Masih Ada Jerat Tengkulak di Sarang Gula Merah
Ada gula ada tengkulak. Begitu mungkin yang benar. Ini pemandangan menyedihkan di sarang perajin gula kelapa di Pacitan. Ketika nira kelapa diolah menjadi gula merah yang manisnya tak terkira, bukan para penyadap nira yang untung besar. Para tengkulak gulalah yang justru uang di kantungnya makin tebal.
______________
Klagen, nama dusun itu. Ia masih jadi bagian dari Desa Mantren di Kecamatan Kebonagung, Pacitan. Klagen tidak sendirian jadi bagian dari Desa Mantren, masih ada empat dusun lain yang menyertainya. Yaitu, Dusun Krajan, Juwono, Kebak, dan Wates.
Boleh jadi, Klagen atau dusun-dusun ini kurang dibicarakan dan diperhitungkan orang meski oleh masyarakat Pacitan sendiri. Namun, andai saja, para warga di sana mau mogok menyadap nira barang seminggu saja, yakinlah harga gula kelapa di Pacitan tak hanya sekadar terkerek naik, tetapi akan segera berganti harga.
Di Pacitan, Desa Mantren terhitung wilayah pelosok. Memasuki desanya harus melalui jalan tanjakan dan kelokan tajam. Jalannya sempit. Harus rela bergantian kalau berpapasan dengan mobil lain. Memang jalan utama menuju desa sudah beraspal, namun di sana-sini jalanan sudah tergerus air hujan.
Di antara batas aspal dan tanah tercipta kubangan-kubangan cukup dalam yang membahayakan pengemudi kendaraan. Karena terhitung pelosok itulah moda trasportasi nyaris tak menyentuh daerah ini. Karena itu juga, mau tidak mau, masyarakat harus mengupayakan sendiri trasportasinya. Tapi untunglah kredit sepeda motor sekarang tidak terlalu susah. Meski hanya punya uang panjar sedikit, motor sudah bisa ditangan dan digunakan. Bentuk jerat baru dari para tukang kredit.
Mantren memang pelosok. Namun, jangan salah, dari desa yang memiliki lima dusun inilah gula kelapa yang beredar di seluruh Pacitan berasal. Gula-gula itu malahan sebagian lagi beredar di Ponorogo, Trenggalek, Madiun, Tulungagung, dan Jawa Timur lainnya. Sebenarnya tidak hanya penduduk di Desa Mantren yang piawai membuat gula kelapa, di desa tetangganya – Desa Wora Wari – sebagian penduduknya juga andal membuat gula kelapa.
Para perajin gula kelapa sejatinya tahu belaka yang namanya komoditas gula selalu diombang-ambingkan soal harga. Terkadang malah ditentukan seenaknya oleh para tengkulak gula. Kendati demikian mereka tak sekali pun menyerah dan kapok membuat gula kelapa. Mereka tetap berproduksi gula meski hanya bisa sesekali saja mencicipi manisnya keuntungan dari berjibaku mengolah nira kelapa.
Belakangan, sejumlah kecil perajin gula kelapa menyadari, turun-temurun menjadi perajin gula kelapa nasib mereka tak kunjung berubah. Tak bergeser dari rutinitas memanjat pohon kelapa, mengambil nira, dijadikan gula, tapi tak berdaya bernegosiasi soal harga. Padahal, bagi warga di kedua desa ini, menyadap nira hingga mengolahnya menjadi gula adalah penopang hidup yang belum tergantikan.
Ibarat tidak ada gading yang tak retak, keberhasilan para tengkulak mengendalikan harga gula selama bertahun-tahun atau mungkin juga sudah turun-temurun itu, akhirnya terusik juga. Dengan niat enggan terus-menerus berhubungan dengan tengkulak, dan selebihnya agar bisa menentukan harga gulanya sendiri, secara berkelompok para perajin gula membentuk sebuah koperasi gula.
Mulanya dari Klagen, motornya adalah Khoirul Huda, 40 tahun. Kelompok koperasi itu ia mulai dari sekeliling rumahnya. Para anggota yang direkrut adalah kerabat sendiri dan tetangga-tetangga dekat. Khoirul belum berani melangkah lebih jauh lantaran membentuk sebuah kelompok koperasi boleh dibilang sama sekali hal yang baru bagi warga.
Gayung pun bersambut. Keinginan Khoirul membuat perubahan bagi perajin gula seperti dirinya terkoneksi dengan dua lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat. Yaitu, Masyarakat Mandiri dan Dompet Dhuafa. Kedua lembaga tersebut selanjutnya bersinergi melakukan pendampingan terhadap para perajin gula di Klagen.
Kerja keras Khoirul Huda dan model pendampingan yang dilakukan dua lembaga pemberdayaan masyarakat itu tampaknya membawa hasil. Sebagai buktinya, koperasi para perajin gula sudah terbentuk pemanen dan bahkan sudah memiliki badan hukum di tahun 2008. Nama koperasi itu adalah ISM Manggar Sari. Sedangkan ISM di depan nama Manggar Sari merupakan kependekan dari Ikhtiar Swadaya Mandiri.
Untuk mendukung program pendampingan dan pelatihan-pelatihan, para anggota koperasi membangun sekretariat Koperasi ISM Manggar Sari di Jalan Kasan Puro 03, Kembang, Dusun Klagen RT02 RW 03, Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung. Jika program berjalan mulus, sekretariat koperasi itu nantinya akan disulap menjadi pabrik gula kelapa.
“Saya ini hanya sekolah ditingkat rendah saja. Hanya tamat SMP. Karena itu saya sangat berterima kasih dengan program pendampingan ini. Kami jadi mengerti artinya bekerjasama, membentuk koperasi, dan cara membuat gula yang efektif dan berkualitas. Tapi sayang pendampingan ini tidak berlangsung lama. Ibaratnya, kami masih hendak belajar merangkak, program pendampingan ini sudah selesai,” terang Khoirul.
Tampilnya Khoirul membentuk koperasi bagi perajin gula kelapa rupanya tidak berjalan mulus. Benturan pun terjadi yang mengakibatkan suasana pro dan kontra. Sebagian warga menjadi bersitegang. Klagen lantas disorot sebagai biang keladinya. Andai tidak ada keinginan membentuk koperasi gula, aktivitas antarpembuat gula kelapa tidak bakal terjadi.
“Ketegangan biasa saja, tidak sampai ada yang berlebihan. Biasa to, ada hal yang baru masuk kampung tentu ada senang ada juga yang tidak senang. Kami ini ingin maju, juga ingin sedikit sejahtera. Ternyata banyak manfaat membuat koperasi. Kami juga menjadi mengerti bagaimana membuat gula yang bagus, membentuk cetakan yang bagus, sehingga gula perajin laku dipasaran yang lebih luas,” ujar Khoirul.
Pro dan kontra antarperajin gula kelapa itu sampai sekarang terus terjadi. Ini pula yang menjadi kendala bagi berkembangnya Koperasi ISM Manggar Sari. Kendati tidak bisa berjalan maksimal, Khoirul yang didapuk menjadi ketua koperasinya pantang menyerah. Dia tetap melakukan pendekatan kepada perajin-perajin lain yang belum menjadi anggota. (widikamidi/bersambung)