekerasan. Itulah sebabnya --ketika mereka menyusun konsep landasan bagi Bangsa dan Negara Indonesia-- visi yang mereka bangun tidak terbatas hanya tentang kemerdekaan Indonesia, yaitu hak kami untuk merdeka dari penjajahan dan penindasan.
Mereka mengajukan visi yang agung tentang masa depan kemanusiaan dan peradaban secara keseluruhan. Suatu visi yang ditujukan untuk mendorong stabilitas, keamanan dan harmoni internasional, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ini semua adalah ciri-ciri kemuliaan. Karena cita-cita para Bapak Pendiri Bangsa ini adalah untuk mencapai 'Peradaban yang Mulia".
Sejak Proklamasi Kemerdekaan pada 1945, cita-cita agung ini telah menjadi satu faktor paling kuat yang mempersatukan Indonesia beserta segenap bangsanya. Sejak kemerdekaan, kami telah menghadapi berbagai kesulitan yang tak terhitung jumlahnya, tapi kami bertahan karena kami punya sesuatu yang agung sebagai alasan untuk tetap bersatu dalam kebersamaan. Yaitu cita-cita akan peradaban mulia ini.
Mengingat keadaan dunia dewasa ini, mengapa kita --yang datang dari sekian banyak bangsa, budaya dan etnis yang berbeda-beda ini-- melakukan hal yang sama? Ditengah begitu banyak perbedaan diantara kita, mengapa kita tidak menjemba cita-cita akan suatu peradaban mulia, dan akhlak mulia, sebagai sesuatu yang bisa mempersatukan kita semua atas dasar kemanusiaan?
Saya yakin ini tidak sulit. Kemuliaan adalah konsep sederhana, yang setiap orang baik-baik pasti memahami. Hanya manusia-manusia jahat dan keji yang gagal paham terhadap makna kemuliaan manusia.
Kemuliaan itu erat kaitannya dengan kemerdekaan, martabat, kasih-sayang, dan keadilan. Kita semua tahu ini!
Maka, ketika kita bicara tentang ekonomi, misalnya, mengapa kita tidak berpikir tentang 'perekonomian yang mulia'? Ketika kita mendiskusikan politik, kenapa kita tidak berpikir tentang 'politik yang mulia'? Dan seterusnya...."
Demikian pengalaman KH Yahya Cholil Staquf. (adi)
Advertisement