Mario, Fenomena Hilangnya Sikap Ksatria
Oleh: Djono W. Oesman
Kasus Mario (20) menganiaya David (17) terus heboh. Terlepas dugaan korupsi ayah Mario, Rafael Alun, eks pejabat pajak, kekejaman Mario terhadap David, aneh. Mengapa anak kesayangan ortu ini bisa begitu kejam?
------------
Mario dikuliahkan di Universitas Prasetya Mulya. Yang SPP-nya sekitar Rp 40 juta per semester. Universitas ini melahirkan tokoh-tokoh penting Indonesia.
Mario diberi ortu mobil Rubicon Wrangler B-120-DEN (panggilan Mario: Dendy) keluaran 2013 seharga (bekasnya itu) sekitar Rp 900 juta. Di sosmed Mario sering pamer motor Harley Davidson (pasti pemberi ayahnya) seharga sekitar Rp 900 juta.
Terus, kurang apa? Kurang apa, sayangnya ortu? Terlalu sedikit anak Indonesia usia 20 yang hidup semewah Mario. Apakah kemewahan itu justru membuatnya tergelincir?
Sebelum ke sana, kronologi kejadian yang dirilis Polri terbaru, hasil penyidikan kasus itu, ada sedikit perbedaan dengan sebelumnya. Begini:
Senin, 20 Februari 2023 sekitar 21.30, tetap. Lokasi kejadian juga tetap di rumah R, teman David di Ulujami, Jakarta Barat. Penganiaya Mario, korban David, perekam video Shane Lukas (19) juga sama.
Bedanya, menurut Kapolres Jakarta Selatan, Kombes Ade Ary Syam Indradi, awal kejadian bukan info dari pacar Mario bernama Agnes (15). Melainkan, dari wanita teman Mario, inisial APA yang kini diperiksa polisi.
17 Januari 2023 APA memberitahu Mario, bahwa Agnes pernah diperlakukan tidak baik (belum dirinci polisi) oleh David. Agnes dan David dulu pacaran. Sudah putus. Lalu, Agnes jadi pacar Mario.
Info dari APA kepada Mario kemudian dikonfirmasi Mario ke Agnes pada Senin, 20 Februari 2023. Hasilnya, dibenarkan Agnes. Sejak itu Mario emosi. Jadi, ada jeda tiga hari sejak Mario terima info, sampai dengan penganiayaan.
Selanjutnya, sama dengan yang lalu. Tentang posisi David yang tidur di tanah, karena diperintahkan Mario push up 50 kali. David cuma mampu 20 kali. Setelah itu David dipukuli Mario, dan terutama tendang dan injak kepala beberapa kali. Terparah, seperti di video, Mario menendang dengan mengambil ancang-ancang, seperti sepak bola.
Mengapa David dalam posisi tidak siap duel, dihajar Mario? Sehingga David tidak punya kesempatan melindungi diri. Mengapa Mario tidak ksatria, menyiksa anak yang lebih muda usia, dalam posisi telungkup di tanah?
Sebaliknya, ayah Mario langsung menyatakan mengundurkan diri dari ASN (Aparatur Sipil Negara) di hari yang sama dengan keputusan Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada Jumat, 24 Februari 2023. Sri Mulyani memerintahkan: Copot. Berarti pindah posisi tugas. Bukan pecat.
Ayah Mario, Rafael, dalam surat pengunduran diri, juga menyatakan, siap diperiksa KPK soal LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) senilai Rp 56 miliar miliknya. Ia siap dipanggil KPK kapan saja.
Rafael ksatria, anaknya tidak.
Soal dugaan Rafael korupsi, belum terbukti. Meski Menko Polhukam, Mahfud Md ketika ditanya pers soal itu, mengatakan, ada transaksi mencurigakan di rekening Rafael yang dilaporkan oleh PPATK ke KPK pada sepuluh tahun silam. Tapi tak ditanggapi KPK. Atau KPK diam saja. "Sudah, itu aja," ujar Prof Mahfud.
Ucapan Mahfud sependek itu ternyata berdampak. Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri di gedung KPK, Jakarta Selatan kepada pers Jumat (24/2), menyatakan, KPK akan memeriksa Rafael dalam waktu dekat. "Segera," ujarnya.
Tapi, mengapa Rafael dan isteri (mereka sudah menjenguk David di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta Selatan, dan siap menanggung biaya pengobatan) tidak mengajari Mario bersikap ksatria?
Buat keluarga Rafael, mengajari anak bersikap ksatria pastinya tidak sulit. Dalam kapasitas mereka. Kecuali bagi rakyat Indonesia yang rata-rata miskin. Miskin harta miskin ilmu (merujuk data Badan Pusat Statistik hasil sensus penduduk 2020, rata-rata lama sekolah populasi Indonesia 8,7 tahun pria dan 8,5 tahun wanita. Atau, rata-rata putus sekolah di kelas 3 SMP).
Maggie Dent dalam bukunyi bertajuk: "From Boys to Men: Guiding Our Boys to Grow into Happy, Healthy Men (2021) menjabarkan cara mendidik anak laki bersikap sopan dan ksatria. Sejak balita sampai dewasa muda (seusia Mario Dandy). Buku ini best seller di Amerika Serikat. Bahwa anak tak cukup diberi makan dan harta (Rubicon, HD) tapi dididik ortu. Selain sekolah.
Diurai, anak laki sejak bayi secara kultur dan universal, cenderung agresif. Suka agresi, tapi bukan kekerasan (violence). Awalnya, balita laki agresi terhadap laki dan perempuan. Kemudian, ortu mengajari bahwa fisik perempuan lebih lemah banding laki. Maka, harus dilindungi, dihormati.
Lalu anak laki berkembang, agresi terhadap sesama laki. Agresi dalam arti, agar terhubung dan bersenang-senang dengan anak laki lain. Misal, berloncatan, main kasar, saling dorong, terjatuh, adalah biasa. Lumrah.
Saat itulah ortu mengajari ke anak: "Terpenting, saat mendorong anak lain, tidak berniat menyakiti. Tapi bergurau."
Sangat penting untuk tidak menghukum anak laki, saat mereka secara tidak sengaja menyakiti anak laki lain, ketika mereka bermain secara fisik.
Ortu wajib menjelaskan kepada anak laki balita, bahwa bentuk permainan kasar secara fisik hanya dapat diterima oleh anak laki-laki lain, bukan anak perempuan.
Dent: "Mengingat, dorongan naluriah laki diwarisi dan berlanjut sejak masa manusia tinggal di gua, adalah untuk membunuh mammoth (gajah purba) sebagai makanan. Laki tidak takut. Maka bentuk permainan kasar berasal dari asal biologis manusia sebagai pola dasar."
Dent (67) adalah guru SMA di Australia, punya empat anak laki yang kini sudah pada dewasa. Dia menulis banyak buku tentang pendidikan anak.
Dalam bukunyi, Dent menyitir teori Michael Gurian dalam bukunya bertajuk: "Saving our Sons (2017).
Kalimat di buku Gurian yang dikutip, berbunyi: “Pendekatan laki-laki terhadap persahabatan dan cinta, berbeda dari perempuan. Laki-laki menekankan tantangan dan pengejaran keberanian bersama laki lain, dan ikatan semacam ini sangat penting untuk kelangsungan hidup dan perkembangan manusia. Sejak purba hingga kini.”
Dent dan Gurian sama-sama menarik garis karakter laki sejak manusia purba. Masih tampak sekarang.
Problem baru muncul, jika salah satu anak laki merasa diperlakukan salah, atau tidak dihargai oleh anak laki lain. Saat itulah bentuk permainan bisa berubah dari agresif persahabatan, menjadi kekerasan (violence).
Saat itulah ortu anak laki yang berperilaku tidak menghargai teman lakinya, menasihati, bahwa anak tersebut sudah melanggar batas. Yakni, niat tidak menghargai teman itu adalah menyakiti (hati) temannya. Itu perilaku salah. Karena, anak yang tersakiti bakal membalas. Akhirnya terjadi kekerasan. Bisa brutal. Karena mereka keturunan pemburu mammoth.
"Bergurau keras secara fisik, biasa bagi laki. Di situlah mereka menjalin sahabat. Dalam damai. Tapi kalau niatnya menyakiti, itu melanggar batas," tegas Dent.
Pelajaran paling menarik dari buku Dent adalah ini: "Teman bukan milikmu. Sehingga kelak, pacar atau pasangan romantis, juga bukan milikmu. Mereka (pacar) mungkin memilihmu untuk menjalin hubungan. Dan, ya... pada saat itu pacar memperlakukanmu istimewa. Kamu adalah segalanya. Tapi, begitu hubungan itu bubar, pacar tidak berutang apa pun padamu."
Jadi, mengelola penolakan pertemanan di awal kehidupan (balita) dan membantu anak laki memahami 'kepemilikan', sangat penting. Jika pelajaran ini diberikan, maka laki ini setelah remaja dan dewasa kelak, sudah jago manajemen diri. Terhadap mantan pacar, ia tidak bakal menguntit, melecehkan, atau kekerasan fisik. Akhir hubungan teman adalah biasa. Teman datang dan pergi secara bebas. .
Juga, dilarang membuat teman menghamba, karena sering diberi sesuatu. Misalnya, permen. Karena jika itu dilakukan, maka anak yang ortunya miskin bakal menghamba pada anak yang ortunya kaya. Itu terjadi kalau, si anak kaya suka memberi permen pada anak miskin, dengan niat dalam hati untuk memanfaatkan.
Terakhir, jika suatu saat anak laki berkelahi lawan laki (karena keturunan pemburu mammoth) maka harus seimbang. Dalam hal usia dan bobot tubuh. Juga, sama-sama siap bertarung. Seperti dalam aturan pertandingan tinju. Dan, stop ketika lawan mengaku kalah. Seperti dalam duel Mixed Martial Arts (MMA) petarung yang menyerah melakukan tap. Memukul-pukul lantai atau badan lawan. Kode stop.
Itu tidak terjadi pada Mario versus David. Juga pada jutaan anak laki Indonesia yang membully teman dengan cara tidak seimbang. Tidak ksatria. Cuma, karena jutaan anak laki pembully dan yang dibully itu bukan 'anak siapa-siapa', maka lenyap bagai tertiup angin. Karena syarat utama keadilan jaman now adalah viral.
Pastinya, ortu Mario, terlebih David, sangat sedih sekarang. Segalanya tak seperti dulu lagi. Hancur-hancuran. Bisa jadi mereka sadar, bahwa mereka alpa mendidik anak secara benar dan beradab. Atau justru bermusuhan lebih gila lagi.
*) Penulis adalah Wartawan Senior
Advertisement