Mari Bermain-main dengan Survei
SEPANJANG siang hingga malam kemarin (15/4), jagat dunia maya diramaikan kontroversi publikasi hasil jajak pendapat Pilkada DKI putaran kedua. Yang menjadi sorotan adalah hasil publikasi dari jajak pendapat Charta Politika yang digawangi oleh Yunarto Wijaya.
Charta Politika memang tampil beda. Mereka satu-satunya lembaga yang merilis hasil Ahok-Djarot akan memenangkan Pilkada DKI dengan perolehan suara 47.3 persen, sementara Anies-Sandi 44.8 persen. Ada selisih suara 2.5 persen.
Bandingkan dengan lima lembaga survei lainnya yang juga telah merilis hasil sigi mereka. Semuanya memenangkan Anies-Sandi. Bedanya hanya di rentang selisih suara. Yang terendah 1 persen dan yang tertinggi 9 persen. Median Ahok-Djarot memperoleh 47.1 persen, Anies-Sandi 49 persen.
SPIN Ahok-Djarot 43 persen, Anies-Sandi 52 persen. Indikator Ahok-Djarot 47.4 persen, Anies Sandi 48.2 persen. LSI Denny JA Ahok-Djarot 42.7 persen, Anies-Sandi 51.4 persen. SMRC Ahok-Djarot 46.9 persen, Anies-Sandi 47.9 persen
Kok bisa begitu? Pertanyaan ini wajar muncul. Sebab dengan metode yang sama, harusnya selisih angkanya tidak terlalu jauh, atau malah terbalik seperti yang dihasilkan oleh Charta Politika. Apalagi pelaksanaan surveinya dilakukan pada waktu yang relatif sama yakni pada hari-hari terakhir kampanye putaran dua.
Siapa yang sedang bermain-main dengan data survei? Secara kasat mata banyak yang curiga dengan publikasi Charta. Ini menjelaskan mengapa Yunarto Wijaya banyak di-bully di media sosial.
Ada alat ukur sesungguhnya untuk menilai apakah publikasi jajak pendapat Charta dilakukan secara serius atau main-main. Pertama, waktu publikasi. Kedua, siapa yang membiayai dan untuk kepentingan siapa mereka bekerja. Ketiga, berkaitan dengan rekam jejak.
Waktu publikasi, mengapa Charta memilih waktu publikasinya pada saat hari terakhir kampanye? Pada waktu Pilkada putaran pertama Charta tercatat melakukan beberapa kali survei, sementara pada putaran kedua hanya sekali survei.
Ini agak mengherankan bila mengingat betapa krusialnya Pilkada putaran kedua. Bandingkan dengan Median dan LSI Denny JA yang melakukan surveinya sebanyak dua kali.
Pilihan publikasi pada hari terakhir kampanye dan dengan angka kemenangan Ahok-Djarot agaknya sengaja dipilih untuk mendongkrak moral para pendukungnya yang panik. Mereka dibombardir berbagai hasil survei dari lembaga lain, dan jagoannya kalah.
Dalam bahasa pasaran tugas Charta membuat lapangan menjadi becek. Opini setidaknya menjadi terpecah. Dengan air yang keruh, kita bisa tinggal menangguk ikannya.
Siapa yang membiayai? Dalam publikasinya Charta menyebut bahwa survei dilakukan dengan biaya sendiri. Pernyataan ini penting untuk menunjukkan bahwa mereka bertindak independen. Soal ini harus dipertanyakan dan kalau perlu dilakukan audit keuangan terhadap mereka.
Selama ini Charta diketahui sebagai konsultan pasangan Ahok-Djarot. Pada saat AKSI 212 berlangsung, beredar luas foto Yunarto Wijaya sedang berselfie ria bersama Ahok dan ketua tim pemenangannya Prasetyo Edi Marsudi yang nota bene adalah Ketua DPRD DKI dari PDIP.
Lembaga survei/pollster yang merangkap menjadi konsultan ini memang menjadi persoalan serius dan komplikasi. Di Indonesia muncul suara keras dari DPR agar ada pembatasan. Jika mereka menjadi konsultan maka mereka seharusnya dilarang mempublikasikannya karena cenderung bias dan tidak fair.
Kalau toh fair maka publikasi surveinya dicurigai sebagai opinion building. Dengan jajak pendapat mereka mencoba membangun opini publik dan mendorong para pemilih untuk memilih jagoannya.
Di AS yang praktik demokrasinya lebih matang seorang pollster memang boleh merangkap sebagai konsultan, tapi harus diingat tradisi mereka sudah lebih lama dan aturannya lebih jelas. Kendati begitu perangkapan “jabatan” itu sering menimbulkan persoalan.
Salah satu pollster yang merangkap konsultan adalah Dick Morris yang dikenal sangat kontroversial. Kasus yang ditangani dan sangat terkenal adalah ketika Presiden Bill Clinton terlibat skandal sex dengan seorang perempuan magang di Gedung Putih bernama Monica Lewinsky. Kasus ini dikenal sebagai Monica gate.
Pada saat kasus tersebut meledak, sebagaimana ditulis oleh Michael A Genovese dalam buku Polls and Politics : The Dillema of Democracy, Clinton ditekan oleh para penasehatnya untuk mengaku secara terbuka kepada publik, karena fakta perselingkuhan tersebut sangat kuat.
Clinton segera berpaling kepada Morris, yang kemudian menyarankan agar dilakukan jajak pendapat. Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa mayoritas rakyat AS percaya berita tersebut sebagai sebuah kebohongan. Setelah membaca hasil tersebut, atas saran Morris, Clinton bicara kepada rakyat AS bahwa dia tidak bersalah. Sebagaimana kita ketahui, Clinton kemudian luput dari impeachment.
Jadi jajak pendapat bisa menjadi pembenaran sebuah kebohongan. Kata kuncinya adalah apa persepsi publik. Tidak ada urusannya benar atau salah. Sama halnya dengan tingkat kepuasan publik terhadap Ahok yang tinggi seperti banyak direkam oleh lembaga survei.
Itu hanya persepsi publik, faktanya bisa saja benar atau malah sebaliknya. Sekali lagi itu persepsi yang sangat berkaitan dengan asupan informasi yang mereka terima dan serap. Pemberitaan media yang massif dan kampanye melalui sosial media yang terus dijejalkan, bisa mengubah persepsi seseorang. Itu kunci keberhasilan Ahok sehingga terbangun persepsi yang baik tentang pemerintahannya.
Di Indonesia dalam beberapa Pilkada bahkan Pilpres diketahui sangat banyak lembaga yang memainkan hasil surveinya untuk kepentingan klien. Soal ini perlu regulasi yang jelas, sehingga tidak perlu selalu muncul kehebohan, setiap kali ada perhelatan Pilpres atau Pilkada, karena adanya perbedaan hasil survei yang mencolok.
Selain mempengaruhi opini publik, survei yang tampil beda ini juga dicurigai sebagai justifikasi adanya praktik kecurangan dan money politics yang tengah disiapkan. Dalam beberapa hari terakhir dilaporkan adanya pembagian sembako secara massif di berbagai titik Jakarta.
Dengan survei yang tepat dan analisis data perolehan suara per-TPS pada pilkada putaran pertama, pembagian sembako dan money politics bisa sangat efektif dilakukan. Dalam sebuah survei pertanyaan tentang apakah yang dapat mengubah pilihan Bapak/ibu, termasuk di dalamnya adalah soal pemberian uang/sembako, menjadi salahsatu yang ditanyakan para tenaga survei di lapangan.
Dengan dasar survei tersebut, tim lapangan tinggal bergerak untuk membagi-bagikan logistik apakah berupa sembako atau uang, sesuai dengan yang dikehendaki para pemilih. Hasilnya biasanya sangat efektif dan mereka akan mengubah pilihannya.
Perbedaan hasil survei tersebut bisa menjadi alarm yang menyala keras bagi tim Anies-Sandi tentang adanya skenario money politics dan kecurangan pada masa hari tenang.
Rekam Jejak. Harus diakui secara jujur untuk rekam jejak Charta lumayan bagus. Selama putaran pertama mereka mereka merekam pergerakan suara Agus-Silvy yang dominan di awal-awal pencalonan dan kemudian menurun jelang pemilihan. Begitu pula halnya dengan Ahok-Djarot mereka tepat memprediksi bahwa Ahok-Djarot bersama Anies-Sandi akan maju ke putaran dua dan Agus-Sandi tersingkir. Hanya pada survei yang dirilis pada akhir November 2016, Charta memprediksi bahwa Anies-Sandi akan tersingkir dan yang masuk ke putaran dua adalah Agus-Silvy dan Ahok-Djarot.
Publikasi kali ini menjadi pertaruhan bagi Charta. Mereka harus bisa membuktikan bahwa hasil survei mereka paling akurat. Jika tidak pertaruhannya adalah reputasi dan keberlangsungan lembaganya.
Mari kita tunggu siapa yang hidungnya memanjang. Dalam cerita anak-anak, ada boneka kayu bernama Pinokio yang hidungnya memanjang apabila dia berbohong. ***
*) Hersubeno Arief adalah Jurnalis Senior, Konsultan Media dan Politik
Advertisement