Masihkah Opsi Lain Indonesia untuk Myanmar?
SEBELUM membahas opsi apa yang tersedia bagi Indonesia menyikapi perkembangan mengkhawatirkan dalam konteks aksi kekerasan di Myanmar yang menimbulkan ratusan korban jiwa dan sekitar 40 ribu pengungsi menyelamatkan diri dari tindakan tentara didukung para biksu yang telah menimbulkan bencana kemanusiaan itu?
Pertama kali, ada baiknya kita melihat seperti apa postur hubungan Indonesia – Myanmar. Potret keseluruhan hubungan dan kerjasama Indonesia – Myanmar, termasuk di dalamnya leverage apa yang dimiliki Indonesia dalam memengaruhi atau bahkan ‘menekan’ Myanmar adalah elemen kunci untuk melihat seberapa besar ruang tersedia bagi Indonesia untuk menawarkan pilihan kebijakanbagi Myanmar.
Jika berbicara tentang opsi-opsi tersedia, publik telah berbicara banyak. Ada yang mengusulkan agar mengusir Dubes Myanmar dari Indonesia, menarik Dubes Ito Sumardi dari Yangoon (KBRI masih belum pindah ke ibukota baru, Napidauw), bahkan pemutusan hubungan diplomatik. Ada yang mengusulkan agar masalah ini dibawa ke Organisasi Kerjasama Islam (OKI) bahkan ke Dewan Keamanan PBB. Ada pula yang mengusulkan agar Myanmar dikeluarkan dari ASEAN karena telah melanggar ASEAN Charter.
Tentu saja, bukan hanya masyarakat Indonesia yang terusik melihat gambar, video, dan narasi tentang kekejaman di luar bats yang terjadi di Myanmar —teruji atau belum—turut membumbui komplikasi permasalahan hubungan Indonesia – Myanmar. Masyarakat internasional pun terusik dan kecaman dunia internasional —terutama PBB dan wacana untuk pembentukan peradilan HAM internasional—bukan perkara enteng bagi Myanmar yang masih dalam proses transisi menjadi demokrasi.
Ada pula komunitas di tanah air yang mengusulkan agar Hadiah Nobel 1991 yang diberikan kepada Aung San Suu Kyi, mantan aktifis HAM yang pernah dihukum 15 tahun tahanan rumah namun membisu dan tidak membela etnis Rohingya yang tertindas itu dicabut. Sampai kini, belum ada preseden untuk pencabutan Nobel.
Memang, Suu Kyi yang kini menjadi defacto leader Myanmar —karena Konstitusi melarang dia menjadi Presiden— yang menguasai mayoritas suara di DPR karena menang pemilu 2015 kini menjadi cercaan internasional —terutama Barat— yang dulu menjadikannya ikon demokrasi sehingga menerima Hadiah Nobel. Jabatan resminya kini adalahState Counselor, atau Penasehat Negara (setingkat wakil presiden) namun tidak memiliki otoritas dalam struktur pemerintahan.
Tak urung, tekanan kepada Presiden Jokowi di dalam negeri juga cukup sangat kuat. Sebagian rakyat membandingkan Presiden kita dengan Presiden Turki yang murka terhadap Myanmar bahkan mengancam akan mengirimkan pasukan, atau retorika PM Malaysia Najib yang meminta Presiden Jokowi bersama-sama mengambil tindakan keras terhadap Myanmar. Akhirnya, Presiden Jokowi mengutus Menlu untuk menyampaikan sikap Pemerintah R.I. dan membantu Myanmar mencari jalan keluar, dalam kebijakan yang disebut ‘constructive engagement’, warisan dari kebijakan Presiden SBY.
Mari di awal kita lihat dulu seperti apa potret hubungan kedua negara dan bagaimana postur diplomasi Indonesia terhadap Myanmar sejak pembukaan hubungan diplomatik 27 Desember 1949.
Indonesia mendukung dan menyambut keanggotaan Myanmar —bersama Cambodia, Laos, Vietnam— dalam perluasan anggota ASEAN sehingga mencapai angka sepuluh di tahun 1997. Secara khusus, Indonesia mendukung proses demokratisasi Myanmar. Bukan koinsidensi jika Myanmar ‘berguru’ dengan Indonesia. Rejim militer Myanmar memang meng-copy paste model politik Indonesia di zaman ‘Dwi Fungsi ABRI’. Ketika Indonesia berubah, Myanmar juga mengikuti jejak langkah kita.
Proses demokratisasi sebenarnya lebih awal dimulai Myanmar di tahun 1990; ketika rejim Orde Baru sedang kuat-kuatnya. Ketika Pemilu partai Aung Saan Suu Kyi, NLD, menang mutlak tetapi dianulir oleh tentara. Ya, tentara masih memainkan peranan terbesar dalam politik Myanmar, sebagai warisan model ‘Dwi Fungsi ABRI’ mengikuti saudaranya di Indonesia. Akhir-akhir ini ada usulan dalam rangka amandemen UUD Myanmar yang menghapuskan peranan tentara –tentara masih memegang 25 persen suara di parlemen—juga mengikut model Indonesia. Di samping itu, Suu Kyi juga berkepentingan untuk amandemen UUD untuk mencabut batasan dirinya untuk menjadi Presiden.
Berdasarkan Konstitusi sekarang, Suu Kyi tidak memenuhi syarat menjadi presiden karena memiliki keluarga berkewarganegaraan asing. Suami (alm) dan kedua anaknya berkewarganegaraan Inggeris.
Ketika Indonesia menjadi demokrasi di tahun 1998, Myanmar tidak saja terperangah tetapi juga terpengaruh. Ternyata Indonesia ‘sang guru’ telah menjadi demokrasi. Ini menguatkan gerakan demokratisasi di Myanmar. Pada akhirnya demokrasi tiba di Myanmar, namun masih ada masa transisi karena tentara belum ikhlas mundur ke barak. Sama dengan di Indonesia, transisi menuju demokrasi itu tidak bisa berjalan sekaligus dan serentak. Bertahap-tahap. Indonesia masih akan menyelesaikan agenda demokrasinya, ketika tentara dan polisi diberikan hak suara memilih dalam Pemilu. Myanmar juga akan mengarah ke sana, sekiranya proses demokratisasi di sana akan terkawal dengan baik. Siap yang menjadi contoh Myanmar? Tentu saja, ‘Sang Guru: Indonesia.
Ketika ASEAN ditekan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk mengeluarkan Myanmar dari ASEAN, Indonesia pula yang membela mati-matian, dengan kebijakan ‘constructive engagement’ dan secara diam-diam Indonesia melakukan persuasi bahkan menasehati Myanmar untuk mulai membuka diri. Akhirnya memang happy ending: Myanmar tetap di ASEAN dan akhirnya —setelah pemilu demokratis—embargo dan sanksi internasional mulai dicabut.
Indonesia lah negara anggota ASEAN yang senantiasa konsisten membantu Myanmar secara politis di ASEAN dan dalam konteks internasional. Wajar jika Myanmar merasa ‘berhutang budi’ kepada Indonesia. Dalam kontes ini,leverage Indonesia —khususnya di bidang politik di ASEAN—adalah terbesar dan bahkan mengalahkan negeri-negeri tetangganya: China, Jepang, India maupun Korea. Jika berbicara tentang ‘leverage ekonomi’ memang berbeda. Indonesia tidak sekaya negeri-negeri yang disebutkan tadi.
Dalam konteks Rohingya, Indonesia sangat cemas dan menyesalkan terjadinya aksi kekerasan terhadap muslim Rohingya. Dalam konteks ini Indonesia bekerjasama dengan Bangladesh maupun UNHCR, badan PBB untuk urusan pengungsi. Jangan lupa, pengungsi Rohingya di Bangladesh dengan jumlah ratusan ribu —belum termasuk pengungsi terakhir sekitar 40 ribu orang akibat peristiwa Agustus 2017—yang juga memiliki komplikasi di Bangladesh sendiri. Bantuan PBB melalui UNHCR dan masyarakat internasional tidak dengan mudah memperoleh akses ke barak-barak pengungsi Rohingya di wilayah Bangladesh. Pemerintah Bangladesh mengalami dilema: di lain pihak rakyat Bangladesh yang menderita kemiskinan juga memerlukan perhatian dan bantuan. Membuka akses luar negeri membantu Muslim Rohingya menjadi tidak populer di mata rakyat Bangladesh.
Pada masa kepresidenan Pak SBY, komunikasi politik Indonesia – Myanmar berlangsung intens. Pak SBY senantiasa menekankan kepada para pemimpin Myanmar bahwa kekerasan terhadap penduduk Muslim yang terpimpin oleh orang Buddha tersebut, dapat memicu masalah kepada para penduduk Muslim di sekitarnya. Indonesia mendorong Myanmar mengatasi isu Rohingya secara bijak, sesuai dan mencegah tekanan maupun kekerasan. Indonesia siap mendukung myanmar demi mencapai tujuan tersebut.
Menurut Wikipedia, hubungan antara Indonesia kuno dengan Myanmar kuno terjalin sejak tanggal abad ke-14, seperti dicatat dalam naskah kuno Jawa Nagarakretagama sejak zaman Majapahit. Myanmar dulu disebut ‘Marutma’ yang terletak di Myanmar Selatan sekarang.
Burma —nama pemberian penjajah Inggeris— kemudian diubah menjadi Myanmar, adalah pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1947, Burma, yang kemudian di bawah pemerintahan transisional, mendukung Indonesia menolak agresi militer Belanda. Burma juga mengizinkan pesawat Indonesia Dakota RI-001 "Seulawah mendarat Mingaladon Airport, Yangoon, 26 Januari 1949.
Burma merdeka dari Inggris pada 4 Januari 1948. Intensitas kunjungan tertinggi pemimpin negeri kedua negara cukup intens. Presiden Soeharto mengunjungi Myanmar 3 kali: 26 November 1972, 22–29 Agustus 1974, dan 23–25 Februari 1997. Pada pihak lain, Jenderal Ne mengunjungi Indonesia resmi dua kali: 11–14 Juni 1973 dan 8–13 Juni 1974, dan kunjungan pribadi 23–25 September 1997. Pimpinan tertinggi Myanmar berikutnya, Jenderal Than berkunjung ke Indonesia tiga kali: 5–8 Juni 1995, November 1996, dan April 2005.
Setelah reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid berkunjung ke Myanmar 7 November 1999, Presiden Megawati Soekarnoputri 24 Agustus 2001, dan Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dua kali: 1–2 Maret 2006 dan 23–24 April 2013. Sebaliknya, PM Thein Sein melakukan kunjungan resmi ke Indonesia dua kali: 16–17 Maret 2009 dan Mei 2011 di masa Presiden SBY.
Bagaimana potret kerjasama ekonomi kedua negara? Jumlah nilai dagang Indonesia-Myanmar per Juni 2008 ditotal USD. 159 juta, masih terlalu kecil. Bandingkan dengan Vietnam yang sudah mencapai USD 6 milyar. Ekspor Indonesia ke Myanmar meliputi kertas dan produk dari kertas, minyak sawit, besi dan baja, tembakau dan karet. Indonesia juga membeli beras dari Myanmar. Sementara itu, impor Indonesia dari Myanmar meliputi tepung kanji, kayu, kacang-kacangan, soda, ikan dan sayur-mayur.
Kerjasama investasi malah lebih baik. Indonesia tertarik investasi di bidang tenaga listrik dan konstruksi, dan pabrik semen. Indonesia juga tertarik pada sektor properti di Myanmar. Kedua negara telah menetapkan target akan meningkatkan perdagangan ke angka USD 1 milyar.
Prospek kerjasama ekonomi memang menjanjikan. Namun, dalam situasi transisi negeri ini masih belum siap. Setelah perubahan setelah pemilu 2015, malah negara-negara Eropa dan Asia Pasifik gencar mengincar potensi Myanmar di bidang timber dan produk hutan, gas, minyak dan konstruksi. Kita masih belum banyak berbicara di sektor ini. Tentu saja, lobby politik memainkan peranan. Meskipun ‘lobby politik’ kita kuat, tetapi ketika berbicara tentang bagaimana menerjemahkan ‘leverage’ ini menjadi proyek konkrit di bidang ekonomi, kita agak lemah. Jangan salahkan pemerintah ketika berbicara tentang prospek ekonomi yang seyogianya private sector lebih banyak bisa berbicara. Ketika berbicara tentang lobby politik oke lah, ini masih dalam domain pemerintah.
Opsi apa yang tersedia bagi Indonesia dalam semangat dan koridor kebijakan ‘constructive engagement’?
Pertama, lupakan ide pengusiran dubes Myanmar atau penarikan dubes RI dari Yangoon. Jelas kita marah, tetapi tidak perlu emosional. Tindakan kita harus terukur. Seperti menarik rambut dalam tepung: rambut tidak putus, dan tepung tidak berserak. Hubungan historis dan kedekatan antara kedua negara harus menjadi pertimbangan utama. Sudah cukup banyak ‘investasi politis’ kita di Myanmar. Fakta bahwa baru Indonesia mengirim misi diplomatik pada tingkat Menlu merupakan signal yang jelas.
Dalam konteks ini, hubungan kedua negara selama ini berjalan sangat baik –meskipun terdapat perbedaan dalam sistem negara—dan Myanmar selalu percaya dan mendengar apa yang disarankan Indonesia. Ketika Myanmar terisolasi oleh dunia luar –dan mereka khawatir terhadap ambisi China menguasai negerinya—Indonesia menjadi sahabat sejati terpercaya. Indonesia dipandang sangat memahami kondisi Myanmar yang juga multi etnik dan multi-agama. Di balik itu, pengalaman kedua negara dalam sistem otoriter ketika tentara menjadi tulang punggung politik nasional menimbulkan ‘saling pengertian’ dan Indonesia banyak berbagi pengalaman dengan Myanmar yang masih dipimpin tentara. Tentara di manapun di dunia memiliki bahasa yang sama.
Kedua, kecil kemungkinan Indonesia akan membawa ‘masalah Rohingya’ di ASEAN dalam rubrik ‘hak asasi manusia’ dan dalam konteks pematuhan terhadap Piagam ASEAN. Spirit kebersamaan ASEAN yang saling menghormati urusan dalam negeri masing-masing membatasi sejauhmana ‘intervensi’ bisa dilakukan.
Tentu saja, ASEAN melalui Indonesia bisa menekan Myanmar dengan alasan bahwa perilaku buruk Myanmar akhir-akhir ini juga mencemarkan nama ‘ASEAN’. Dengan semangat ‘ASEAN way’ dan juga kedudukan Indonesia sebagai pemimpin natural ASEAN serta ‘leverage’ Indonesia yang besar terhadap Myanmar, ASEAN akan mampu mencari jalan keluar yang acceptable. Dunia internasional mendengar apa kata ASEAN terhadap Myanmar. Karena itu, nasib Myanmar sangat tergantung pada langkah Indonesia baik dalam kedudukan ‘pemimpin natural ASEAN’ maupun dalam konteks bilateral. Indonesia dan ASEAN berkepentingan untuk ‘mengawal demokratisasi Myanmar’ sebagai solusi terbaik bagi negeri itu, termasuk dalam penyelesaian masalah-masalah internal di dalam negeri. Wajar jika Myanmar ‘pasrah’ mengikuti apa yang diputuskan dan disarankan ASEAN dalam mencarikan solusi damai secara legal, politis, dan kemanusian berkaitan dengan nasib Muslim Rohingya. Dalam konteks PBB, ASEAN juga didengarkan oleh organisasi internasional ini. Jadi ada semacam ‘blank check’ untuk ditulis oleh ASEAN berkaitan dengan masalah di Myanmar. Artinya, leverage melalui ASEAN juga efektif, tanpa memerlukan tangan-tangan di luar ASEAN.
Ketiga, ide untuk mengirimkan pasukan perdamaian ASEAN ke Myanmar juga jangan ditutup. Atas izin Myanmar bisa saja penugasan pasukan perdamaian ASEAN di zona konflik. Mungkin warga Muslim Rohingya kurang percaya pada tentara Myanmar, dan dengan jaminan pasukan perdamaian ASEAN mereka bisa kembali ke rumah asal mereka. Dengan terciptanya perdamaian di lapangan, maka rekonstruksi rumah dan tempat ibadah yang dibakar bisa dimulai, serta pembangunan berbagai sarana pendidikan dan kesehatan bagi warga Muslim Rohingya dapat dilakukan. Memang tidak mudah bagi suatu negara untuk menerima pasukan perdamaian asing di negerinya. Dengan spirit kebersamaan ASEAN tentu keberadaan pasukan perdamaian ASEAN tidak dipandang sebagai pasukan dari luar tetapi dari negara-negara tetangga ASEAN yang selama ini berhubungan dengan baik. Pembentukan pasukan perdamaian berintikan tentara dan polisi Indonesia sebagai kontingen terbesar merupakan opsi yang bagus untuk dipertimbangkan, dalam spirit kebijakan ‘constructive engagement’
Berkaitan dengan ide untuk membawa masalah Myanmar ke Organisasi Kerjasama Islam (OKI) perlu diteliti mendalam. Indonesia, bersama Malaysia dan Brunei Darussalam sebagai fellow ASEAN countrie bagi Myanmar memiliki kredensial yang kredibel. Di sini, nasib Myanmar juga tergantung ketiga negara. Dalam spirit kebersamaan, ketiga negara bisa membantu OKI dalam merumuskan sikap dan langkah tepat dan terukur OKI dalam menyikapi masalah di Myanmar.
Opsi memang terbatas. Tetapi muatannya bisa dikapitalisasi, terutama secara bilateral karena Indonesia yang memiliki ‘leverage’ terkuat di ASEAN dalam urusan Myanmar.
Dalam konteks ini, pengiriman Menlu ke Myanmar sebagai utusan Presiden sudah bagus. Menlu Retno akan menemui semua pejabat top Myanmar untuk menyampaikan concern dan advise Indonesia, untuk pengehentian aksi kekerasan, mengingatkan kewajiban negara untuk melindungi semua warganegara, terutama etnis Muslim Rohingya.
Salah satu misi Menlu Retno berkaitan dengan sumber bencana kemanusiaan adalah penutupan akses untuk masuknya bantuan kemanusiaan internasional yang dihalangi oleh otoritas tentara Myanmar. Menlu bisa membuat komitmen baru bantuan baik dari Pemerintah RI maupun terutama dari berbagai komunitas di Indonesia. Menlu Retno juga ditugasi Presiden Jokowi untuk membicarakan masalah pengungsi Rohingya dengan counter-partnya, Menlu Bangladesh. Saya di atas telah mengingatkan masalah ini tidak mudah, karena pemerintah Bangladesh juga mendapat tekanan dari rakyat di dalam negeri yang juga masih menderita kemiskinan dan memerlukan bantuan juga.
Maraknya video, gambar dan narasi dari berbagai belahan dunia yang semakin mengucilkan Myanmar sukar diverifikasi karena tiada akses bagi wartawan asing ke wilayah dan korban konflik. Semakin ditutup-tutupi orang semakin curiga. Kebijakan ini counter-productive terhadap upaya Myanmar untuk memperbaiki citranya. Ini juga perlu diingatkan oleh Menlu Retno kepada otoritas Myanmar.
Dalam diskusi saya dengan teman-teman program S-3 kemarin sore, terlintas usulan agar Presiden Jokowi meminta jasa-baik pendahulunya, mantan Presiden SBY yang memiliki jauh lebih besar bobot daripada Menlu. Mantan Presiden SBY juga seorang jenderal dan sangat faham kompleksitas permasalahan yang dihadapi Myanmar. Pak SBY mendapat tempat tertentu dan mengesankan bagi rakyat Myanmar, karena jasa-jasa beliau sangat besar bagai Myanmar, terutama di saat-saat sulit ketika Myanmar akan dipecat dari ASEAN dan ketika menghadapi tekanan embargo dari Amerika dan Uni Eropa.
Pak SBY yang juga aktif membantu PBB. Postur dan kepiawaian diplomasi beliau mendapat pengakuan dunia, lebih dari sekadar tingkatan ASEAN. Kehadiran Pak SBY di Myanmar akan menimbulkan trust yang tinggi dari Myanmar, karena Pak SBY sangat memahami kompleksitas permasalahan dan memiliki kemampuan untuk memberikan jalan keluar dari situasi ini yang juga akan didengarkan dengan baik oleh Myanmar. Persoalannya adalah belum ada preseden di Indonesia —seperti praktik Amerika Serikat— bagi current President untuk menugaskan salah satu dari pendahulunya untuk misi-misi khusus ke luar negeri. Saya katakan, justru kita perlu membuat preseden yang baik. Seorang mantan presiden memiliki akses tertentu untuk isu tertentu dan wajar jika diminta jasa-baiknya bagi kepentingan negeri: bangsa dan negara. Penugasan ini bukan untuk pribadi seorang Presiden incumbent, seperti selama ini dipraktikkan oleh Amerika Serikat. Ini bisa menjadi opsi yang dipertimbangkan oleh Presiden Jokowi, dan tidak hanya dalam urusan Myanmar, mungkin juga dalam tugas-tugas yang membawa nama baik bangsa dan negara dalam mencari solusi terbaik untuk perdamaian dan keamanan dunia. Ini adalah amanat dari Pembukaan UUD 1945, jelas saya kepada teman-teman.
Tetapi, sebaiknya kita nantikan dulu hasil kunjungan Menlu Retno ke Myanmar. Tidak salah pula jika Presiden Jokowi mempertimbangkan untuk mengutus mantan Presiden SBY untuk misi yang lebih besar dan strategis. Pak SBY mampu berbicara dalam konteks demokratisasi, etnic-religious inter-relations and crises management, baik dengan Aung Saan Su Kyii sebagai ‘de facto leader’ maupun tokoh-tokoh militer karena beliau juga seorang jenderal yang mengalami masa transisi Indonesia. Dan, sampai saat ini tentara masih mengendalikan kekuasaan di Myanmar. Mereka akan mendengar saran maupun lessons learned dari sahabat setia Indonesia yang juga mereka mengenal dengan baik. Diplomasi dengan suasana ‘mutual trust and confidence’ akan berjalan lebih efektif.
*) Hazairin Pohan adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes Polandia dan terakhir sebagai Direktur Eropa Tengah dan Timur Kementerian Luar Negeri RI. Dia juga pernah bertugas di PTRI di PBB New York.
Advertisement