Masjid Vs Pasar, Dilema Pandemi Corona
Di musim pandemic corona minggu terakhir bulan Ramadhan ini, beredar luas tulisan di WA group berdebat seputar larangan melaksanakan ibadah salat Ied, ber jum’atan dan jamaah di masjid dan kontradiksi dengan ramainya foto di medsos memuat gambar orang berdesakan belanja di pasar, antrean belanja baju baru di mall dan menumpuknya calon penumpang di bandara dan palabuhan.
Beredar luas sindiran sinis di WAG: “Keluar rumah berani. Ke pasar berani. Ke ruang publik berani. Giliran ke masjid takut corona.?”“Tidak berjama’ah ke masjid, tapi masih keluar buat bekerja. Situ waras?!” “Ke ATM berani, ke pasar berani, ke warung berani…. Giliran ke masjid ga berani takut corona katanya… Antum waras??”
Sementara yang pro larangan berkumpul di masyarakat menentang balik sindiran tersebut, dengan argumentasi: “menganalogikan pasar dengan Masjid, adalah bentuk perendahan kepada kemuliaan Masjid, bahwa analogi masjid dengan pasar dalam kasus corona, tidak nyambung atau apple to apple, masjid ada pengganti, sementara pasar tidak. perkumpulan masa di masjid, sifatnya berulang setiap hari, sementara di pasar, tidak. physical distancing sangat susah dilakukan di masjid, sementara di pasar lebih mudah.
Mari coba kita pelajari dan luruskan dua argumen yang bertolak belakang ini, menurut penulis kedua argumen kelompok ini sama sekali tidak nyambung visinya dengan keadaan di lapangan. Hanya debat kusir alias syafshathoh secara ilmu mantiq. Kelompok pertama meremehkan bahaya kerumunan massa yang dilarang pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus, jika tidak dilaksanakan dengan protocol kesehatan yang ketat apalagi dilakukan di zona merah. Sementara kelompok kedua malah permisif mentolelir kerumunan massa di pasar dan tempat umum yang secara logikanya justru lebih kotor dan rentan menjadi titik penularan, karena di sana pasti lebih sulit diatur ”shaf” nya dan jelas terjadi proses interaksi jarak dekat. Tukar-menukar uang kotor dari tangan ke tangan yang telah diyakini sebagai sumber penularan virus berbahaya dengan alasan pembenaran yang cacat logika.
Seharusnya, kita bersama mendukung pemerintah untuk mencegah penularan virus Covid-19 secara tegas dan konsekwen dalam melaksanakan PSBB, dengan tidak mengizinkan kegiatan-kegiatan yang mendorong orang berkerumun di tempat-tempat umum. Peraturan tersebut perlu dilaksanakan secara berkeadilan, bukan hanya getol melarang umat Islam bersalat jamaah di masjid tapi mengizinkan orang banyak menumpuk di bandara dan tempat keramaian lain.
Rapid tes dan pencegahan sudah semestinya dilaksanakan kepada semua pihak tanpa membedakan antara masjid dengan pasar, dimana protokol kesehatan harus diterapkan masyarakat di semua tempat sesuai standar kesehatan, ,karena akan sangat tidak berarti jika larangan berkumpul di masjid yang notabene dalam keadaan lebih bersih, dilakukan oleh masyarakat taat beragama dan beradab dalam lingkungan terbatas, tidak diimbangi dengan larangan berkumpul di pasar dan Mall, atau bandara dan terminal, toh mereka juga akan pulang kembali berkumpul keluarga kerumahnya membawa ancaman virus dari luar?
Menurut pengamatan penulis di lapangan, kontroversi yang terjadi ditimbulkan oleh sikap aparat keamanan di lapangan yang kadang terkesan sepihak dan membuat masyarakat merasa dicedarai rasa keadilan. Ada ambivalensi atau pertentangan sikap pemerintah dalam penanganan wabah Covid-19. Di satu sisi, pemerintah dengan lantang mencegah orang untuk berkumpul di masjid melaksanakan salat Jumat dan salat berjamaah dengan peraturan, selebaran dan banner pemberitahuan. Bahkan di beberapa daerah para petugas mencegat jamaah untuk dilakukan rapid test di pintu gerbang masjid. Di sisi lain, pemerintah terkesan tidak mengambil tindakan tegas untuk menghadapi masyarakat yang berkumpul di pasar, pusat perbelanjaan, hingga bandara dan pelabuhan dengan memberikan perlakuan yang sama dan seimbang.
Belajar dari Berbagai Negara
Sukses story penanganan covid 19 di wuhan, mereka menetapkan aturan lockdown yang berhasil efektif dengan pengawasan super canggih, penerapan karantina dilaksanakan secara ketat. Polisi dan relawan secara tegas menjaga setiap pintu keluar masuk blok-blok apartemen untuk memastikan terjadinya karantina. Dengan aturan ketat ini Cina berhasil menurunkan tingkat infeksi baru dari ribuan sehari ketika puncak wabah terjadi, hingga menjadi nol dalam waktu lima minggu.
Berbeda dengan Cina, Pada akhir Januari 2020, Singapura sempat menjadi negara dengan kasus virus corona terbanyak selain Cina. Namun hingga hari ini ; 20/ 05/ 2020 hanya tercatat korban meninggal 22 orang, angka yang sangat rendah sekali dibandingkan beberapa tetangga negara seribu satu larangan ini, meskipun mereka tidak menetapkan lockdown. Lantas bagaimana Singapura menangani penyebaran virus corona di negaranya?
Dikutip dari Kompas (18/3/2020), intervensi pemerintah adalah kuncinya. Selain itu penelusuran yang teliti, menjaga jarak sosial, dan karantina pasien positif covid 19 ditegakkan. Semuanya dikoordinasikan oleh seorang pemimpin yang bertindak cepat dan transparan. Singapura hanya butuh waktu 2 jam untuk mengungkap rincian pertama tentang bagaimana pasien tertular virus corona dan orang yang mungkin mereka infeksi.
Pemerintah dapat dengan mudah mengetahui: Apakah mereka bepergian ke luar negeri? Apakah mereka memiliki hubungan ke salah satu dari lima kelompok (kluster) penularan yang diidentifikasi di seluruh negara? Apakah mereka batuk pada seseorang di jalan? Siapa teman dan keluarga mereka, serta teman minum dan rekan mereka.
Kebijakan lain yang dibuat Singapura adalah pelarangan wisatawan mulai akhir Januari. Singapura menjadi salah satu negara yang melarang wisatawan dari China dan lainnya. Di negara berpenduduk 5,7 juta orang itu, pemerintahnya mengembangkan kemampuan untuk menguji lebih dari 2.000 orang per hari. Pengujian sampel itu gratis. Demikian juga perawatan medis untuk semua penduduk. Orang yang diketahui dekat dengan pasien dimasukkan ke dalam karantina wajib untuk menghentikan penularan lebih lanjut. Hampir 5.000 orang telah diisolasi. Bagi mereka yang menghindari perintah karantina dapat menghadapi dakwaan pidana.
Amerika serikat dianggap cukup berhasil menekan angka penyebaran Corona dengan melakukan rapid tes massal setiap hari dan memberlakukan karantina wilayah hanya di daerah yang dianggap rawan saja. Sementara Saudi Arabia menetapkan lockdown di beberapa kota penting. Melarang orang keluar rumah secara ketat dan aturan pelarangan semua kegiatan pengumpulan massa baik di masjid maupun semua tempat lainnya dengan ancaman denda yang besar bagi pelanggarnya, juga ditambah melakukan pemberlakuan jam malam di berbagai kota.
Beberapa metode di atas mungkin bisa diadaptasi di Indonesia. pemerintah hendaknya segera melakukan upaya screening massal serentak di semua wilayah atau di zona merah untuk mendukung keberhasilan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah wilayah di Indonesia. Dengan tindaklanjut antara yang positif dan negatif dapat segera dipisahkan di rumah karantina yang memadai untuk ODP dan PDP ditingkatan desa dan kelurahan atau kecamatan. Kebijakan ini juga harus didukung dapur-dapur umum yang didirikan oleh para lurah dan kepala desa untuk menjamin ketersediaan makanan rakyat di masa karantina dan PSBB. Sementara bidan desa dan Posyandu bisa menjadi ujung tombak untuk melakukan monitoring dan evaluasi, maupun screening massal dengan melakukan door to door pemeriksaan kesehatan warga di desa dan kota.
Jika tidak mampu PSBB secara total dan maksimal, kiranya pemerintah harus mulai melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tujuannya agar bangsa ini secara bertahap mampu mengembalikan kegiatan social, pendidikan dan membangun perekonomian Indonesia pulih kembali, pemerintah kita mestinya sudah mulai menimbang dengan cermat dan terukur dalam kontek perlunya memulai bersahabat dengan Corona. karena hingga saat ini belum ada kepastian kapan vaksin anti covid 19 ini akan selesai dibuat dan apakah ampuh mengatasinya, sementara WHO menyatakan tidak akan pernah ada vaksin sebelum akhir 2021. David Nabarro seorang profesor dari global health di Imperial College London dan sekarang sebagai special envoy WHO untuk Covid-19, mengatakan bahwa kemungkinan besar tidak akan pernah ada vaksin yang efektif untuk corona. Sebagaimana ada penyakit lama yang hingga kini tidak ditemukan vaksinnya contohnya HIV AIDS dan demam berdarah.
Artinya, masyarakat harus diajari cara bisa hidup berdamai dengan corona , agar kemudian secara alami tercipta situasi kedua; herd immunity. Untuk itu perlu dimulai kampanye mendukung program hidup bersih, sesuai protokol kesehatan dalam mengatasi Covid-19 yang telah diadopsi pemerintah lewat WHO, agar bisa menjadi konsensus nasional.
Bermasker, rajin cuci tangan, selalu membawa hand sanitizer, menjaga jarak fisik dan sosial, rutin penggunaan disinfektan di sejumlah tempat umum harus menjadi norma baru dalam keseharian. Di rumah, kantor, sekolah, pabrik, tempat pertemuan, rumah-rumah ibadah diatur untuk menerapkan kebersihan dengan level tinggi agar masyarakat dapat mulai memulai hidup baru yang disebut dengan New Normal dengan aman.
*)KH. Dr. H. Ahmad Fahrur Rozi. Pengasuh PP. Annur 1 Malang, wakil ketua PWNU Jatim