Masyarakat Jawa di Suriname, Riwayatmu Kini
Dunia memperingati tanggal 9 Agustus sebagai hari masyarakat adat internasional. Di tanggal yang sama, masyarakat Jawa yang ada di Suriname, Amerika Utara memperingati The Day of Wong Jowo. Dikutip dari Madubranta.id, peringatan hari tersebut sebagai bukti kepada dunia masyarakat di Jawa yang berasal dari Suriname masih menjaga adat dan budayanya.
Awal mula suku Jawa berpindah ke Suriname dimulai pada tahun 1890. Bangsa Belanda yang kala itu menjajah Jawa mengirim 30 ribu lebih penduduk Jawa. Belanda ingin perkebunan di Suriname ada yang mengurus. Selain ke Suriname, pemerintah Belanda juga mengirim penduduk Jawa ke Belanda.
Di Suriname sendiri, masyarakat Jawa sejumlah 32.956 orang tersebar di enam tempat, yaitu Saramacca, Coronie, Nickeria, Moengo, Paranam dan Biliton. Masyarakat Jawa di sana masih menjaga dan melestarikan budaya Jawa, seperti pesta tayuban, wayang kulit, wayang orang, dan tari-tarian.
Mulih nDjowo
Kendati sudah tinggal lama di Suriname, banyak warga Jawa yang merindukan dan ingin kembali ke Indonesia. Meskipun begitu, ada pula yang memilih menetap lantaran sudah betah di sana.
Di samping itu, pada tanggal 15 Oktober 1951 masyarakat Jawa yang ingin pulang mendirikan Yayasan Tanah Air (YTA). Tujuan utama YTA adalah melakukan repatriasi “Mulih nDjowo” atau kembali ke Jawa.
Masyarakt Jawa mulai melakukan perjalanan mereka mengarungi laut pada tanggal 4 Januari 1954. Mereka menumpang sebuah kapal cargo (kapal angkut barang) MS Langkoeas. Kepergian mereka diiringi ratusan perahu bermotor dan perahu dayung mengelilingi kapal. Sebagai bentuk penghormatan yang lain, ratusan mercon/petasan dinyalakan dan terdapat pengibaran bendera.
Kepulangan dari Suriname itu diiringi dengan tangis haru. Banyak orang menangis sambil mengucapkan selamat berpisah, selamat jalan dan sampai bertemu lagi. Para suami sebagian besar meninggalkan istri, ada pula istri yang meninggalkan suami. Selain itu, banyak anak meninggalkan orang tua dan saudara-saudaranya. Sehingga ratusan keluarga terpaksa berpisah.
Nasi Rames 15 dolar dan Tahu Lontong 9 dolar
Hingga saat ini masyarakat Jawa yang masih tinggal di Suriname bertahan dengan menjual beberapa makanan lokal Indonesia. Baik di warung tradisional maupun restoran. Di antaranya nasi rames dan tahu lontong.
Seporsi nasi rames dibanderol 15 dolar Suriname (SRD) atau 30 ribu rupiah. Sedangkan seporsi tahu lontong lebih miring, yaitu 9 dolar SRD, atau 18 ribu rupiah. Selain makanan berat, makanan ringan seperti pisang goreng, lumpia, sate ayam dan sapi, serta kentang goreng dijual di bawah 8 dolar SRD.
Di sisi lain, di bagian Nickerie kehidupan Jawa masih sangat kental. Pasar tradisional di sana kondisinya sangat mirip dengan pasar yang ada di tanah Jawa.
Suriname dan Didi Kempot
Kekerabatan antara masyarakat Jawa di Suriname dengan penyanyi tembang campur sari Didi Kempot cukup dekat. Album musik Didi Kempot pertama kali masuk ke Suriname pada 1980. Album Didi Kempot langsung mendapatkan penghargaan sebagai album terbaik. Didi Kempot juga menciptakan dua lagu yang berkaitan erat dengan Suriname, yaitu Kenyo Suriname dan Layang Kangen.
Didi Kempot tercatat telah sembilan kali manggung di Stadion Anthony Nesty, Suriname. Konser terakhirnya diadakan pada 29 September 2018. Sementara, saat mengetahui sang Godfather of Broken Heart berpulang, sejumlah musisi turut mengucapkan bela sungkawa. Bahkan mereka juga menyanyikan sejumlah lagu Didi Kempot sebagai penghormatan terakhir.