Marhaban Ya Ramadhan Karim
Oleh: As'ad Said Ali
Untuk menyambut bulan Ramadhan, kami akan berbagi pengalaman puasa di dua negara Arab: Arab Saudi dan Arab Syria. Kebetulan pernah mengalami puasa musim panas di Arab Saudi (A-S ) dan musim dingin di Syria (SY).
Pada musim panas di Arab Saudi, lama puasa sekitar 16 1/2 jam, sedang di negara kita 14 jam. Jam kerja mulai jam 10 sampai dhuhur. Buka puasa menjelang pukul 8 dan Salat Tarawih selesai pukul 11 malam. Sehabis Ashar, sebagian kerja lagi sampai menjelang Maghrib. Pasar dan toko buka setelah Salat Tarawih sampai menjelang Subuh. Menyenangkan, malam menjadi siang, siang seperti malam, siang waktu tidur.
Makanan berlimpah di mesjid ketika buka puasa. Di halaman masjid digelar plastik dan tikar panjang, kita duduk dalam banyak lingkaran mengitari makanan. Suasana persaudaraan dan jiwa sosial sangat kental, walaupun baru kenal langsung akrab, “damai - makan gratis telah tersedia“.
Ada juga yang membawa makanan dari rumah, tetapi juga untuk makan bersama. Saya lebih sering nebeng, karena dianggap musafir. Ada juga makanan khas yang keluar hanya waktu Ramadhan yaitu “sambusak", sejenis pastel tetapi isi daging kambing.
Ketika Idul Fitri pada tahun 1984, terjadi kesalahan bilangan hari puasa. Pukul 2 malam pemerintah mengumumkan esok hari Idul Fitri padahal puasa baru 28 hari. Terjadi kekeliruan penentuan 1 Ramadhan, sehingga harus meng-kadho puasa. Arab Saudi mendasarkan perhitungan bulan hanya dengan metode ru’yah, tidak didukung hisab, karena hisab dianggap bid’ah. Ru’yah hilal hanya berdasarkan laporan masyarakat, terutama orang Baduy yang tinggal di padang pasir, kalau mereka salah lihat menjadi persoalan.
Lain lagi dengan Arab Syria, kebiasaan puasa hampir sama dengan Indonesia. Walaupun musimnya berbeda dengan kita karena mengalami 4 musim, sehingga lama puasa juga bebeda. Tetapi mazhab (aqidah dan fiqh ) sama, sehingga cara praktek, ibadahnya sama. Di Damaskus Salat Tarawih dan witir 23 rakaat. Di Arab Saudi, di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi juga 23 rakaat. Tetapi di luar kedua masjid itu, sebagaian ada yang 23 rakaat dan ada yang 11 rakaat khususnya mesjid di lingkungan pasar dan kawasan perdagangan. Perbedaan yang diperbolehkan.
Berbeda dengan Arab Saudi pada waktu siang hari seluruh toko tutup, di Syria sama dengan Indonesia. Mungkin karena Syria dan Indonesia jumlah non-Muslim cukup besar, di Syria sekitar 10:% beragama Nasrani (Katolik, Protestan, Ortodox Syiria, Armenia) dan sekitar 10 ribu pengikut Yudaisme (agama Yahudi ). Yang berbeda jumlah jam puasa waktu musim dingin, saya mengalami puasa sekitar 12 jam, kalau musim panas lebih panjang. Siang hari pasar buka seperti biasa, hanya tutup lebih awal.
Barangkali yang sama adalah suasana spiritualnya, kita saling menahan diri, bukan hanya menjauhi makanan, tetapi menahan diri dari iri hati dan dengki, dan mulut tidak bicara yang tidak baik.
Beda dengan di negara kita, Idul Fitri di negara Arab kalah meriah dibanding Idul Adha. Saling kunjung antarkeluarga seperti hari hari biasa, tidak meriah. Selama 8 tahun lebih di negara Arab, saya belum pernah mendengar istilah “Halal Bihalal”, sesuatu yang khas Indonesia (budaya). Idiom atau istilah seperti itu tidak dikenal di tanah Arab, karena yang menciptakan adalah kiai Indonesia, sehingga suatu yang khas Indonesia (yang dimaknai maaf-memaafkan).
Suatu khazanah budaya, misalnya istilah “Islam Nusantara". Islam menyebar dari tanah Arab yang berkembang di Indonesia, sehingga terjadi silang budaya, lahirlah transformasi budaya seperti “budaya halal bhalal".
Adapun aqidah dan praktik ibadah tetap seperti negeri asalnya. Kalaupun ada sedikit perbedaan praktik beribadah, hal itu terkait perbedaan mazhab khususnya soal perbedaan mazhab fiqh.
Marhaban ya Ramadhan Karim.
KH DR As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2015, tinggal di Jakarta.