Mati Suri Pengrajin Tempe Tenggilis Kauman Surabaya
Sebuah penanda bertuliskan "Kampung Tempe" tampak di mulut gang Tenggilis Kauman Gang Buntu. Saat masuk, mata langsung disuguhi lukisan mural. Selain itu tampak juga beberapa orang yang mulai dengan aktivitasnya sebagai perajin tempe.
Ya, ini adalah salah satu kampung tempe yang ada di Surabaya yang masih bertahan. Jika merunut sejarah, Kampung Tempe Tenggilis Kauman ini berawal dari usaha turun temurun keluarga. Para pengrajin di sini pun sebenarnya tak tahu kapan persisnya kampung ini dikenal menjadi kampung tempe.
Namun jika diminta untuk memperkirakan kapan mulai ada Kampung Tempe Tenggilis Kauman, warga sepakat Kampung Tempe Tenggilis Kauman diperkirakan ada sejak 1938.
Predikat 'resmi' sebagai kampung tempe ini baru terjadi di tahun 2015 yang lalu. Saat itu Walikota Surabaya Tri Rismaharini mendeklarasikan Tenggilis Kauman sebagai kampung tempe.
Saat itu Walikota Surabaya ingin menjadikan Kampung Tempe Tenggilis Kauman ini sebagai sentra wisata dan oleh-oleh untuk warga dan wisatawan. Berbagai pembinaan pun sempat dijalankan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Surabaya. Para pengrajin tempe dibina soal pemasarannya hingga membuat variasi produk berbahan kedelai. Misalnya saja keripik tempe, nugget tempe, brownies tempe, botok tempe. Tidak hanya itu Disperindag juga sempat memberikan bantuan alat penggilingan untuk membantu produksi tempe agar lebih mudah.
Namun itu dulu. Masa keemasan Kampung Tempe Tenggilis Kauman berangsur mulai redup. Sekarang, jumlah pengrajin tempe di Kampung Tempe Tenggilis Kauman ini tersisa enam pengrajin saja.
"Itu pun dua di antaranya sebenarnya bukan warga asli Tenggilis Kauman. Melainkan pendatang yang pindah ke kampung tempe. Mereka datang kesini ingin memulai bisnis tempe” ucap Supardam Ketua RT-04 RW-03 Tenggilis Kauman.
Jumlah pengrajin tempe di Tenggilis Kauman yang semakin lama semakin menyusut, diduga karena harga tempe di pasar yang sudah tak menjanjikan lagi. Apalagi di saat krisis kedelai yang sering dialami pengrajin tempe.
“Harga tempe yang tak kunjung stabil membuat para perajin tempe semakin menurun, dan beralih ke usaha yang lain,” tambah Supardam.
Harga tempe yang dianggap tak lagi menjanjikan pula yang dianggap menjadi salah satu penyebab regenerasi Kampung Tempe Tenggilis Kauman ini menjadi macet. Orang tua bahkan mendorong anaknya untuk jangan menjadi pengrajin tempe lagi. Para anak didorong untuk usaha bidang lainnya. Selain menjadi pengrajin tempe tentunya.
“Saudara-saudara saya juga sudah banyak yang tak mau lagi menjadi pengrajin tempe, apalagi anak-anak saya. Kalau bisa jangan jadi pengrajin tempe deh. Jadi pegawai negeri saja. Nganggur saja dapat gaji. Lebih terjamin daripada harus jadi pengrajin tempe yang hidupnya pas-pasan,” ujar Ghofur Rohim, Bendahara Paguyuban Kampung Tempe Kauman.
Namun tak semua para pengrajin tempe yang punya harapan seperti itu untuk anaknya. Supardam misalnya. Dia masih punya harapan kejayaan Kampung Tempe Tenggilis Kauman bisa kembali bersinar.
Supardam berharap di masa jabatannya yang terakhir ini, Kampung Tempe Tenggilis Kauman ini bisa tetap bertahan. Bukan hanya soal materi yang ingin dikejar, tapi urusan melestarikan budaya kuliner Tenggilis Kauman yang juga sudah menjadi identitas.
"Saya juga yakin budaya ini tidak akan punah. Karena akan ada regenerasi dari kampung tempe ini meski pun dari para pendatang. Bukan warga asli Tenggilis Kauman," katanya penuh harap.
Penulis: Sidhiq M AsySyifa, Bagas Wahyu A (Magang)