Marital Rape, Pemerkosaan dalam Rumah Tangga
Marlina Octoria sempat mencuri perhatian publik. Dia muncul membawa kabar tak sedap tentang suami sirinya, Mansyardin Malik, ayah Taqy Malik. Menurut pengakuan Marlina Octoria, dia dipaksa melayani seks anal. Pemaksaan hubungan seksual seperti yang diceritakan Marlina Octoria, bisa dikategorikan sebagai marital rape atau pemerkosaan dalam perkawinan.
Sayangnya, peristiwa marital rape ini sering kali disangkal karena pemahaman di masyarakat bahwa pemerkosaan itu hanya bisa terjadi di luar ikatan perkawinan. Selama dalam ikatan perkawinan, maka pasangan suami istri sudah dianggap selalu bersedia untuk melakukan hubungan seksual. Terutama bagi perempuan, yang kerap dinasihati agar tidak boleh menolak hubungan seksual seperti permintaan suaminya.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menjelaskan, jika merujuk pada UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pemaksaan serupa ini dapat diproses secara hukum. Keberanian Marlina berbicara dalam kekerasan seksual yang dialaminya perlu diapresiasi. Apalagi dia mengalami kekerasan fisik dan mengklaim telah melakukan visum.
Bentuk Marital Rape
1. Hubungan seks yang dipaksakan
Bersenggama atau berhubungan badan dalam rumah tangga harus mendapatkan kesepakatan dari kedua belah pihak yaitu antara suami dengan istri. Jika pasangan memaksa berhubungan seks, menyakiti pasangannya, hingga melukai orang yang seharusnya dilindungi, maka hubungan badan tersebut tentu masuk dalam kasus pemerkosaan dalam pernikahan.
2. Hubungan seks namun pasangan merasa terancam
Hubungan seks seharusnya memberi kesenangan untuk masing-masing pasangan. Apabila hubungan seks disertai ancaman penyerangan, maka esensi seks yang bersifat konsensual akan hilang dan menjelma menjadi bentuk pemerkosaan.
3. Hubungan seks dengan manipulasi
Manipulasi dapat pula berarti tuduhan bahwa pasangan tidak setia, tidak baik, dan tidak memahami kebutuhan pasangan pemerkosa, yang juga termasuk mengancam secara verbal untuk meninggalkan pasangan bila hasrat seksualnya tak dipenuhi. Apabila manipulasi tersebut membuat pasangan merasa tak ada pilihan, maka hubungan seks yang dilakukan tergolong pemerkosaan karena sebenarnya ada pihak yang tidak setuju.
4. Hubungan seks ketika pasangan tidak sadar
Consent atau persetujuan berarti kedua pihak memiliki kesadaran penuh untuk menyetujui segala aktivitas yang dilakukan, termasuk seks, tetapi jika pasangan berhubungan seks dengan istri atau suaminya yang tak sadarkan diri (dicekoki obat tidur dan perangsang, alkohol, racun, pingsan, atau tidur), jelas bahwa hubungan seks tersebut merupakan bentuk marital rape.
5. Hubungan seks ketika pasangan korban tidak ada pilihan
Mengatakan “Ya” atau setuju karena terpaksa dan seolah dia tak ada pilihan, berbeda dengan memberikan persetujuan untuk sama-sama mau berhubungan seks. Misalnya saja, ketika korban tak ada pilihan karena mempertahankan pernikahan setelah diancam untuk bercerai, sehingga mengiyakan permintaan pasangannya.
Efek Buruk dari Marital Rape
Pemaksaan dalam sebuah pernikahan atau rumah tangga juga akan menimbulkan efek buruk bagi korban, seperti mengalami masalah fisik dan psikologis dalam waktu yang lama, efek tersebut juga termasuk merasa diri terhina, menyalahkan diri sendiri, dan merasa ketakutan.
Secara mental, korban marital rape mengalami trauma, gangguan kecemasan, depresi, post traumatic stress disorder (PTSD), serta keinginan dan melakukan bunuh diri. Marital rape tergolong sebagai aksi kekerasan yang serius karena suami menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi dan menindas istrinya.
Sedangkan dampak marital rape secara fisik bagi korban, seperti cedera pada daerah vagina dan anus, nyeri, memar, otot robek, laserasi (luka dalam atau sobekan pada kulit), kelelahan, dan muntah, tak jarang pula, korban juga akan mengalami dampak dari sisi ginekologi, seperti peregangan vagina, radang panggul, infeksi kandung kemih, penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, keguguran, dan infertilitas.
Marital Rape dalam Hukum Indonesia
Perkawinan merupakan lembaga suci yang meletakkan hak serta kewajiban laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk mendapatkan kebahagiaan dalam rumah tangga. Namun, tidak jarang dijumpai pada lembaga perkawinan yang resmi dan halal tersebut terdapat tindakan pelanggaran yang dilakukan dalam rangka terpenuhinya kebutuhan biologis, seperti pemaksaan terhadap istri yang dalam literatur dikenal dengan pemerkosaan dalam rumah tangga atau marital rape.
Sehingga, hukum di Indonesia membuat sebuah ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memberi perlindungan terhadap kekerasan pada perempuan, yang diawali secara umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang mengatur mengenai penganiayaan pada umumnya sebagaimana terdapat pada Pasal 351 dan 353 KUHP.
Lalu juga dibuat peraturan terhadap kekerasan atau pemerkosaan dalam rumah tangga, seperti dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”), yakni pada Pasal 1 angka 1 UU PKDRT, yang menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Tujuan adanya UU PKDRT sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 4 UU PKDRT:
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Kekerasan terhadap perempuan sebagai mana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU PKDRT dipertegas lagi dalam Pasal 5 UU PKDRT bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga.
Marital Rape Dalam Pandangan Islam
Dalam agama islam, salah satu tujuan perkawinan adalah untuk menghalalkan hubungan suami istri, maka dalam perspektif Islam, menyatakan bahwa hubungan seksual yang dilakukan suami istri memiliki nilai ibadah. Bahwa pemenuhan kebutuhan seksual antara suami dan istri merupakan salah satu hak suami istri yang harus dipenuhi oleh keduanya, seperti menurut hukum islam yakni.
“...dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut (ma’ruf), dan bagi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka ...”
Sebagaimana, dalam sabda Rasulullah dalam H.R Muslim yang berbunyi.
“…dan dalam berhubungan seksual seorang di antara kamu adalah sedekah..."
“…dan bergaulah dengan mereka secara ma’ruf…”
Cara Mencegah Marital Rape
Untuk mencegah marital rape, baik pihak perempuan maupun laki-laki perlu mendapat edukasi yang memadai, bahwa keduanya harus tahu batas fisiologis dan tidak memaksakan hubungan seks, misalnya saat sedang menstruasi, kelelahan, atau ketika memang tidak menginginkannya.
Penting untuk diingat bahwa masing-masing orang memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri dan berhak menolak hubungan seks jika tidak ingin. Sementara itu, pasangan pun harus menghormati keputusan tersebut dan tidak memaksakan kehendaknya, apalagi disertai dengan ancaman dan tindakan kekerasan.
Ikatan pernikahan bukanlah legitimasi untuk memaksakan hubungan seks, hubungan seks bersifat mutualisme, yakni kedua pihak saling menyetujui dan tidak ada paksaan atau tekanan dari salah satu pihak, baik dari suami atau istri harus menyadari bahwa pasangannya adalah manusia yang memiliki hak dan free will, bukan objek atau benda yang bisa dipakai sewaktu-waktu. Sehingga, mereka perlu menerima dengan lapang dada jika ditolak melakukan hubungan seks karena alasan tertentu.