Masih Terjadi, Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Probolinggo
Masalah sosial seperti, kekerasan terhadap perempuan (KTP), kekerasan terhadap anak (KTA), tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan perkawinan anak masih terjadi di Kota Probolinggo. Untuk mengatasi masalah tersebut, Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kota Probolinggo melibatkan semua pihak.
"Diperlukan sinergitas peningkatan peran serta forum anak, pondok pesantren, dan media massa dalam pencegahan terhadap KTP, KTA, TPPO, dan perkawinan anak," kata Kepala Dinsos P3A Kota Probolinggo, Rey Suwigtyo.
Hal itu diungkapkan Tiyok, panggilan Rey Suwigtyo di sela-sela diskusi selama dua hari di aula Bakesbangpol, Rabu-Kamis, 31 Juli - 1 Agustus 2024. Diskusi diikuti puluhan peserta dari forum anak, pesantren, panti asuhan, dan media massa.
Diskusi menghadirkan narasumber utama, Arie Cahyono, widyaswara Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BPSDM) Pemprov Jatim. Selain itu juga diperkuat sejumlah narasumber dari Dinsos P3A di antaranya, dr Ike Yuliana (Sekretaris Diskes P3A) dan Retno Yudaningrum.
Terkait masalah klasik yang terus mewarnai Kota Probolinggo, Arie mengatakan, harus dipecahkan secara konfrehensif.
"Masalah perkawinan anak misalnya, kalau tidak diubah, tujuh turunan begini terus," kata alumnus S-3 PSDM Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu.
Terkait kekerasan terhadap anak, Arie pun berbagi pengalamannya pribadi. "Sebab dua anak saya mengalami kekerasan di sekolah dan di pesantrennya," jelasnya.
Karena itu orangtua diminta peka terhadap perubahan mencolok pada anaknya. "Sisi lain anak biasanya lebih percaya kepada teman akrabnya ketimbang orangtuanya terkait masalah yang dihadapi. Ini masalah trust atau kepercayaan," katanya.
Tidak sekadar berceramah, Arie pun menggali masalah anak dan perempuan melalui Forum Anak Kota Probolinggo yang dihadirkan dalam diskusi. "Ada yang pernah mendapat kekerasan?"
Seorang siswa langsung menjawab, dirinya pernah menjadi korban perundungan (bullying). "Saya pernah jadi korban perundungan melalui media sosial yang saya ikuti," ujarnya.
Selain masalah perkawinan anak, kata Arie, sekarang ada trend perkawinan tanpa anak (free child). "Ini sedang trend, mau nikah tapi gak mau punya anak. Kehadiran anak dianggap mengganggu," kata alumnus S-2 MAP Universitas Gajahmada (UGM) Jogjakarta itu.
Di hari kedua diskusi, Kamis, 1 Agustus 2024, dua narasumber dari Dinsos P3A, dr Ike dan Retno mempertajam bahasan yang disampaikan Arie. "Indonesia masuk peringkat ketujuh se-dunia atau lebih buruk dibandingkan Kamboja dalam hal perkawinan anak," kata Ike.
Mantan Kepala Puskesmas Kanigaran itu juga mengaku, prihatin karena perkawinan anak juga banyak terjadi di Kota Probolinggo. Dicontohkan, pada Januari-Februari 2024 lalu, dilaporkan sebanyak 10 anak ajukan dispensasi kawin. Artinya, ke-10 anak itu belum mencukupi umur (19 tahun) untuk bisa menikah.
Dokter Ike juga mengaku, prihatin sebab kesadaran terhadap pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak terkadang keblablasan. "Dikit, dikit guru dilaporkan ke polisi padahal hanya karena menjewer muridnya," katanya.
Lebih detail, Retno menceritakan pengalamannya mendampingi anak-anak yang melakukan perkawinan anak di Kecamatan Mayangan. Ia mengaku, prihatin sebab anak-anak dengan usia 13 tahun, 14 tahun, dan 17 tahun melakukan perkawinan.
"Yang membuat saya sesak dan mengelus dada, tiga anak perempuan usia 13, 14, dan 17 itu di satu RW di Kelurahan Sukabumi. Semuanya terpaksa menikah karena hamil duluan," katanya.
Bahkan anak perempuan berusia 14 tahun hamil untuk kali kedua. "Dia pernah hamil pertama kali keguguran, hamil lagi suaminya kabur. Astaghfirullah," jelas Retno.
Advertisement