Margiono, Makan Enak dan Jurnalisme Judul
Badannya yang sudah gendut tak mengurangi kebiasaannya makan enak. Itu berlangsung bertahun-tahun. Sejak saya mengenal Margiono, awal tahun 1990-an.
Saat itu ia sudah menjadi Redaktur Pelaksana Jawa Pos. Sebelum ditetapkan menjadi Pemimpin Redaksi menggantikan Dahlan Iskan. Dengan sebutan Pimred sehari-hari.
Saat itu ia memang sudah mengerjakan pekerjaan seorang pemimpi redaksi. Hanya karena zaman Orde Baru tak gampang mengganti pimpinan koran, maka keluarlah istilah Pimred sehari-hari. Hanya di Jawa Pos.
Margiono adalah generasi kedua Jawa Pos baru setelah Dahlan Iskan. Usai koran yang semula milik komunitas Tionghoa itu diambil alih Grafiti Press, penerbit Majalah Tempo.
Ia seangkatan dengan Nani Wijaya dan Solihin Hidayat. Kini tinggal Nani yang sehat dan segar bugar. Solihin meninggal akibat stroke yang diderita cukup lama, beberapa tahun lalu.
Kali pertama saya mengenal Margiono ketika Jawa Pos mensponsori seminar NU-Muhammadiyah yang digelar Yayasan Cordova di Yogyakarta. Saya dan Yahya Cholil Staquf, kini Ketum PBNU, jadi panitianya.
Seminar yang mendatangkan tokoh-tokoh utama kedua ormas Islam itu juga menjadi pintu saya menjadi wartawan Jawa Pos. Karena itu, saya direkrut menjadi wartawan freelance di koran tersebut.
Tiga tahun kemudian saya ditarik ke Surabaya. Menjadi redaktur halaman Indonesia Bagian Timur. Selama setahun lebih. Saat itulah mulai intens bersama Margiono yang pernah menjadi Ketua PWI untuk dua periode.
Saya termasuk wartawan yang sering diajak menemani makan. Juga menemani cangkrukan ketika usai deadline. Ngopi di beberapa tempat yang menjadi langganannya.
Saya selalu menjadi enak makan jika bersamanya. Sebab, ia memang penyuka makan. Ia selalu pesan lebih dari satu porsi di awal. Makan apa pun juga. Demikian juga pesan lebih satu gelas es teh dari awal.
Apa saja dimakan. Baginya, hanya ada rumus makan di lidahnya: enak dan enak sekali. Cara makan dia di waktu muda itulah yang antara lain membuatnya menderita gula darah akut. Ia sempat tobat sehingga pernah sehat.
Saya mendapatkan kekayaan jurnalistik juga darinya. Terutama dalam pemilihan angle, judul, dan bahan liputan. Ketika masih jadi wartawan, ia pernah menghitung lubang jalan raya di Surabaya dan jadi berita.
Kepiawaian dia dalam membuat judul amat dahsyat. Sebelum zaman media online-online marak. Sebelum ada tradisi orang membuat judul clickbait sekarang ini. Yang jadi andalan media siber menguber pembaca.
Kepiawaiannya itu yang kemudian menjadi modal ia membesarkan Rakyat Merdeka. Koran kuning politik yang dibangun dengan jurnalisme judul. Bukin judul dulu baru dicarikan faktanya sesuai dengan judul.
Keberaniannya itu yang membuat ia besar. Termasuk berani pasang badan dipanggil untuk majalah yang sedang berurusan dengan polisi. Ini yang diceritakan Bambang Bujono melalui Made Sagra Suarjana.
Bambang Bujono adalah eks senior wartawan Tempo yang pernah menjadi Pimred Majalah D&R. Sedangkan Made S Suarjana adalah teman saya yang dulu staf LP3Y Yogyakarta. Ia pernah saya kenalkan Margiono suatu ketika.
Majalah D&R menjadi tempat penampungan eks wartawan Tempo setelah dibreidel Soeharto. Majalah bermasalah dengan polisi setelah membuat sampul gambar Soeharto sebagai raja (king) di kartu skop.
Zaman itu, yang menyinggung sedikit Presiden Soeharto pasti berurusan dengan polisi atau tentara. Minimal akan distrap atau istilahnya "diwawancara" alias diinterogasi. Kalau berat kesalahannya dibreidel.
Margiono sebagai salah satu petinggi Jawa Pos dipinjam namanya menjadi Pimred D&R. Tidak pernah mengelola. Bahkan, kata Bambang Bujono, ia tidak pernah menginjakkan kakinya sekali pun di kantor majalah itu.
Tapi Margiono pasang badan ketika berurusan dengan polisi akibat karya jurnalistik majalah itu. Ia pun mengaku siap bertanggungjawab terhadap cover nakal itu meski ia tak membuatnya.
Kepada Bambang, ia hanya minta dibantu doa saja. Margiono mengaku sudah minta tolong kiai di Kediri dalam menghadapi kasusnya di kepolisian ini. "Entah karena doa kiai ini atau apa, yang pasti masalahnya tak berlanjut," kata Bambang.
Untungnya juga, kasus sampul majalah Soeharto Raja itu tak berlanjut. Sebab itu terjadi menjelang Soeherto lengser. Kasus itu menjadi perhatian polisi karena laporan Departemen Penerangan yang dibubarkan pemerintah pascareformasi.
Margiono yang "pemakan" lahap dan wartawan kreatif nan usil itu kini tak lagi pesan makanan berlebih. Apalagi yang enak-enak. Juga tidak bisa memelihara keusilannya dengan membuat judul berita yang aneh-aneh.
Tadi pagi, 1 Februari 2022, ia pergi ke dunia keabadian setelah seminggu merasakan sesak napas dan masuk ICU. Selamat jalan Bos Margiono. Saya banyak belajar menjadi wartawan usil dari sampeyan.