Masyarakat Asmat Hadapi Ketidakpastian, Ini Kisah NU Peduli
Kasus busung lapar dan masalah kesehatan di Asmat, Papua, mengundang solidaritas kita bersama. Tim Nahdlatul Ulama (NU) Pedulu, misalnya, langsung merespon dengan memberikan bantuan kepada kaum lemah di wilayah Indonesia paling timur itu.
Berikut catatan dari Tim Kemanusiaan NU di Asmat Papua, yang disajikan khusus untuk ngopibareng.id.
Ini merupakan bagian dari cerita Tim NU Peduli, Penanganan Gizi Buruk dan Campak di Asmat Papua.
Perjalana Berangkat di Mulai dari Jakarta - Surabaya - Makassar - Mimika, Saat di Mimika Tim Menginap di Mimika karena belum adanya kepastian Penerbangan Mimika - Agats, Setelah Koordinasi dan dibantu oleh PCNU Mimika kerjasama dengan Bandara Mozes Kilangin ( milik Freeport) Kami bisa mendapatkan tiket pesawat seharga 3 juta / orang, dijadwalkan penerbangan jam 06.00 namun dengan kondisi dan alasan teknis tim diterbangkan jam 12.00 setelah dengan berbagai pertimbangan (kami bisa membeli tiket karena pendekatan NU dengan pihak bandara) jika tidak bisa sewa peswat dengan harga 45 - 50 juta. penerbangan ditempuh sekitar 45 menit.
Sesampainya di bandara Ewer Agats Tim dijemput PCNU Kab Asmat dan Ketua Badan Musyawarah Kampung (BAMUSKAM) Bapak Leo yang juga salah satu tokoh adat di distrik Agats, perjalanan dan dilanjutkan ke Agats Ibukota Asmat menggunakan speedboat sekitar 20 menit, dengan harga sewa 500 ribu.
Tim NU langsung koordinasi dengan posko utama ( Bupati, Danrem, Kapuskrisis Kemenkes, Polri dll) langsung pembagian peran dan wilayah, kami konsentrasi di kampung Syuru, Kaye dan Aswet di distrik Agats. tim lain bertugas di 21 distrik yang lain dan menuju ke distrik menggunakan speedboat, ada yg bs ditempuh 4 jam dan ada yang 8 jam, dengan pengawalan keamanan ketat oleh TNI, hal ini belum juga aman dari dahsyatnya nyamuk Asmat yang menghantui tim kemanusiaan yaitu MALARIA. Kami seminggu sebelum berangkat sudah harus di vaksin untuk imun atau kekebalan tubuh dan minum obat anti malaria 2 hari sebelum berangkat dan selama bertugas serta 3 hari setelah tugas (di Jakarta)
Selama bertugas Tim NU selalu melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, hal-hal yang kami temukan tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang singkat, karena pola kehidupan mereka (suku asmat) yang sangat jauh dari apa yang kita bayangkan selama ini, di antarannya persoalan air bersih hanya dari air hujan, untuk mandi dan minum tanpa dimasak terlebih dahulu, sehingga pertanyanya bagi tim bukan "berapa kali mandi? tapi kapan terakhir mandi ?".
Alhamdulillah kami dapat memberdayakan Tim Lokal dengan melibatkan NU, para tokoh agama, tokoh adat untuk melakukan program secara berkelanjutan, ada 15 tim lokal (penduduk asmat) yang sampai saat ini memberikan sosialisasi, memberikan makanan dan gizi kepada anak-anak 4 hari dalam seminggu, dan 2 kali (pagi dan sore) dalam sehari, hal ini dilakukan sampai perkembangan kondisi anak yang malnutrisi menjadi cukup nutrisi / bergizi baik.
Setelah selesai tugas kami ingin pulang ke Jakarta, namun belum ada kepastian karena tak ada pesawat yang ke Mimika atau Jayapura, sementara kapal laut bersandar di Agats diperkirakan tanggal 1 Februari 2018, saat yang bersamaan juga terjadi gerhana bulan, sebagai informasi akan terjadi pasang air laut yang berdampak pada tingginya ombak, perjalanan kapal laut dari Agats ke Merauke ditempuh hampir 30 jam (betapa lelah dan capek) diperkirakan kapal bersandar di Merauke tanggal 3 Februari 2018 (kapal hanya ada 2 kali dalam 1 bulan) dan tiket pesawat kami dari Merauke - Jakarta sudah dibeli untuk tanggal 2 Februari 2018. akhirnya kami meminta mba Fitria Ariyani untuk menjadwalkan ulang atau refund dan dipotong 4 juta rupiah.
Akhirnya kabar gembira menghampiri Tim NU, bahwa akan ada pesawat dari Jayapura yang akan membawa logistik ke Asmat dan pulangnya kosong alias tak membawa penumpang, kami mendaftar untuk ikut pesawat ke Jayapura dengan harga tiket 2,5 juta / orang, dalam pemikiran saya pesawat logistik pesawat yang agak besar, ternyata pesawat yang berpenumpang 7 seat dan berbaling2 satu, beberapa teman meledek kami " bahwa itu bukan pesawat tapi layang-layang",
Ternyata ledekan teman benar adanya, kami 2 jam melayang-layang diangkasa dengan sesekali terpelanting karena menabrak awan, turbulensi tak dapat kami hindari utamanya tabrakan angin kencang di lembah - lembah Wamena, semua do'a yang kami hafal kami panjatkan ke Allah Tuhan Pemberi selamat, hampir 2 jam dengan bertabrakan dengan awan dan melayang - layang seperti bertahun2 dalam kesengsaraan dan ketidak pastian.
Alhamdulillah sujud syukur kami panjatkan saat gerombolan rumah dan gedung terlihat dari atas, ada harapan terlihat dibawah, terlebih saat pesawat dapat mendarat dengan baik. semua penumpang turun dan ada yang ke kamar mandi, ada yang mancari tempat duduk, ada yang lesehan di lapangan, ada juga yang mencari makanan semua merasakan pusing, mual dan ingin muntah.
Sujud syukur yang tadi ternyata sujud syukur pertama, lantaran pesawat hanya transit alias belum sampai di bandara Sentani Jayapura, akan tetapi masih di Wamena. masih 50 nenit lagi kami harus berjuang dengan melawan lembutnya awan, saat saya tanya ke pilot " bagaimana kondisi menuju Jayapura? pilot menjawab penerbangan akan lebih cepat karena dibantu angin yang punya arah sama ke Jayapura".
Alhamdulillah setelah 45 menit dari Wamena kami dapat mendarat dengan baik di Sentani Jayapura, meski bukan yang pertama kali naik pesawat kecil, namun kali ini yang paling dahsyat yang saya rasakan.
Perjalanan kami ke Bangladesh dalam penanganan Rohingnya meski sempat ditahan pihak militer, tidak sedahsyat di Asmat Papua.
Pastinya Sebuah Ketidakpastian, dan Mahalnya sebuah kepastian, yang kami rencanakan di Jakarta hampir berubah menyesuaikan kondisi lokal
Alhamdulillah semoga berkah
#CatataNUpeduliAsmat
#NUbersamaUmmat
#TimNUntukAsmatPapua. (adi)
Advertisement