Masih Tinggi, YLPK Sebut Subsidi Minyak Goreng Kurang Efektif
Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur (Jatim) menyebut pengelolaan anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasaran tidak tepat sasaran.
Ketua YLPK Jatim, Muhammad Said Sutomo pun mempertanyakan efektivitas dana subsidi sebesar Rp7,6 triliun yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Pasalnya, kata Said, sampai sekarang harga minyak goreng di pasaran masih cukup tinggi. Hal tersebut membuat konsumen dari masyarakat biasa dan pedagang mengeluhkannya.
"Saat ini harga minyak goreng di pasar modern maupun di pasar tradisional tetap meroket, yang menyebabkan masyarakat konsumen dan para pelaku usaha kuliner kecil mengeluh," kata Said, Senin, 14 Februari 2022.
Said yang juga Anggota Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI ini mengatakan, berdasarkan survei, pertengahan bulan Februari 2022 harga minyak goreng di pasaran sudah tembus hingga Rp17.000 - Rp18.000 per liter.
"Karena itu pun masyarakat atau konsumen pada umumnya merasa sulit mendapatkannya," jelasnya.
Padahal, lanjut dia, pemerintah telah menetapkan HET minyak goreng dengan rincian, minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter dan minyak goreng dengan kemasan premium dengan harga Rp14.000 per liter.
"Tetapi, pada kenyatannya itu tetap tidak efektif. Berdasarkan survei sampai sekarang, ternyata harga minyak goreng di pasar belum juga stabil, masih memberatkan masyarakat," ucapnya.
Dengan demikian, Menurut Said, dana sebesar Rp7,6 triliun yang dikelola oleh BPDPKS untuk masa 6 bulan itu haruslah dilakukan secara transparan. Agar masyarakat bisa mengawasi pelaksanaan dan pertanggungjawabannya.
"Pengelolaan dana BPDPKS itu perlu dipertanyakan bagaimana pemerataannya di pasar modern dan tradisional," ujarnya.
Ia juga tidak setuju anggaran subsidi disalurkan dan dikelola oleh BPDPKS. Pemerintah harusnya memberikan subsidi itu langsung kepada masyarakat pemakai minyak goreng via RT/RW dengan nilai tertentu.
Hal itu bisa dilakukan melalui sistem voucher potongan harga yang digunakan saat masyarakat membeli minyak goreng di ritel modern/tradisional. Kemudian pelaku usaha bisa me-reimburse ke pabrikan.
"Kami tidak setuju kalau subsidi diberikan pada pelaku usaha atau pabrikan kelapa sawit. Kami menganjurkan subsidi itu sebaiknya langsung ke masyarakat konsumen akhir yang rentan terhadap gejolak harga," tutupnya.