Masjid di Tanah Saudagar Tionghoa, Jejak Toleransi Beragama
Masjid Baitul Muttaqiin, merupakan salah satu masjid tua di Kabupaten Mojokerto. Rumah Ibadah yang terletak di Dusun/Desa Kecamatan Kutorejo ini berdiri sejak tahun 1928.
Uniknya masjid ini dibangun di atas tanah wakaf keluarga The Boen Keh, saudagar kaya keturunan Tionghoa.
Menurut catatan sejarawan, Ayuhan Nafiq, masjid Baitul Muttaqiin Kutorejo merupakan masjid tua yang keberadaannya berkaitan dengan pemerintahan Onderan Kutorejo.
Pada masa penjajahan Belanda, pemerintah setingkat kecamatan dinamakan Onder Distrik. Orang Jawa menyebut kantor kecamatan dengan nama Onderan. Onderan Kutorejo sendiri berdiri pada tahun 1902 setelah pemerintah Kabupaten Mojokerto memindahkan pusat pemerintahan dari Madiopuro ke Desa Kutorejo.
Masjid Baitul Muttaqiin ini berada di pertigaan Kutorejo sekitar 50 meter di barat kantor kecamatan lama. Masjid itu juga menjadi bukti adanya sikap toleransi antar umat beragama.
Buktinya, cerita menarik dari pembangunan masjid itu. Keluarga The Boen Keh, saudagar kaya keturunan Tionghoa ikut memberi bantuan saat mendirikannya. Bukan hanya bantuan materi, keluarga Cina asal Kapasan Surabaya itu juga menyumbang mimbar atau tempat kutbah bagi Khotib saat sholat Jum'at.
Mimbar yang terbuat dari kayu jati itu bukan mimbar sembarangan. Keluarga The Boen Keh memberikan meja atau altar sembahyang yang dimilikinya untuk dibuat menjadi mimbar masjid. Pada masa lalu, mimbar pada kanan dan kirinya dihiasai dengan ornamen naga. Kedua naga itu melilit dari bawah pada kanan dan kiri kaki mimbar. Dan kedua ragam hias naga tersebut bertemu hingga membentuk setengah lingkaran.
Saat ini hiasan naga yang menjadi salah satu hiasan kas Tionghoa tersebut sudah dipotong. Maka yang tersisa adalah sebagian ragam hias naga pada mimbar tersebut. Mimbar itu masih dipergunakan hingga saat ini.
Menurut cerita pada masa lalu masjid Kutorejo juga memiliki menara seperti menara yang ada di Masjid Madiopuro. Letak menara ada di sebelah utara masjid. Menara itu dibongkar saat ada renovasi masjid yang kemudian diberi nama Masjid Baitul Muttaqiin tersebut.
Benda lain yang tersisa dari masjid yang sudah mengalami perubahan fisik itu adalah sebuah bencet. Alat untuk mengetahui waktu sholat Dhuhur dan Asyar dengan memanfaatkan bayangan sinar matahari itu masih berdiri di halaman masjid.
"Tanahnya dulu dari unsur keluarga Thionghoa. Namanya saya lupa, tapi anaknya masih ada namanya Poe, rumahnya depan pasar Kutorejo," kata tokoh pemuda Desa Kutorejo, Miftaqul Jamil 36 tahun, saat ditemui wartawan, Selasa 5 April 2022.
Jamil menceritakan, menurut cerita orang zaman dulu, masjid ini sudah mengalami tiga kali renovasi. Awalnya sebelum kemerdekaan, masjid ini masih berupa panggung dengan lantai kayu. Luas tanahnya sendiri sekitar 20x60 meter persegi.
"Masjid ini sudah direnovasi 3 kali. Pertama dulu bentuk panggung. Kubahnya dulu pertama dari kayu kemudian berubah terbuat dari seng dan terakhir ini dari beton ini," ujar pria gemuk yang akrab dipanggil Jamil.
Pada tahun 2017, masjid ini terakhir kali direnovasi. Meski sudah tiga kali renovasi, masih ada beberapa bagian yang masih belum diubah. "Yang masih bertahan lengkungan bagian depan masjid, dan jam waktu penanda salat, ini ada sejak masjid panggung. Kalau bagian dalam sudah berubah," jelasnya.
Salah satu yang berubah pada bagian dalam masjid ini, menurut Jamil adalah mimbar. Dia mengakui jika saat itu ada hiasan naga dan atap pada mimbar.
"Mimbar itu sejak saya kecil ya mimbar itu sampai sekarang, cuma atasnya hilang seperti bentuk peti mati Thionghoa. Kalau yang bawahnya masih utuh," ungkapnya.
Masjid ini setara dengan masjid tingkat kecamatan. Tak sedikit warga yang memilih masjid ini untuk melakukan salat saat hari raya. Mulai dari dalam hingga teras masjid penuh. Bahkan sampai menutup jalan raya.
Saat bulan suci Ramadan pun ada yang menarik di masjid ini. Tak hanya menyiapkan minuman saja untuk sekadar mengobati rasa haus setelah menjalankan ibadah puasa. Namun di masjid ini juga menyediakan makan buka puasa.
"Ini dulu cuma minuman saja, sekarang ada nasi berserta lauknya. Bisa buka puasa di sini," cetus Jamil.
Makan ala kadarnya itu didapatkan dari kas masjid dan sumbangan para dermawan. "Masjid ini untuk semua kalangan, silakan istirahat bagi yang sedang perjalanan jauh, non muslim juga bisa istirahat," jelasnya.
Tepat di depan Masjid juga terdapat monumen perjuangan Kompi Macan Putih atau Kompi Soemadi. Pejuang asli kelahiran Kutorejo tersebut meniti karier militer dari saat ikut dalam Kesatuan Peta di Surabaya. Dia meninggal pada tahun 1988 dengan menyandang pangkat Mayor Jendral dan dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta.