Masalah Keluarga yang Jadi Urusan Negara
INILAH urusan murni keluarga yang menjadi urusan penuh negara. Sampai dibahas selama dua hari di DPR. Tidak ada sengketa waris keluarga yang sedramatis ini. Melibatkan nyaris seluruh rakyat negara itu. Dalam pro dan kontra Ini sengketa seorang kakak sulung melawan dua adiknya. Tiga bersaudara itu anak-anak pendiri dan orang kuat Singapura Lee Kuan Yew. Dan sang kakak sulung itu, Lee Hsien Loong, sedang menjabat perdana menteri saat ini.
Ini akan seperti drama Korea. Kalau tidak diselesaikan. Istilah drama Korea itu datang dari Lee Hsien Loong sendiri. Saat dia berpidato di depan sidang pleno DPR Singapura. Semula sidang DPR itu diadakan untuk mengklirkan pertengkaran tersebut. Sidangnya maraton. Dua hari penuh. Di akhir sidang DPR menyimpulkan bahwa persoalannya klir: tidak ada pelanggaran yang dilakukan perdana menteri. Baik penyalahgunaan kekuasaan maupun lainnya.
Berarti tuduhan dua adiknya itu tidak benar. Misalnya tuduhan bahwa Lee Hsien Loong adalah anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya. Atau tuduhan pelestarian rumah keluarga itu untuk keuntungan politik sang kakak. Apalagi tuduhan menyalahgunakan kekuasaan. Tidak ada yang terbukti.
Lee Hsien Loong memang memberikan pidato panjang di awal sidang hari pertama. Dia ceritakan panjang lebar. Sejak awal terjadinya pertengkaran. Lalu dia minta anggota DPR membicarakannya.
Lee Hsien Loong juga memberikan pidato penutupan. Untuk menyimpulkan jalannya sidang selama dua hari. Klir semua. Tidak satu pun anggota DPR yang menganggap perdana menteri bersalah. Bahkan anggota DPR dari partai oposisi pun tidak. Semua klir. Tidak perlu ada masalah lagi.
Tidak pula perlu ke pengadilan. Dia akan selesaikan secara kekeluargaan.
Selesai?
Ternyata belum.
Dua hari setelah sidang DPR sang adik masih bikin tanggapan. Tujuh halaman. Di-upload ke Facebook. Disertai beberapa bukti. Berupa kopi dokumen. Termasuk yang ditandatangani mendiang ayahanda mereka. Heboh lagi.
Klir?
Ternyata tidak. Tambah lebar tuduhan sang adik. Tambah dalam lubang pertengkaran. Begitulah kalau yang bertengkar adalah orang-orang pinter semua. Tiga anak Lee Kuan Yew ini memang terkenal hebat-hebat. Cerdas otaknya. Kuat karakternya. Dan keras sikapnya.
Persis seperti mendiang bapak mereka.
Sang adik menilai sidang pleno DPR itu justru lebih banyak menimbulkan pertanyaan daripada jawaban. Bahwa DPR mendukung sang kakak, ya begitulah. Mana ada anggota DPR yang berani mengajukan pertanyaan kritis? DPR dikontrol penuh partai penguasa. Pastilah banyak anggota DPR yang bicaranya membeo perdana menteri.
Begitulah tanggapan sang adik. Lebih keras.
Sang adik juga menceritakan riwayat pertengkaran. Lebih dramatis. Lebih rinci. Pertengkaran itu, tulis sang adik, mulai meledak tanggal 12 April 2015. Berarti hanya 20 hari setelah sang ayah meninggal.
Hari itu untuk pertama kalinya wasiat mendiang ayahanda dibacakan. Khususnya pada bab bahwa rumah keluarga itu harus dirobohkan. Segera. Setelah sang ayah meninggal. Atau begitu si anak wanita tidak mau lagi tinggal di situ.
Setelah pembacaan wasiat selesai, si kakak sulung mengatakan bahwa ayahanda sudah berubah pikiran. Rumah keluarga di Jalan Oxley 38 itu tidak harus dirobohkan. Sang ayah, katanya, pernah setuju untuk direnovasi. Ada bukti tertulisnya.
Sang adik keberatan. Rumah harus dirobohkan. Sesuai wasiat terakhir.
Persetujuan untuk renovasi itu tidak bisa ditafsirkan sebagai persetujuan untuk tidak dibongkar. Persetujuan itu sifatnya darurat. Misalnya kalau pemerintah melarang. Kata sang adik: "Misalnya ada pernyataan 'asuransikanlah buku ini agar kalau terbakar bisa diganti', itu bukan berarti setuju buku itu dibakar."
Menurut sang adik, hari itu kakak sulungnya marah besar. Bahkan mengintimidasi. Menakut-nakuti.
Sejak hari itu pembicaraan putus. Tidak mau lagi saling bicara. Beberapa hari kemudian kakak sulung mengirim surat. Memberitahukan bahwa dirinya sudah menunjuk pengacara. Untuk membicarakan kelanjutan surat wasiat. Lalu menanyakan siapa pengacara yang ditunjuk sang adik.
Sang adik terperangah. Kok melibatkan pengacara? Ini urusan wasiat. Urusan keluarga. Mengapa lewat pengacara?
Sejak itu tidak ada lagi komunikasi langsung. Bahkan, kata sang adik, pada Hari Raya Imlek pun mereka tidak bertemu. Imlek pertama setelah ayahanda mereka meninggal, terjadilah yang mestinya tidak terjadi. Sang kakak mengundang semua kerabat dan keluarga. Tapi tidak mengundang kedua adiknya.
Akankah pertengkaran itu sampai ke pengadilan? Kakak sulung mengatakan tidak. Di depan DPR dia mengatakan akan terus mencari jalan keluar secara kekeluargaan.
Sang adik menyambut positif ucapan sang kakak. Mereka tidak akan posting bukti-bukti lagi di Facebook. Tapi, ada tapinya, kalau tidak ada lagi pengkhianatan kepada wasiat sang bapak.
Rumah harus tetap dibongkar. Rumah ini bukan pagoda. Ayah itu bukan Tuhan. Tidak boleh ada kultus. Begitu pendapat si adik.
Dua adik ini selanjutnya menunggu pelaksanaan niat sang kakak sulung. Untuk menuntaskan urusan wasiat itu. Tapi tidak mau pakai pengacara. Atau aparat pemerintah.
Begitulah. Istirahat dulu. Sementara. Untuk tidak jadi telenovela Korea.
Inilah urusan keluarga yang menjadi urusan negara. Hanya bisa terjadi di Singapura. (*)
Advertisement