Masih Sengketa, Proyek Alun-alun Kota Surabaya Terancam Molor
Proyek alun-alun bawah tanah Surabaya mendapat kendala. Proyek senilai 80 Miliar itu tidak bisa selesai 100 persen. Sebab, masih ada tanah yang menjadi sengketa antara Pemerintah Kota Surabaya dan PT Maspion.
Tanah itu berada di pojokan Jalan Pemuda dan Jalan Yos Sudarso. Lebih dikenal dengan Persil Pemuda 17. Sesuai desain dari Dinas Cipta Karya Kota Surabaya, di tanah itu rencana Pemkot akan membangun plaza terbuka dan ampitheater.
Kepala Bidang Bangunan Gedung, Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman Cipta Karya dan Tata Ruang (DPRKP CKTR) Iman Krestian mengatakan pihaknya akan tetap membangun plaza terbuka dan ampitheater di atas persil 17, bila sengketa sudah selesai.
"Ini masih proses penyelesaian sengketa. Target kami bulan Desember sudah selesai, tapi tetap menunggu perkembangan sengketa," kata Iman, Rabu 24 Juni 2020.
Sengketa lahan ini sedang menemui jalan buntu. Maspion dan Pemkot Surabaya tak mau selesaikan sengketa dengan kepala dingin dan kesepakan di luar meja hijau. Pemkot bahkan sempat kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara tahun lalu. Namun Pemkot kembali menggugat di Pengadilan Negeri Surabaya dengan perkara perdata.
Dari keterangan Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya Maria Theresia Ekawati Rahayu bahwa asal muasal sengketa tanah itu dimulai 1994. Persil seluas 3.713 meter persegi di Jalan Pemuda itu menjadi aset Pemkot Surabaya.
Pada 16 Januari 1996, Pemkot Surabaya dan PT Maspion melakukan perjanjian penyerahan penggunaan tanah dalam bentuk HGB (Hak Guna Bangunan) di atas HPL (Hak Pengelolaan) selama 20 tahun.
Setelah ditandatangani perjanjian penyerahan penggunaan tanah itu, Pemkot menerbitkan sertifikat HGB Nomor 612/Kelurahan Embong Kaliasin atas nama PT Maspion seluas 2.115,5 meter persegi. Sertifikat HGB ini berlaku hingga tanggal 15 Januari 2016.
Kemudian pada 1997, Pemkot menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) berupa kantor kepada PT Maspion. Izin itu tertuang dalam surat bernomor 118/569-95/402.05.09/1997.
"Tugas pemkot sudah selesai dengan memberikan sertifikat HGB dan IMB, sehingga lahan itu bisa langsung digunakan oleh Maspion. Tapi ternyata sampai sekarang belum dimanfaatkan maksimal. Perlu diingat juga bahwa IMB-nya itu untuk kantor, bukan yang lain," kata Yayuk.
Tapi, lahan itu tetap dibiarkan kosong. PT Maspion justru mengajukan permohonan perpanjangan HGB di atas HPL pada 29 September 2015 dan disusul surat tanggal 7 Januari 2016 yang memohon percepatan HGB di atas HPL.
Maka pada tanggal 15 Januari 2016, Pemkot Surabaya memberitahukan kepada Maspion bahwa waktu perjanjiannya sudah berakhir. Sesuai dengan sertifikat HGB.
Yayuk mengaku sudah sempat memberikan informasi dan peringatan hingga 3 kali. Namun pihak Maspion rupanya tidak mengindahkan. Padahal dalam proses perjanjian tersebut telah diatur di PP 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.
"Semua proses ini sudah diatur dalam PP 40 tahun 1996. Pada pasal 35 dan 36 dijelaskan kalau HGB itu berakhir sebagaimana perjanjian, dan setelah berakhir maka tanahnya dikuasai kembali oleh pemegang HPL. Jadi, pemkot hanya ingin mengambil haknya kembali," katanya.