Masa Sulit Lagi, Hampir Tutup Kedua Kali
Sebutan klinik memang sesuai dengan namanya: Soerabaiache Oogheelkundige Kliniek. Tapi, sejak pindah ke gedung sendiri di Jalan Undaan, sebetulnya klinik itu sudah bisa disebut rumah sakit. Selain ada ruang pemeriksaan dan perawatan, juga kamar rawat inap.
Karena itu, setelah Indonesia merdeka klinik tinggalan para dokter mata Belanda itu lebih dikenal dengan Rumah Sakit Mata Undaan. Perkumpulannya juga telah di-Indonesia-kan menjadi P4M (Perhimpunan Perawatan Penderitaan Penyakit Mata).
Kepemimpinan RS pasca Indonesia merdeka masih dipegang Dr Go. Ia dibantu dokter lajang perempuan dari Belanda bernama Dr J Ten Doesschate. Dr Go melanjutkan misi untuk membantu orang miskin sampai dengan tahun 1954. Setelah itu, ia kembali ke tanah airnya Belanda. Dokter Doesschate yang meneruskan.
Pasca kemerdekaan, perkembangan RS Mata Undaan tidak lebih baik dibanding sebelumnya. Malah lebih sulit. Sebab, sementara pemerintahan baru belum stabil dan belum banyak melakukan pembangunan pelayanan publik, pasokan dana dari pemerintahan Belanda macet.
Situasi makin sulit dihadapi RS setelah tahun 1950. Ini bersamaan dengan pergolakan politik dalam negeri yang memanas. Partai-partai bertarung berebut kekuasaan. Sejumlah pergolakan daerah terjadi. Mulai dari pemberontakan PKI di Madiun, DI/TII di Jawa Barat, dan PRRI/Permesta di Sumatera.
Seperti tercatat dalam buku 75 Tahun Rumah Sakit Mata Undaan, sebelum kemerdekaan, anggota pengurus perkumpulan terdiri banyak tokoh dari berbagai bidang usaha dan perbankan. Keberadaan mereka sangat membantu dalam memobilisasi dana bantuan masyarakat dalam mendukung operasional rumah sakit.
Situasi ini berlangsung sampai tahun 1950. Apalagi, pemerintah pusat di awal kemerdekaan bisa memberi kontribusi dengan mengalokasikan dana pelengkap untuk operasional. Pada masa itu, jika RS mengalami kesulitan operasional, pemerintah masih bisa turun tangan untuk membantu.
Paska kemerdekaan, perkembangan RS Mata Undaan tidak lebih baik dibanding sebelumnya. Malah lebih sulit.
Namun, seiring dengan memburuknya perekonomian Indonesia di tahun 1950-an, kondisi RS Mata Undaan juga mengalami kesulitan yang sama. Obat-obatan sulit didapat. Dana operasional tak selalu tersedia. Sumbangan masyarakat sulit diharapkan. Apalagi dana dari pemerintahan.
Pada tahun 1950-an, Indonesia berada pada masa Demokrasi Liberal. Pada saat itu, ekonomi negeri ini sangat buruk. Penyebabnya antara lain karena pemerintah harus menanggung utang dalam dan luar negeri dalam jumlah besar paska pengakuan kedaulatan dari Belanda, 27 Desember 1949.
Beban ekonomi itu merupakan hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar. Ini adalah konferensi di Den Haag antara perwakilan Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federaal Overleeg (BFO), mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di Kepulauan Indonesia.
Konferensi ini membuahkan hasil pengakuan kedaulatan bagi bangsa Indonesia. Namun menyisakan masalah karena Belanda bertahan untuk tidak memasukkan Irian Barat sebagai bagian dari wilayah NKRI. Juga menyisakan beban berat karena Pemerintah Indonesia Serikat harus mengambil alih utang pemerintahan Hindia Belanda.
Seiring dengan memburuknya perekonomian Indonesia di tahun 1950-an, kondisi RS Mata Undaan juga mengalami kesulitan yang sama. Obat-obatan sulit di dapat. Dana operasional tak selalu tersedia.
Dalam catatan sejarah perekonomian Indonesia, digambarkan defisit pemerintahan RI mencapai Rp 5,1 miliar. Ekspor Indonesia hanya bergantung kepada hasil perkebunan. Untuk menutup defisit, pemerintah harus berutang. Sehingga, total utang luar negeri saat itu mencapai Rp 1,5 Triliun dan utang dalam negeri Rp 2,8 Triliun.
Dalam situasi perekenomian seperti itu, donasi dari lembaga-lembaga makin sulit. Sementara mengharapkan biaya dari pasien juga tidak mungkin karena rakyat juga menghadapi kesulitan ekonomi yang mengimpit. Situasi ini membuat kehidupan RS ikut kembang kempis.
Bahkan, menurut dokter asli Indonesia pertama di RS Mata Undaan dr Mohamad Basoeki, rumah sakit warisan Belanda ini hampir saja tutup alias tidak beroperasi untuk kali kedua. Kalau dulu tutup akibat peperangan, yang kedua ini hampir tutup karena kesulitan keuangan. (Arif Afandi/Bagian-6/Bersambung)