Masa Depan Budaya
Ketika manusia lebih percaya pada kutipan-kutipan ketimbang pikirannya sendiri, rasanya masa depan budaya itu hanya menghitung hari. Entah sampai kapan. Mungkin sampai Tuhan merenggut leher siapa saja yang masih hidup. Lalu Mati!
Dan, sejarawan pun heboh. Mereka sibuk merangkai fakta-fakta diatas dunia yang mati akibat warganya telah membunuh pikirannya sendiri. Tidak hanya sejarawan, tapi juga para penulis di dunia hewan akan mencatat peristiwa kebudayaan itu sebagai babakan baru dalam perjalanan kosmos itu.
Sayangnya, kejadian mahabesar itu justru dimulai dari kampus-kampus yang dikenal tempat kumpulan otak-otak manusia. Bukan di warung-warung kopi, tempat manusia kebanyakan bersantai ria.
Para profesor di kampus-kampus itu sibuk ramai-ramai belajar bagaimana cara mengutip yang rapi, namun sekaligus seksi. Dengan begitu seolah jadi pendapatnya sendiri. Mereka merasa selesai melaksanakan tugas kehidupan setelah berhasil membunuh pikirannya sendiri.
Padahal ilmu itu bergerak dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain. Keduanya saling berdebat, memperdebatkan, diperdebatkan, dibantah, diperbantahkan, hingga benturan ilmu-ilmu itu terjadi. Benturan keraslah yang kemudian melahirkan semangat pentingnya inovasi dan kreativitas antarilmu itu sendiri.
Dalam praktiknya yang sejati, ilmu itu tidak bisa hidup berdiri sendiri. Mereka harus bergumul dengan ilmu-ilmu yang lain untuk kemudian memadu cinta dengan realitas yang berubah setiap saat. Tanpa pergumulan itu maka ilmu tersebut akan mengalami kemandulan yang permanen. Dan di situ ilmu akan menemukan dirinya: MATI.
ILMU idealnya harus bersifat humanis agar ia dapat mempesona manusia. Manusia yang lebih percaya pada pikirannya sendiri dibanding kutipan kutipan yang sejatinya tak lebih dari fosil-fosil ilmu pengetahuan.
Jika sikap-sikap para pengembang ilmu itu demikian, maka ilmu itu sendiri akan melahirkan anakan-anakan baru yang sehat. Kelak mereka akan menjadi kaki-kaki silat ilmu pengetahuan yang akan memperkuat eksistensi ilmu itu sendiri.
Lihatlah Plato dan Aristoteles, mereka berdebat hingga pagi hari. Juga Socrates, Thales, Pithagoras, Parmenedes, Demokritos, Xenophanes, Protagoras, Gorgias, hingga Archimedes. Mereka semua berawal dari pikirannya sendiri.
Mereka mengembangkan tradisi kritis agar ilmu pengetahuan terus menyentuh keadaan yang lebih sempurna. Dengan kerja-kerja intelektualitas yang masih virgin itu mereka membangun epistemologi ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, jika kampus sebagai tempat pengembangan budaya ilmu pengetahuan seharusnya dipenuhi oleh orang-orang yang berpikir, bukan kumpulan robot-robot yang mati.
Kampus Merdeka
Adalah Nadiem anak muda yang jenius itu kini jadi Menteri yang mengurus pikiran rakyat 270 juta jiwa. Ia dipercaya karena telah berhasil membawa paksa para pengangguran memenuhi jalan-jalan yang ruwet di kota Jakarta.
Ketika Covid-19 datang, mereka semua langsung dinilai sebagai manusia yang paling utama layak dikasihani. Covid 19 telah mengubah manusia puncak ciptaan Tuhan itu, hidupnya bergantung hari dan belas kasihan kaum dermawan. Dan ini adalah sukses pertama Nadiem dalam sejarah mengatasi kemiskinan dengan memaksa kaum pengangguran menjadi anak-anak jalanan yang rentan.
Mas Menteri, demikian anak pengacara kondang ini dipanggil, memang sangat berharga. Ia datang merombak tradisi pendidikan yang sudah beku. Ia lontarkan ide kampus merdeka. Entah apanya yang merdeka; saya tidak tahu dengan pasti.
Setahu saya kemerdekaan itu dibutuhkan untuk kembali menggunakan semaksimal mungkin pikiran-pikiran tanpa tekanan. Sebab hanya pikiran dan perasaan yang bebas yang bisa melahirkan kebudayaan.
Sedang kebudayaan itu sangat ditentukan oleh pemahaman dan sikap yang benar manusia pada Tuhannya, sesamanya dan lingkungannya. Dan semua itu dimulai dari pikiran, bukan dari kutipan!!!!
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)