Mataram Enggan Menambah Pengungsi Ahmadiyah
Pemerintah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, enggan menambah jumlah pengungsi Ahmadiyah, sebab pengungsi yang sudah bertahun-tahun di Asrama Transito, Majeluk hingga kini belum ada proses penyelesaian.
"Karena itu, kami berharap masalah warga Ahmadiyah yang saat ini dititip di Balai Latihan Kerja (BLK) dari Kabupaten Lombok Timur dapat diselesaikan oleh pemerintah setempat bersama pemerintah provinsi secara arif dan bijaksana," kata Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kota Mataram H Rudi Suryawan di Mataram, Selasa.
Pernyataan itu dikemukakannya menanggapi adanya keinginan Pemkab Lombok Timur mengusulkan ke pemerintah provinsi untuk mengalihkan pengungsi Ahmadiyah di BLK sebanyak 30 kepala keluarga (KK) bergabung dengan pengungsi di Transito, Majeluk, Kota Mataram.
Rudi mengatakan, sebanyak 35 KK atau 131 jiwa pengungsi Ahmadiyah di Transito sejak tahun 2006 atau sudah sekitar 13 tahun, hingga saat ini belum ada solusi. Sementara, kapasitas di Transito untuk menambah pengungsi sudah tidak memungkinkan.
Diakui, Transito merupakan aset milik Pemerintah Provinsi NTB yang kebetulan ada di Kota Mataram, namun dengan kondisi yang ada saat ini untuk menambah jumlah pengungsi sudah tidak memungkinkan.
"Oleh karena itu, kami berharap pemerintah provinsi juga bisa bijak terhadap kondisi ini dan dapat mencari aset lain yang berada di luar kota untuk memindahkan pengungsi tersebut," katanya.
Apalagi, jika 30 KK warga Ahmadiyah itu tidak dapat membaur dengan warga sekitar dikhawatirkan kejadian yang menimpa warga Ahmadiyah di Lombok Timur membias kepada warga jemaah Ahmadiyah di Mataram.
Untuk menangani masalah pengungsi Ahmadiyah, katanya, pada tahun 2018 pemerintah kota telah berusaha untuk menyelesaikan masalah warga Ahmadiyah di Mataram bersama aparat di Kantor Sekreteriat Presiden (KSP), dengan target Mataram bebas dari pengungsi.
Untuk menjadikan Mataram bebas pengungsi, ada tiga opsi yang akan dilakukan KSP bersama pemerintah kota. Opsi pertama adalah program relokasi dengan pembangunan rumah lapak secara menyebar.
Kemudian opsi transmigrasi dan terakhir menempati rumah susun sederhana sewa (rusunawa), agar mereka bisa membaur dengan warga lainnya. Namun, ketiga opsi tersebut hingga kini belum bisa terealisasi.
"Mungkin opsi tersebut, dapat kembali menjadi pertimbangan pemerintah provinsi untuk menjadikan Mataram bebas dari pengungsi," katanya. (ant)