Massa AMP Tuntut Tujuh Tapol, untuk Dibebaskan Tanpa Syarat
Puluhan massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) gelar aksi damai di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Selasa, 16 Juni 2020. Dalam demonstrasi tersebut, mereka mendesak pemerintah membebaskan tujuh tahanan politik (tapol) yang ditangkap, pada Agustus 2019, lalu.
Juru bicara AMP Surabaya, Sam Kayame mengatakan, sejatinya aksi ini bermula dari tindakan represif yang dilakukan oleh kepolisian dan ormas terhadap mahasiswa Papua, di Asrama Mahasiswa Papua, Jalan Kalasan Surabaya, 16-17 Agustus 2019 lalu.
Peristiwa tersebut, kemudian disikapi secara spontan oleh masyarakat Papua di Provinsi Papua Barat di berbagai kota dan kabupaten. Dan kemudian direspon oleh Pemerintah Indonesia dengan pembatasan jaringan internet.
“Kita lihat dari aksi rasisme tahun kemarin tepatnya di Asrama Papua, pelaku ujaran rasis serta aparat dan ormas mereka dihukum tidak setimpal dengan korban rasis,” kata Sam, ketika aksi sedang berlangsung.
Sam menyebut, hukuman yang diberikan kepada tujuh tapol ini, merupakan salah satu bentuk rasisme diranah hukum Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan pasal makar guna menahan kawannya itu.
Yakni kepada Buctar Tabuni 17 tahun penjara, Agus Kossai 15 tahun penjara, Steven Itlay 15 tahun, Ferry Gombo 10 tahun penjara, Alex Gobay 10 tahun, Irwanus Uropmabin 5 tahun dan Hengki Hilapok 5 tahun.
“Aksi hari ini tuntutannya untuk membebaskan tapol teman kami, dimana tuntutan itu tidak sewajarnya yang ditegakkan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum),” jelasnya.
Sementara itu, lanjut Sam, pelaku ujaran rasisme seperti Syamsul Arifin, oknum Aparatur Negara (ASN) hanya dijatuhi hukuman lima bulan penjara, dan pimpinan ormas reaksioner Tri Susanti hanya dijatuhi hukuman 5 dan 7 bulan penjara. Sementara oknum TNI yang terlibat, tak jelas proses hukumnya hingga sekarang.
“Karena protes terhadap rasisme oknum aparat yang menyatakan usir orang Papua, orang Papua itu monyet. Sebenarnya peristiwa ini hanya percikan yang terakumulasi dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Dan ini bom waktu saja pasti kemudian ke depan juga akan meledak lagi,” ungkapnya.
Perlu diketahui, tujuh tapol yang saat ini tengah ditahan, akan menjalani sidang putusan 17 Juni 2020, besok di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan, Kalimantan Timur.
“Kami menganggap bahwa mereka itu (tujuh tapol) korban, bukan pelaku. Mereka itu bukan yang mengorganisir massa Papua, tapi massa yang turun waktu terjadi protes rasisme itu, mereka mengkonsolidasikan diri mereka sendiri,” tutup Sam.