Mas Nur Jagal Ular Kobra
Menjadi tukang jagal ular cobra, selain berbahaya dan berisiko tinggi, ternyata ular kobra juga banyak sekali manfaatnya seperti untuk penyembuhan penyakit dan bisa sebagai peluang berbisnis.
Tidak hanya bermodal keberanian dan kenekatan, profesi yang sudah lama ditekuni Muhammad Nur Santoso ini, juga butuh kecermatan dan keteliti dalam menaklukan ular-ular yang terkenal ganas dan mematikan.
Dengan cekatan tukang jagal asal Dusun Sudimoro Desa Bangunharjo, Sewon, Bantul, Jawa Tengah ini, mengeluarkan satu persatu kobra dari dalam karung untuk dipotong kepalanya menggunakan kampak.
Meski terlihat mudah, tapi nyawa Nur sering kali jadi taruhan. Pria 37 ini menghitung, dirinya lebih dari 20 kali digigit ular kobra. Namun itu tak menghentikan pekerjaannya sebagai jagal hewan bernama ilmiah naja sputatrix ini.
“Saya pernah merasakan seluruh tubuh kesakitan, kejang-kejang karena gigitan ular kobra,” kata pria yang akrab dipanggil Mas Nur ini.
Tak main-main, ia menghabiskan Rp 14 juta untuk menyelamatakan nyawanya dari gigitan salah satu ular paling berbisa di dunia ini.
Usai sembuh, Nur tak jera. Ia kembali menjalankan pekerjaannya sebagai jagal kobra yang merupakan warisan dari orang tuanya. Ayahnya menekuni jagal kobra sejak tahun 1985.
Menurut Nur, tidak ada keahlian dan pekerjaan lain yang bisa dijadikan pilihan. Selain itu, ayah tiga anak ini juga tidak senang bekerja untuk orang lain yang seringkali membuatnya tertekan. “Pilih profesi sebagai penjagal ular biarpun beresiko tinggi bagi keselamatan nyawa saya,” ujarnya.
Bisnis ular kobra milik Nur, ‘Kobra Jaya’, sempat mendapat banyak pasokan dari seluruh wilayah di Pulau Jawa yang bisa mencapai jumlah 1.000 ekor per minggu. Namun, saat ini Nur hanya dapat mengumpulkan 200-300 ekor saja dari beberapa wilayah seperti Pati, Ngawi, Gombong, dan Kebumen.
Nur menceritakan, perekor ular kobra dewasa dibelinya seharga Rp 15 ribuan tergantung ukuran. Meski tidak setiap hari melakukan pemotongan kobra, namun dalam sehari rumah potong ini mampu memotong lebih dari seribu kobra.
Sebagai penadah dan penjagal ular selama 20 tahun ini, Nur rupanya lebih memilih berburu ular liar karena dianggap lebih menguntungkan daripada harus berternak.
“Jika berternak, justru tidak untung. Ongkos makan ular kan tinggi, harus rajin-rajin memberi katak dan tikus. Jadi, lebih enak mencari yang liar karena lebih menguntungkan dan tidak perlu memelihara,” ungkap dia.
Proses penangkapan ular pun terbilang mudah, hanya dibutuhkan dua orang untuk bisa mendapatkan ratusan ekor ular. Satu orang bertugas untuk menangkap ular, sedangkan orang yang lain hanya memegangi karung dan menghitung jumlah ular yang telah didapatkan.
Ada aturan tertentu saat membawa ular hingga tiba di Bantul. Mobil harus dialasi daun pisang agar ular kobra tidak kepanasan dan menjadi stres. Selain itu, tiap karung, hanya boleh diisi 20-25 ekor saja supaya ular kobra tidak mati karena posisinya bertumpuk-tumpuk.
Ular yang telah tiba di ‘Kobra Jaya’, keesokan harinya langsung memasuki proses pemotongan. Langkah awalnya adalah menyayat perut dari bagian tengah ke arah kepala. Setelah itu, kulit ular dipisahkan dari dagingnya.
Proses selanjutnya mengambil empedu dan sumsum ular kobra. Empedu digunakan sebagai obat alternatif penderita asma, gatal, kanker dan afrodisiak (pembangkit gairah seksual).
Sementara itu, untuk kulit ular biasanya diambil sendiri oleh para pengrajin untuk dijadikan kulit tas, dompet, dan ikat pinggang.
Banyak konsumen yang mengaku telah merasakan khasiat daging ular. Nur bercerita bahwa ada salah seorang konsumennya yang kadar gulanya turun setelah 12 jam mengkonsumsi empedu ular. Salah satu konsumen mengeluhkan kakinya bengkak pasca mengalami kecelakaan dan memiliki penyakit diabetes. Karena merasa lukanya berangsur pulih setelah mengonsumsi empedu kobra, kini ia rutin datang ke warung milik Nur untuk memesan rica-rica ular.
Satu kilo daging ular dapat diolah menjadi lima porsi masakan yang dipatok harga Rp 10 ribu saja. Untuk empedu ular, tidak diperlukan proses pemasakan tertentu, sehingga langsung ditelan atau dicampurkan dalam jamu saja.
Satu empedu sebesar ruas jari tangan dijual dengan harga Rp 40 ribu. Daging ular yang dijual lagi harganya berkisar Rp 20 ribu per kilogram. Setiap kilonya berisi sekitar 2-3 ular kobra.
Konsumen yang datang dari berbagai daerah mengetahui informasi ‘Kobra Jaya’ dari mulut ke mulut. Bahkan, Nur juga tidak perlu repot-repot lagi mempromosikan bisnisnya karena banyak acara televisi seperti Bolang, Petualangan Liar, Peppy the Explorer, dan Potret yang datang meliput sekaligus mempromosikannya.
Dalam menjalankan bisnis ‘Kobra Jaya’, Nur pada awalnya hanya membutuhkan modal Rp 2,5 juta dengan menjual perhiasan emas. Tenaga kerja yang dibutuhkan pun tidaklah banyak, Nur sanggup melakukan pemotongan sendiri dalam jumlah 100 ekor ular kobra. Jika jumlahnya lebih dari itu, maka ia akan memanggil rekannya untuk membantu.
Sampai sejauh ini, keuntungan yang diperolehnya mampu digunakan untuk membeli sejumlah tanah, membangun rumah, membeli motor, melunasi hutang, dan keperluan sehari-hari lainnya.
Sulit baginya untuk menentukan omzet per bulan karena tangkapan liar sangat bergantung pada musim. Setelah musim panen, ular kobra bisa menjapai 200-300 ekor, tetapi jika musim kemarau ular kobra sulit didapatkan.
Sebelum usahanya stabil seperti sekarang, ayah Nur yang memulai bisnis ini sempat berkali-kali tertipu hingga rugi Rp 30 juta.
Kesulitan yang sempat dialami dalam menjalankan bisnis tersebut tidak hanya persoalan tertipu saja. Nur seringkali khawatir jika ular-ularnya lepas dan sulit ditemukan. “Kalau saya takut ularnya nggak ketemu, jadinya kan rugi,” ujarnya.
Nur justru tidak khawatir jika ularnya lepas dan menggigit orang lain karena menurutnya ular kobra hanya akan menggigit jika terkejut atau sudah sangat terpojok. “Sebanyak 400 ekor ular pernah lepas dan memenuhi seisi rumah,” kenangnya.
Meski telah banyak orang yang mengaku merasakan khasiat ular kobra, drh Slamet Raharjo (49) tidak mengatakan hal yang serupa. Menurutnya, anggapan masyarakat tersebut hanyalah sebatas mitos atau sugesti saja.
Dalam penjelasan ilmiahnya, dosen Fakultas Kedokteran Hewan UGM ini menjelaskan bahwa kandungan yang terdapat dalam daging dan darah ular sebenarnya mirip dengan hewan lainnya seperti sapi dan ayam. Bahkan, menurut Slamet, tubuh ular kobra justru terdapat bakteri dan parasit yang berpotensi ditularkan pada manusia.
“Kedua hal tersebut dapat hilang apabila telah mengalami proses pengolahan dan pemasakan yang tepat,” ujarnya.
Daging ular kobra, lanjut Slamet juga mengandung protein sebesar 28-32% dengan lemak yang lebih rendah sekitar 2% daripada sapi, kambing, maupun ayam.
Daging ular yang memiliki beberapa kelebihan telah meningkatkan perburuan terhadap hewan tersebut yang berdampak besar terhadap lingkungan.
Ketua Pecinta Reptil UGM, Raka Achmad Fauzi (21), ular kobra termasuk dalam status appendix II yang populasinya berkurang signifikan karena maraknya perburuan liar untuk kemudian diperdagangkan.
“Perburuan liar berdampak besar bagi ekosistem karena ular kobra menduduki posisi teratas dalam sistem rantai makanan,” terang Raka.
Sebagai contoh, kata Raka, jika populasi ular menurun, maka jumlah tikus akan meningkat dan menyebabkan gagal panen atau menimbulkan penyakit. “Ular kobra menjadi predator yang efektif untuk mengendalikan populasi hama yang merugikan manusia,” sambungnya. (*)