Elemen masyarakat sipil mengatasanamakan Solidaritas Masyarakat Surabaya menolak remisi pembunuh jurnalis AA Gde Bagus Narendra Prabangsa. Selain menolak, Solidaritas Masyarakat Surabaya juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut remisi yang diberikan kepada I Nyoman Susrama. I Nyoman Susrama terpidana kasus pembunuhan terhadap jurnalis Jawa Pos Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra. Susrama terbukti sebagai otak pembunuhan itu. Desakan kepada Presiden ditandai dengan dilayangkannya surat terbuka. Ditandatangani perwakilan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Human Right Law Studies (HRLS) Unair Surabaya, PUSAD UMS, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Redaksi Jawa Pos, dan sejumlah kelompok sipil lain. Ketua AJI Surabaya, Miftah Faridl, mengatakan, terlibatnya sejumlah elemen masyarakat sipil ini adalah penanda bahwa kebijakan pemberisian remisi terhadap Susrama adalah tanda bahaya yang bukan hanya bagi kebebasan pers, tapi juga kepada ruang-ruang publik. "Surabaya jadi tempat pergerakan bergabungnya civil society, untuk mendesak pencabutan remisi itu," kata Faridl, saat memberikan siaran pers di Kantor KontraS, Jalan Hamzah Fansyuri, Surabaya, Senin, 4 Februari 2019. Faridl menyebut dibuatnya surat terbuka desakan kepada Presiden Jokowi ini, bertujuan untuk menjadikan jurnalisme kembali sebagai ruang-ruang publik, ruang di mana masyarakat bisa memperoleh keterbukaan informasi. "Karena sebagaimana diketahui Prabangsa dibunuh setelah menulis berita tentang praktik korupsi yang dilakulan Susrama di Proyek Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli," kata dia. Masyarakat sipil, kata dia, tentu merasa hak untuk tahu menjadi terancam, sebab praktik impunitas yang diberlakukan pemerintah terhadap pembunuh jurnalis ini sama saja halnya melindungi tindakan korupsi, dari sorotan media dan masyarakat. Sementara itu Pemimpin Redaksi Jawa Pos Abdul Rokhim mengaku kecewa terhadap keputusan Pemerintah memberikan remisi kepada Susrama. Bukan hanya karena secara struktural Prabangsa adalah bagian dari Jawa Pos, tapi ini juga soal kebebasan pers. "Ini menunjukan bahwa pemerintah kini permisif dan intimidatif terhadap kerja jurnalistik, dan itu berarti bukan hanya mengancam kebebasan pers, tapi juga mengancam hak yang paling fundamental dari kebebasan berekspresi dan menyampaikan fakta," kata Rokhim. Rokhim mengatakan, protes terhadap pemberian remisi ini pun telah disampaikan langsung saat Presiden Jokowi berkunjung ke Redaksi Jawa Pos, di Graha Pena, Surabaya, Sabtu, 2 Februari 2019, lalu. "Kami bertemu dengan Pak Jokowi langsung di Graha Pena Surabaya, dan kami tanyakan langsung. Kami menyebut remisi ini tidak tepat dan harus dicabut. Respon Pak Jokowi sangat mungkin bila itu dilakukan, tapi dua poin, yakni butuh rasa keadilan dan aspirasi masyarakat," kata Rokhim. Bagi dia, di poin kedua, Presiden Jokowi tentu telah mendapatkan hal itu, dari gelombang aksi yang dilakukan rekan jurnalis dipelbagai daerah, penandatangan petisi, dan ditambah lagi surat terbuka ini. "Kalau pak presiden membutuhkan, ini adalah aspirasi, kami kirim, kalau presiden ingin mengetahui aspirasi kami, maka poin-poin itu yang kami inginkan, bahwa rasa keadilan ini terusik dengan pemberian remisi tersebut," kata Rokhim. Sepuluh tahun silam, Prabangsa dibunuh dengan amat sadis oleh sembilan orang, tepatnya pada 11 Februari 2009. Dengan tangan terikat, kepala Prabangsa dihajar dengan kayu, bertubi. Hingga kondisinya remuk. Jasad Prabangsa kemudian dibuang ke laut. Ia baru ditemukan enam hari setelahnya, yakni pada 16 Februari 2009 di perairan Padang Bai, Karang Asem, Bali. Kasus pembunuhannya pun baru terungkap berbulan-bulan setelahnya. Ketua HRLS Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratman mengatakan proses pengungkapan kasus pembunuhan terhadap jurnalis Prabangsa ini pun membutuhkan usaha yang tidak mudah. Kala itu, kata dia, sejumlah kelompok jurnalis bahkan sampai harus membentuk tim pengawas pengadilan terhadap kasus ini. Beberapa mantan hakim dan jaksa juga turut membantu bergabung di dalamnya. Apalagi, kata Herlambang, Susrama adalah adik kandung dari Bupati Bangli, Bali, I Nengah Arnawa. Ia jiga diketahui sebagai calon legislatif dari partai PDIP. "Sebuah upaya yang tidak mudah, tapi konsolidasi teman-teman jurnalis luar biasa, mereka membentuk tim pengawas jalannya pengadilan, tapi berkat jurnalis kompak dengan elemen masyarakat, sehingga keganjilan itu bisa dihindari," kata dia. Maka, kata dia, jangan sampai remisi terhadap Susrama ini benar terjadi, sebab hal itu sama saja seperti merenggut kebebasan pers, dan merampas hak memperoleh informasi oleh masyarakat sipil secara keseluruhan. (frd)