Masjid NU Lakukan Pendidikan Kewargaan, Bukan Penggalangan Suara
Pemilu 2024 yang akan berlangsung tak sampai 6 bulan lagi, harus dipersiapkan dengan baik, salah satunya melakukan penguatan nilai kewargaan atau citizenship melalui Masjid dan mushalla.
Keberadaan Indonesia sebagai negara bangsa yang didirikan para Founding Fathers termasuk di dalamnya ulama Nahdlatul Ulama menjadi alasan kuat untuk menyukseskan Pemilu sebagai kesepakatan bersama dalam mekanisme menentukan kepemimpinan negara yang juga akan memimpin umat Islam di Indonesia.
Sebaliknya, masjid tidak boleh disalahgunakan oleh politik praktis sebagai tempat penggalangan suara para kontestan Pemilu, baik Calon Presiden/Wakil Presiden, Calon Anggota Legislatif (Calon), ataupun pemilihan Kepala Daerah.
Demikian kesimpulan yang mengemuka dalam Sarasehan Kebangsaan yang digelar oleh Lembaga Takmir Masjid Nahlatul Ulama (LTMNU) Kabupaten Pasuruan, bekerjasama dengan Bagian Kesejahteraan Rakyat, Pemerintah Kabupaten Pasuruan, di Pendopo Nyawiji Ngesti Wenganing Gusti, Minggu, 27 Agustus 2023.
Hadir sebagai pembicara Dr. Listiyono Santoso, Staf Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga dan ketua Lakpesdam PWNU Jatim, serta Moh. Mundzir, SAg, MPd, Ketua LTMNU PCNU Kabupaten Pasuruan.
Sarasehan yang diikuti 300 Remaja dan Pangurus Masjid se Kabupaten Pasuruan itu, dibuka oleh Bupati Pasuruan, Dr. H. Irsyad Yusuf, di hadapan Rois Syuriyah PCNU Kabupaten Pasuruan, KH Muzakki Birrul Alim dan Ketua Tanfidziyah, H. Imron Mutamakkin.
Tiga Urgensi
Lebih lanjut, Listyono menyebut tiga urgensi penguatan nilai kewargaan di tengah masyarakat warga kita, yakni perlunya menanamkan kesadaran kehidupan berbangsa/bernegara, dilanjutkan dengan meningkatkan partsipasi masyarakat warga.
Setelah dua hal itu, lanjutnya, baru kita bisa meningkatkan kualitas demokrasi. "Tidak mungkin kualitas demokrasi diraih tanpa adanya kesadaran dan partisipasi," tegasnya.
Lebih lanjut, Listyono menyitir hasil survey yang menyebut 49,5% umat Islam di Indonesia Nahdlatul Ulama sebagai rujukan dalam beragama dan berorganisasi. Dengan demikian, maka masjid-masjid di Indonesia, khususnya di Jawa Timur apalagi Kabupaten Pasuruan, berada dalam tuntunan ibadah dan pengelolaan Nahdlatul Ulama.
Sementara NU, lanjutnya, sejak didirikannya, dikenal sebagai organisasi yang kuat memiliki konsep kebangsaan-kemasyarakatan atau ijtima'iyah, selain jati dirinya sebagai jam'iyah diniyah atau organisasi keagamaan. Maka sudah selayaknya, bila masjid-masjid yang dikelola warga NU melalui LTMNU melakukan penguatan nilai kewargaan dalam menghadapi agenda demokrasi, Pemilu 2024. "Banyak sekali yang sudah diteladankan dan diaharkan para pemimpin NU, utamanya Hadratus Syekh Hasyim Asy'ary dengan Resolusi Jihad dan KH Wahab Hasbullah tentang Konsep Waliyyul Amri, sebagai nilai-nilai kebangsaan-kewargaan yang digali dari nilai-nilai Islam," terangnya.
Sementara itu, Mundzir Muslich, menegaskan Masjid di lingkungan koordinasi LTMNU hanya boleh digunakan untuk politik keumatan, kebangsaan dan kerakyatan.
Masjid, lanjutnya, tidak untuk aktivitas politik praktis, atau politik yang orientasinya pada ambisi perebutan kekuadaan. "Bagi Masjid NU, Politik Kebangsaan Yes, Politik Praktis No!," tegasnya.
Karena itu, pihaknya melarang Masjid NU, dijadikan tempat orasi politisi atau pembicara tititpan, penyebaran atribut, pemasangan gambar, spanduk, baliho atau sejenisnya. "Takmir Masjid NU juga harus berani menolak bantuan materi dari partai dan politisi," tegasnya.