Master Sifu Kopi Indonesia
Minuman kok warnanya hitam. Jangan-jangan kecampur rawon. Jangan-jangan kecipratan sumbo. Jangan-jangan kerendam areng.
Atau, jangan-jangan, air bekas kobokan. What is kobokan? Kobokan adalah air basuhan tangan yang kadang disiapkan rumah makan untuk cuci tangan.
Pokoknya penuh dengan jangan-jangan. Jangan-jangan itu pertanda khawatir. Tidak percaya diri. Bahkan, ketakutan. Acapkali, khawatir menjadi kenyataan karena suratan takdir.
Jangan-jangan itu kalau dibahasajawakan sepadan dengan gek-gek. Gek-gek itu sepadan dengan ojo-ojo. Lucu ah, gak cocok ah. Biar tetap jangan-jangan saja. Nanti kalau diganti gek-gek malah dikira salah tulis. Dibaca gagak malah repot.
Masak Bambang Sriono seperti gagak. Ya, enggak la yaw. Salah buesar. Pak Bambang Sriono itu master sifu di dunia kopi Indonesia. Suhu, kata orang China dalam film-film kungfu Shaolin.
Tapi begitulah Bambang Sriono sebelum jadi master sifu kopi. Dia orang yang penuh jangan-jangan karena minuman kopi warnanya hitam.
Betul sudah, karena kehitaman itu pula perutnya mual karena kopi. Lalu jijik. Jijik itu gilo (bahasa Jawa lagi, red). Kalau salah tulis jadi gila.
Tapi Bambang Sriono akhirnya memang gila. Tergila-gila maksudnya. Minuman hitam kok asyik begini. Rasa mual perut itu pun ditabrak. Dijatuhkan. Ditendang. Tidak dipikirkan.
Tahun 2003 dia masuk jadi peserta pelatihan Pusat Penelitihan Kopi dan Kakao Indonesia di Kaliwining, Jenggawah, Jember.
Lalu bagaimana dengan rasa jangan-jangan-nya? Masihlah! Tapi sudah jauh menipis. Wajarlah kalau belum bisa hilang sama sekali, sebab saat itu beredar isu kencang muncul semacam jamur ganas bernama Ocratoxin A. Jamur itu, menurut banyak ahli yang berkompeten, bisa tumbuh di biji-bijian, termasuk dalam biji kopi.
Menurut kabar itu, jamur ocratoxin tersebut tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Juga tidak mati walau dipanasi dengan suhu di atas 100° C. Jamur yang tidak bisa ditelanjangi mata itu dipercaya sebagai penyebab kanker hati. Wiiihhh, ngeri!
Di pusat pelatihan, Bambang berkenalan dan diperkenalkan dengan GAP dan GMP. What is it? Yaitu, budidaya yang baik dan pengolahan yang baik menyangkut komoditas keren bernama kopi.
Mulai anak-anak sampai dewasa, bahkan tahun 2000 awal jadi petani kopi, Bambang Sriono masih jijik dengan kopi, baunya saja bikin kepala pusing, dan seterunya. Begitu diperkenalkan dengan GAP dan GMP suasana hatinya benar-benar berubah.
Salah satu materi penting dalam pelatihan itu adalah mencicipi kopi. Ada berpuluh peserta saat itu, dan semua peserta diharuskan mencicipi kopi.
"Mau tidak mau, saya harus mencecapnya. Wong ini sekolah, maka ya harus nurut sama gurunya. Kebetulan kopi yg saya sruput pertama kali adalah kopi yg paling tidak uuueenaaak. Karena belum bisa minum kopi, justru itu amat memudahkan. Akhirnya kopi tertelan dengan gampang," kenangnya.
Selesai? Belum. Aduuuuh... maak... perutnya mual. Rasa seperti diaduk. Kepala nggliyeng. "Tapi saya menahan diri untuk tidak huek huek. Nanti saya dikira wong lagi meteng kan repot. Akhirnya, saya diberi air putih untuk menetralisir keadaan."
Mencoba dan mencoba lagi. Itu pada masa pelatihan. Memaksa diri itu ternyata punya hasil akhir yang bagus juga. Makin dicoba, mangkok demi mangkok kopi ternyata tambah enak. Semakin dirasa semakin nyaman. Begitulah ternyata kopi.
"Terakhir yang saya sruput adalah kopi arabika spesialty. Uedian, itu kopi nikmat luar biasa. Cukup getun saya, mengapa tidak mengenal dunia hitam ini lebih awal. Jadi, gek-gek saya dari awal itu salah besar. Jadi saya ini boleh dibilang telat jatuh cinta lho. Eittt ke buah kopi maksudnya," kata Bambang Sriono.
Lelaki yang jadi panutan semua orang, stakeholders, dunia perkopian ini aslinya orang Surabaya. Perjalanan panjangnya membawa dia memiliki tempat berteduh dan beranak pinak di kawasan Jember, Jawa Timur.
Catat kontak emailnya ya, atau nomor telponnya (eh iya nomernya ada di ngopibareng.id, red), sebab orang kopi satu ini tak segan berbagi ilmu kopi. Tujuh hari tujuh malam pun diladeni, asal tidak ngantuk dan "diculik" para pecinta kopi. widikamidi