Masyarakat Adat Sembalun Tepis Stigma Syirik Wetu Telu di Lombok
Masyarakat adat Sembalun, merupakan suku sasak yang berada di bawah kaki Gunung Rinjani, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, mereka sering dianggap sesat karena dipercaya masyarakat mempraktikan sinkretisme, di pulau yang dijuluki seribu masjid tersebut. Stigma negatif yang ditanamkan dari masa orde baru tersebut sulit hilang bahkan sampai saat ini.
Ada berbagai pandangan negatif yang melekat pada masyarakat adat Sembalun, sebagai penganut Wetu Telu, mereka masih melestarikan praktik ritual adat berabad-abad lamanya. Ritual ini kerap disalahpahami, sehingga dianggap sebagai Islam Wetu Telu.
“Kalau dari cerita ya mas, wetu telu itu ya mereka yang sholatnya tiga waktu dalam sehari,” ucap Hamidun, pemuda yang tinggal di desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun.
Midun sapaan akrabnya, juga menambahkan ada pendapat lain yang mengatakan bahwa penganut wetu telu juga puasa tiga kali dalam satu bulan, yaitu di awal, tengah dan akhir.
“Bahkan ada lagi yang mengatakan, hanya tiga pimpinan adatnya saja yang wajib melakukan ibadah, yaitu Penghulu, Pemangku dan Pemekel,” ujarnya.
Namun, Menurut Midun ia hanya memeroleh cerita tersebut dari mulut ke mulut tanpa memeriksa secara lebih lanjut.
Mendengar penjelasan Midun, stigma syirik mengenai penganut wetu telu, jika dicermati secara seksama sama halnya dengan Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Maupun Sunda Wiwitan di Jawa Barat, yang merupakan praktik beragama sinkretis yang pada rezim Orde Baru kemudian dikategorikan sebagai "aliran kepercayaan", bukan agama.
Adanya berbagai anggapan mengenai Wetu Telu tersebut ngopibareng.id kemudian berkesempatan berkorespondensi dengan Pemangku adat Sembalun, Abdurahman Sembahulun, melalui pesan whatsapp dan telepon seluler, juga menelusuri sumber-sumber sekunder baik dari artikel maupun jurnal.
Lelaki tua yang saat ini berumur kira-kira 64 tahun tersebut, memiliki ingatan yang kuat, jarang sekali ia mengucap kata lupa ketika diwawancarai. Ia menepis segala tudingan miring mengenai penganut wetu telu dan menegaskan bahwa mereka menjalankan agama sesuai dengan ajaran syariat islam.
“Wetu Telu itu merupakan filosofi hidup, yaitu tiga sumber kehidupan, Tuhan, alam, manusia, yang merupakan pegangan masyarakat adat. Jadi bukan agama, kita di sini ya tetap sholat lima waktu, puasa satu bulan penuh,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia menerangkan Wetu Telu, merupakan cerminan pandangan hidup dan sistem nilai, tata kehidupan sosial dengan sumber kehidupan, yakni; Tuhan, alam dan sesama manusia.
Filosofi budaya tersebut kemudian dituangkan dalam ritual adat yakni Loh Langgar, Loh Dewa dan Loh Makem.
“Loh Langgar itu berhubungan dengan religiusitas, dilaksanakan tiap 12 Rabi’ul Awal, hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya ada Loh Dewa, merupakan upacara sebagai bentuk wujud syukur atas panen yang didapat. Terakhir ada Loh Makem, merupakan prosesi adat untuk merawat alam, agar senantiasa terhindar dari bencana,” terangnya.
Ia menuturkan ritual adat Loh Dewa dan Loh Makem mencerminkan apresiasi masyarakat terhadap lingkungan alam dan pentingnya masyarakat hidup seimbang, arif dan dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Abdurahman kemudian menjelaskan bahwa ritual adat tersebut dipimpin oleh Wik Tu Telu (tiga pimpinan adat) yaitu Penghulu adat (mengurusi bidang agama), Pemangku adat (mengurusi alam) dan Pemekel adat (mengurusi sosial dan kemasyarakatan).
Dalam artikel penelitian Negara(isasi) Tanah Masyarakat Adat Sembahulun dari Masa ke Masa oleh Yamni dari Sajogyo Institute, ia menuliskan, bahwa pada masa kolonial sistem paranata adat berubah dari Wik Tu Telu menjadi Wet Tu Telu (Wet dalam bahasa Belanda adalah (hukum/undang-undang).
“Ini dilakukan untuk memisahkan pranata adat dari hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda,” ungkapnya dalam tulisan tersebut.
Mengutip dari tulisan Abdurahman Sembahulun dan Y.L. Franky Masyarakat Adat Sembalun Lombok: Sistem Pengelolaan Hutan Adat di Sembalun dijelaskan bahwa hal tersebut dilakukan pemerintah Hindia-Belanda karena mempunyai kepentingan untuk mengambilalih hutan adat dan tanah ulayat untuk dijadikan tanah negara atau istilahnya disebut tanah GG (Gross Governor).
Kemudian diberikan tanda pipil (semacam sertifikat) untuk memudahkan pembayaran pajak melalui surat keputusan nomor 15 Staastblad/ nomor 77, tanggal 12 Maret 1941.
“Perubahan makna dari Wik Tu Telu menjadi Wet Tu Telu di zaman kolonial, adalah untuk mengambilalih hutan adat dan juga sebagai devide at impera (politik adu domba),” jelas Abdurahman.
Selang empat dekade, tepatnya pada 1989, ketika rezim orde baru berkuasa, Wetu Telu dicap sebagai laku peribadatan syirik, sehingga saat itu terjadi polarisasi islam waktu lima dan waktu tiga.
“Pada zaman Pak Harto, diubah lagi. Jadi Wetu itu diartikan sebagai waktu. Padahal itu dari bahasa Jawa, yang berarti metu. Karena yang menyebarkan islam mula-mula di Lombok ini adalah Sunan Prapen, dari Gresik, Jawa Timur,” tuturnya.
Abdurahman menceritakan, pada saat itu rezim orde baru memiliki kepentingan untuk melakukan politik tanam bawang putih di Sembalun.
“Maka Bu Tien tahun 1989 itu datang ke Sembalun, dengan membebaskan tanah ulayat untuk dijadikan pertanian bawang putih. Jadinya hutan adat itu dibabat habis dialihfngsikan jadi lahan pertanian,” terangnya.
Maka menurut Abdurahman stigma negatif terhadap Wetu Telu tersebut terus dibentuk oleh orde baru untuk melemahkan perlawanan masyarakat adat, dalam merebut kembali hutan adatnya.
“Maka saya sama masyarakat di Sembalun waktu itu, dikira mengajarkan kesyirikan” jelasnya.
Lelaki tua yang saat ini berumur kira-kira 64 tahun tersebut, memiliki ingatan yang kuat, jarang sekali ia mengucap kata lupa ketika diwawancarai. Ia menepis segala tudingan miring mengenai penganut wetu telu dan menegaskan bahwa mereka menjalankan agama sesuai dengan ajaran syariat islam.
“Wetu Telu itu merupakan filosofi hidup, yaitu tiga sumber kehidupan, Tuhan, alam, manusia, yang merupakan pegangan masyarakat adat. Jadi bukan agama, kita di sini ya tetap sholat lima waktu, puasa satu bulan penuh,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia menerangkan Wetu Telu, merupakan cerminan pandangan hidup dan sistem nilai, tata kehidupan sosial dengan sumber kehidupan, yakni; Tuhan, alam dan sesama manusia.
Filosofi budaya tersebut kemudian dituangkan dalam ritual adat yakni Loh Langgar, Loh Dewa dan Loh Makem.
“Loh Langgar itu berhubungan dengan religiusitas, dilaksanakan tiap 12 Rabi’ul Awal, hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya ada Loh Dewa, merupakan upacara sebagai bentuk wujud syukur atas panen yang didapat. Terakhir ada Loh Makem, merupakan prosesi adat untuk merawat alam, agar senantiasa terhindar dari bencana,” terangnya.
Abdurahman kemudian menuturkan bahwa ritual adat tersebut dipimpin oleh Wik Tu Telu (tiga pimpinan adat) yaitu Penghulu adat (mengurusi bidang agama), Pemangku adat (mengurusi alam) dan Pemekel adat (mengurusi sosial dan kemasyarakatan)
Dalam artikel penelitian Negara(isasi) Tanah Masyarakat Adat Sembahulun dari Masa ke Masa oleh Yamni dari Sajogyo Institute, ia menuliskan, bahwa pada masa kolonial sistem paranata adat berubah dari Wik Tu Telu menjadi Wet Tu Telu (Wet dalam bahasa Belanda adalah (hukum/undang-undang).
“Ini dilakukan untuk memisahkan pranata adat dari hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda,” ungkapnya dalam tulisan tersebut.
Mengutip dari tulisan Abdurahman Sembahulun dan Y.L. Franky Masyarakat Adat Sembalun Lombok: Sistem Pengelolaan Hutan Adat di Sembalun dijelaskan bahwa hal tersebut dilakukan pemerintah Hindia-Belanda karena mempunyai kepentingan untuk mengambilalih hutan adat dan tanah ulayat untuk dijadikan tanah negara atau istilahnya disebut tanah GG (Gross Governor).
Kemudian diberikan tanda pipil (semacam sertifikat) untuk memudahkan pembayaran pajak melalui surat keputusan nomor 15 Staastblad/ nomor 77, tanggal 12 Maret 1941.
“Perubahan makna dari Wik Tu Telu menjadi Wet Tu Telu di zaman kolonial, adalah untuk mengambilalih hutan adat dan juga sebagai devide at impera (politik adu domba),” jelas Abdurahman.
Selang empat dekade, tepatnya pada 1989, ketika rezim orde baru berkuasa, Wetu Telu dicap sebagai laku peribadatan syirik, sehingga saat itu terjadi polarisasi islam waktu lima dan waktu tiga.
“Pada zaman Pak Harto, diubah lagi. Jadi Wetu itu diartikan sebagai waktu. Padahal itu dari bahasa Jawa, yang berarti metu. Karena yang menyebarkan islam mula-mula di Lombok ini adalah Sunan Prapen, dari Gresik, Jawa Timur,” tuturnya.
Abdurahman menceritakan, pada saat itu rezim orde baru memiliki kepentingan untuk melakukan politik tanam bawang putih di Sembalun.
“Maka Bu Tien tahun 1989 itu datang ke Sembalun, dengan membebaskan tanah ulayat untuk dijadikan pertanian bawang putih. Jadinya hutan adat itu dibabat habis dialihfngsikan jadi lahan pertanian,” terangnya.
Maka menurut Abdurahman stigma negatif terhadap Wetu Telu tersebut terus dibentuk oleh orde baru untuk melemahkan perlawanan masyarakat adat, dalam merebut kembali hutan adatnya.
“Maka saya sama masyarakat di Sembalun waktu itu, dikira mengajarkan kesyirikan” jelasnya.
Terkait stigma yang sudah kadung melekat pada penganut Wetu Telu, Abdurahman menyatakan bahwa sudah bosan mendengar itu semua.
“Tentu mereka harus belajar dulu, karena adat kita di sini yaitu, adat yang bersendikan agama, agama bersendikan syari’ah, syari’ah bersendikan kitabullah dan sunatullah,” jelasnya.
Ia berharap agar masyarakat yang terlanjur mengecap negatif penganut wetu telu agar tidak hanya mendengarkan dari perkataan orang lain saja, namun juga harus mencari tahu dari sumbernya.
Selain masyarakat adat Sembalun, Lombok Timur penganut Wetu Telu ini juga ada di Bayan, Lombok Utara, di sana ada masyarakat adat Bayan yang juga terletak di bawah kaki gunung Rinjani.
Jika ingin mendaki Rinjani dari Sembalun, maka jalur pendakian mulai dari Sembalun Lawang. Sedangkan jika melalui Bayan, jalur pendakian melalui Senaru.
Masyarakat adat Bayan juga bernasib sama seperti yang ada di Sembalun. Ketika rezim orde baru mereka dicap komunis karena dianggap sebagai penghambat pembangunan kala itu.
“Wetu Telu ini adalah nilai Islam juga cuma dipahami secara tradisional, lebih dekat dengan ilmu tasawuf, yang menyentuh kepada relung hati,” tutupnya. (teo)