Masa Depan Eksplorasi Migas, Masa Depan Pertamina
PT Pertamina EP Asset 4 hari Senin lalu mengadakan media gathering secara virtual dengan menghadirkan Nanang Abdul Manaf, Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Eksplorasi, sekaligus juga anggota Dewan Pengawas Badan Layanan Umum (BLU) LEMIGAS. Hadir pula Nurwahidi Kepala Perwakilan SKK Migas Jabanusa, Deddy Syam, GM Pertamina EP Asset 4 dan Jou Samuel Asset 4 Legal & Relation Manager.
Sekitar 20 pimpinan media diundang pada acara yang tujuannya untuk lebih mendekatkan hubungan antara PT Pertamina dengan media yang ada di Jawa Timur. Topiknya adalah Eksplorasi dan Masa Depan Migas Indonesia. Hadir pula secara virtual Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jatim, Ainur Rohim, serta Ketua AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) Jatim, Arief Rahman.
GM Asset 4, Deddy Syam sebagai tuan rumah mengakui saat ini Pertamina menghadapi tugas yang cukup berat di tengah pandemi. “Di satu sisi kita tetap harus mempertahankan predikat zero accident, sementara protokol kesehatan harus dilaksanakan dengan ketat dengan melakukan perawatan terhadap peralatan-peralatan dan sumur-sumur yang kebanyakan sudah tua,” kata Deddy Syam.
“Sebagai salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerjasama yang mengupayakan energi fosil, Pertamina EP Asset 4 tetap berupaya memenuhi kebutuhan energi nasional. Dengan aktifitas eksplorasi, kami berharap Pertamina akan terus beroperasi memenuhi kebutuhan energi di Indonesia", kata Deddy Syam.
Sementara Nanang Abdul Manaf menjelaskan, beberapa perusahaan energi besar dunia sudah melakukan langkah transisi untuk masuk ke green energy. Hingga tahun 2030 pemakaian energi fosil masih dominan yaitu sekitar 40 persen, dan pada 2050 sekitar 36 persen.
"Dari perkiraan itu menunjukkan bahwa kebutuhan akan energi fosil masih dominan dan butuh upaya yang luar biasa untuk memenuhi kebutuhan tersebut", kata Nanang Abdul Manaf. “Jadi eksplorasi itu penting karena setiap barel produksi minyak dimulai dari satu new field wildcat well. Tanpa eksplorasi jangan berharap ada cadangan migas baru", jelasnya.
Menurutnya, disadari atau tidak, easy oil era sudah habis, dan kini industri hulu migas dihadapkan pada tantangan antara lain produksi migas terus turun, area eksplorasi berada di frontier area, waktu komersialisasi penemuan eksplorasi terlalu lama, investor kurang tertarik untuk eksplorasi di Indonesia. Karena itu perlu upaya breakthrough untuk mempermudah investasi.
“Investasi migas untuk eksplorasi, membutuhkan biaya sangat besar. Bisa mencapai triliunan rupiah. Maka dari itu perlu fiscal terms yang aktraktif, regulasi yang menjamin, dan politik yang stabil.
Saat ini, lanjut Nanang, 70 persen cadangan migas kita berada di wilayah perairan. Kendalanya, dibutuhkan biaya sangat besar dengan tingkat pengembalian rendah serta periode eksplorasi yang pendek.
"Tentunya kondisi tersebut yang mempengaruhi investor untuk melakukan eksplorasi di Indonesia. Padahal iklim investasi migas di Indonesia menduduki peringkat terendah di antara negara ASEAN,” kata Nanang.
Solusinya, regulasi dan fiscal terms yang ada saat ini perlu diperbaiki untuk investasi kegiatan eksplorasi migas di Indonesia. "Negara-negara di seluruh dunia sedang berkompetisi dalam mengundang investasi hulu migas. Banyak negara yang lapangan produksinya sudah tua melakukan berbagai upaya membuat iklim investasinya menarik bagi Investor," kata Nanang.
Nanang menegaskan, Indonesia harus mengadaptasi fiscal terms yang ada di global untuk menarik investasi, dalam aktivitas eksplorasi migas atau memperkecil tingkat resiko investasinya dibanding dengan negara lain.
"Hasil analisis kami menunjukkan bahwa perbaikan fiscal terms berdampak pada peningkatan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik kontraktor maupun pemerintah, dari sisi investasi maupun pendapatan," katanya.
Dalam kondisi lapangan seperti yang ada sekarang, ditambah situasi global dengan pandemi covid yang belum juga berhenti, bagaimana dengan masa depan PT Pertamina?
Dijawab oleh Nanang, diperlukan strategi baru dan sumur baru. “Pertamina akan bisa survive kalau dikelola untuk tumbuh, dengan menemukan sumur-sumur baru. Karena kalau hanya mengelola sumur tua, maka biaya operasionalnya amat tinggi. Makin tua sumur, biaya operasionalnya makin besar. Jadi diperlukan strategi pengelolaan lapangan baru dan lama. Untuk itu harus low cost, harus efisien, supaya Pertamina masih bisa memproduksi yang sifatnya marginal dan lapangan-lapangan yang mungkin nilai ekonominya sudah pas-pasan," katanya.
"Di Pertamina EP ini ada lapangan yang umurnya 40 tahun. Ada yang 50 tahun. Bahkan ada yang lapangan itu ditemukan sebelum saya lahir. Lapangan Talang Akar ditemukan pada 1920. Lapangan Rantau ditemukan pada 1940. Masih bisa kita produksi dan tentunya punya nilai ekonomis dan menghasilkan profit, tapi biaya operasionalnya juga besar.”
“Jadi apabila bisa menyelesaikan tantangan untuk mengelola lapangan-lapangan baru, maka Pertamina bisa bertahan. Sebenarnya kita punya modal dari kegiatan mengelola lapangan yang tua. Dengan modal itu kita bisa investasi juga untuk kegiatan eksplorasi baru. Portofolionya harus berimbang. Fokus ke produksi tapi juga ada yang fokus mencari tambahan cadangan baru dengan kegiatan eksplorasi," kata Nanang Abdul Manaf, Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Eksplorasi, sekaligus juga anggota Dewan Pengawas Badan Layanan Umum (BLU) LEMIGAS. (nis)
Advertisement