Masalah dan Masa Depan di Tangan Nadiem Makarim
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim melawat ke Jawa Timur. Tepatnya ke Kota Pasuruan pada Kamis, 7 November 2019. Dia berbagi tanda belasungkawanya atas berpulangnya seorang guru dan seorang murid SDN Gentong, Kota Pasuruan.
Sefina Arsi Wijaya, nama gurunya. Perempuan ini baru mengajar tiga bulan. Gajinya Rp300 ribu perbulan. Sedangkan Irza Almira, sang murid baru duduk di kelas 2.
Keduanya meninggal karena terkena material atap kelas pada Selasa, 5 November 2019. Ada empat kelas yang atapnya ambruk. Yakni kelas 2 A dan B, serta kelas 5 A dan B.
Peristiwa itu terjadi pagi hari. Di awal kegiatan belajar mengajar yang baru dimulai. Sekira pukul 08.30 WIB.
Reruntuhannya menghujani siswa dan guru yang sedang beraktivitas. Banyak teriakan kesakitan dan tangisan kesedihan. Selain dua meninggal, belasan siswa lainnya mengalami luka.
Tentu saja, tanggung jawab infrastruktur sekolah ada di tangan pemerintah daerah. Namun, masalah itu membekap penjuru negeri. Yang pasti, buruknya infrastrukur sekolah hanyalah puncak dari gunung es masalah pendidikan.
Hal ini juga harus dibenahi Mas Nadiem. Menteri termuda di kabinet Pak Joko Widodo ini. Usianya baru 35 tahun, dia juga kaya raya.
Kekayaannya diraih dari kinerja GO-JEK, ditaksir mencapai Rp 1,4 triliun. Tangannya bak Midas, mengolah GO-JEK dari perusahaan rintisan jadi emas. Bisnis ini dirintis tahun 2010.
Kini, dengan beragam suntikan dana, mereka mengklaim valuasinya melebihi USD 10 miliar. Dan menyandang gelar decacorn pertama di Indonesia. Gemilang kiprahnya atas GO-JEK membuatnya dipuja.
Tak terkecuali oleh Pak Jokowi. Harapannya, tangan Midasnya juga manjur untuk urusan pendidikan. Sehingga bisa menciptakan lompatan bagi peningkatan sumber daya manusia Indonesia.
Lantas, bagaimana dengan gunungan masalah pendidikan itu? Seharusnya, itu juga bukan masalah. Para pioner startup itu punya filosofi sedehana: selesaikan masalah dengan teknologi.
Untuk mengerti isi kepalanya, saya pun menjelajah internet. Melihat beragam wawancaranya juga liputan beritanya. Mecoba menyadap visi anak muda ini.
Menjadi menteri, bisa jadi tak ada dalam pikiran Mas Nadiem. Dalam sebuah wawancara, dia mengaku tak pernah punya cita-cita. “Inginnya menciptakan sesuatu. Senengnya membangun,” tegasnya.
Waktu kecil dia mengaku lumayan bandel. Agak susah dikontrol. Maunya banyak. Tidak senang atas aturan. “Kalau sekolah, selalu disiplin atas tugasnya,” tambahnya.
Tapi dia sepertinya suka masalah. “Di Indonesia, banyak masalah yang menimbulkan kesempatan,” ungkapnya. Karena kita tidak bisa bikin suatu bisnis, kalau tidak ada masalah yang diselesaikan.
Lalu terkait pendidikan dan kuliah, Mas Menteri ini punya pemahaman menarik. Di matanya, kuliah bukan untuk mencari pekerjaan. “Kuliah itu untuk belajar. Bukan belajar untuk mencari pekerjaan,” tandasnya.
Dari pengalaman di Jakarta yang sesak, dia yang tak sabaran, merasa membutuhkan jaringan transportasi yang gampang. Itulah yang melahirkan GO-JEK. Menarik juga, di pikirannya, abang tukang ojek bisa melakukan lebih.
Pengemudi ojek itu setiap hari hanya mangkal pangkalan. Mereka tentu saja bissa lebih produktif. Bila difasilitasi untuk mengerjakan banyak hal.
“Saya percaya driver ojek punya ketrampilan, punya layanan, dan bisa meningkatkan pendapatannya kalau bekerja lebih keras,” paparnya. Itulah hadir beragam fasilitas yang bisa memaksimalkan kerja para pengemudi itu.
Kita catat ya, pertama, di benaknya, memaksimalkan kapasitas seseorang, adalah salah satu kunci penting. Agar bisa berdaya maksimal. Menghasilkan nilai tambah yang berguna.
Dalam sambutan di upacara Sumpah Pemuda di Kemendikbud beberapa waktu lalu, Mas Menteri sadar banyak yang mempertanyakan kemampuannya. Juga harapan untuk mengatasi masalah pendidikan.
Dari pengalamannya, dia paham, bila melakukan perubahan yang besar, pasti akan ada yang penolakan. Untuk menghadapi itu, Mas Menteri sudah punya jurus rahasia: keyakinan yang luar biasa.
Jadi, keyakinan adalah kunci kedua. Hal lain yang penting, bahwa perubahan itu harus mengantarkan pada perbaikan. Terutama peningkatan kualitas hidup banyak orang.
Oh ya, saat acara pisah sambut menteri baru, Mas Menteri ini mengaku ada progam khusus 100 hari. “Saya akan duduk dan mendengar pakar-pakar pendidikan dan belajar dari mereka,” tegasnya.
Dia mengaku akan melepaskan gelar menteri. Bukan menjadi guru. Tapi menjadi murid yang baik dan pembelajar yang cepat. Mulai dari nol belajar di bidang pendidikan. “Mohon sabar dengan saya,” candanya kepada para pejabat di Kemendikbud.
Langkah ini mirip saat awal dia membidani GO-JEK. Karena, dia meyakini, kreativitas dan inovasi itu tidak bisa dicapai sendiri. Ini kunci ketiga, kerjasama.
Untuk itu, setiap hari dia harus berinteraksi dengan banyak konsumen dan supplier. Naik GO-JEK atau GO-CAR, pesan makanan melalui GO-FOOD. “Untuk mendapatkan masukan terbaik,” tuturnya. Tentu saja untuk perbaikan sistem aplikasinya agar lebih memudahkan.
Lantas bagaimana kalau ada kendala dalam pelaksanannya? Ternyata harus kembali ke kunci ke dua: yakin menghadapi. “Kalau yakin, kendala bak Polisi tidur di jalanan saja,” contohnya.
Hal ke empat yang jadi pokok pikirannya, adalah kesiapan untuk gagal. Kalau masuk dalam suatu lingkungan, maka harus berani dan siap gagal. “Siap mengambil resiko untuk mencapai hal yang besar,” yakinnya.
Dia menganggap, kegagalan adalah pembelajaran. Kebanyakan orang tidak sukses, karena terlalu cepat menyerah. “Padahal makin banyak mencoba, makin banyak kesempatan di depan mata,” ujarnya.
Terkait masa depan bangsa, Mas Menteri punya pandangan unik. Pemilihan dirinya dari kaum milenial sebagai Menteri Pendidikan, menandai terbukanya gerbang perubahan. Hal itu akan diikuti dengan berbagai macam kesempatan untuk generasi berikutnya.
Dia mengaku, saat diberikan kesempatan dari Pak Jokowi, dia tak berpikir dua kali. “Saya melangkah ke depan, apa pun resikonya,” katanya. Ujung tombak terpenting masa depan Indonesia adalah mengubah mindset generasi berikutnya.
Indonesia yang gudang masalah itu, akan menemukan para ahli pengurai sebab. Lantas mereka akan bekerja keras untuk menemukan jawaban. Akhirnya, semua masalah bisa dipecahkan.
Itu terwujud kalau ada peningkatan kualitas generasi kita di masa depan. Mas Menteri ini yakin, cara paling efektif mentransformasi sebuah negara, hanya melalui pendidikan terbaik untuk generasi mendatang.
Itu pun bisa dicapai dengan kerja bersama. Berlandaskan prinsip gotong royong. “Ini nilai yang akan saya bawa sehari-hari,” tegasnya.
Namun, jalan Mas Menteri masih panjang. Waktulah yang akan menjawab ekspektasi masyarakat. Akankah bersama kerabat kerja di Kemendikbud, akan lahir inovasi dan kreativitas baru bagi pendidikan.
Menghadapi masalah pendidikan dia yakin dan tenang, namun jangan pernah memintanya naik motor sendiri. Bisa mulas perutnya. “Kalau bawa motor sendiri stres,” ucapnya sambil tertawa.
Ajar Edi, kolomnis “Ujar Ajar” di ngopibareng.id
Advertisement