Maradona Tetap Dewa Napoli
Di Napoli, Diego Maradona adalah dewa yang nyaris harfiah. Ia disebut "Bayi Yesus". Seorang perawat mencuri tabung darahnya dan meletakkannya di gereja. "Dia telah memilih kami. Dia telah menyelamatkan kami," kata seorang warga.
Provinsi miskin di selatan Italia itu menyambut Maradona dengan gegap gempita di pertengahan 1980an. Ia datang dengan memecahkan rekor bayaran atas namanya sendiri, setelah meninggalkan klub Barcelona dalam kondisi prestasi yang cukup suram. Warga dan para pejabat Napoli mengumpulkan uang untuk memberikan harga yang dimintanya, 10,5 juta dolar.
Hasilnya melampaui harapan. Pecundang abadi itu tiba tiba menjadi juara Italia seri A berkat kehadirannya. Sejak itu ia dipuja. Sebuah patung besar didirikan di tengah kota. Napoli bahkan berhasil menjuarai Piala Eropa, sesuatu yang tak terbayangkan oleh siapapun sebelumnya. Ia sendiri kadang mengeluh dengan kondisi Napoli. "Saya minta rumah, dikasih flat", katanya. "Saya minta Ferrari, dikasih Fiat."
Ia membuktikan bahwa kehadiran satu orang mampu mengobarkan semangat tim, membuat para anggota lainnya mengerahkan kemampuan terbaik mereka. Dan Maradona terus menularkan energi ajaib dan menginspirasi mereka selama tujuh musim. Napoli, yang dijuluki "tukang jahit Italia," tak lagi dipandang rendah. Daerah yang warganya dicitrakan "jarang mandi, kaum petani dan pengidap kolera," berdiri setara dengan warga kawasan makmur. Di final Seri A, Napoli bahkan mempermalukan Juventus, klub yang terkenal kaya.
Tapi itu sekaligus adalah masa ketika dirinya hilang, digantikan oleh sosoknya yang lain. Pelatih pribadinya, Fernando Signorini, menyebut ada beda antara Diego dan Maradona. "Saya akan membantunya hingga ke ujung dunia untuk yang pertama, dan saya akan menjauhinya sampai ke ujung bumi untuk yang kedua," katanya. Ia sadar ia telah berubah. Tapi, katanya, "kalau saya tidak jadi Maradona, saya akan tetap tinggal di Villa Fiorito" -- kampung miskin asalnya, di kawasan kumuh Buenos Aires.
Ia mulai menyentuh kokain. Ia diskors, tak boleh main selama 15 bulan, setelah ketahuan menggunakan sejenis steroid. Ia sering pulang larut malam dalam keadaan teler, lalu mengunci diri di kamar mandi agar tak bertemu anak dan isterinya.
Seorang wartawan dikecam dan digelandang keluar dari konferensi pers, ketika dia berani-beraninya bertanya kepada Dewa tentang hubungannya dengan kelompok mafia Camorra. Tapi sebetulnya bukan hanya si wartawan yang tahu koneksi itu.
Ia diketahui akrab dengan Carmine Giuliano, bos Camorra yang konon memperkenalkannya dengan narkotika. Ia sendiri mengagumi Giuliano, yang disebutnya Al Capone Artgentina. "Rasanya seperti dalam film," katanya dengan riang, mengungkapkan kekaguman karena dekat dengan sang don. Gosip beredar: melalui jaminan pasokan kokain itulah geng Camorra mengendalikan Maradona.
Kondisi mentalnya terus memburuk. Ia sendiri mengaku tak tahan dengan pemujaan terhadap dirinya yang kelewatan, dan ingin pulang ke Buenos Aires. Presiden Italia tak mengizinkannya; sambil mengaku bahwa dia sendiri adalah penggandrung Maradona. "Tak ada lagi yang bisa saya lakukan di sini," katanya. "Saya sudah membuat orang bahagia. Sekarang saya ingin mengakhirinya dengan lebih tenang di tempat lain."
Akhirnya ia tetap pulang, dalam suasana yang sangat berbeda. "Waktu saya datang, 85.000 orang menyambut saya," katanya. "Ketika pulang, saya hanya sendirian." Kedatangannya waktu itu memang adalah teater besar. Di tengah stadion San Paolo, ia turun dengan gemilang dari helikopter, disambut gemuruh histeria massa.
Pulang ke tanah air, ia terus menjadi berita di negerinya, meski kali ini terutama bukan soal sihir bolanya. Ia kerap bersuara lantang. Juga ketika bicara politik. Garis ideologinya berbalik, dari liberal ke sayap kiri; ia bertemu Fidel Castro dan Evo Morales; ia memuji Hugo Chavez. Ia mulai menyebut-nyebut "imperialisme Amerika", dan sempat berharap situasi membaik dengan kehadiran Obama sebagai presiden. Tapi badannya semakin "liberal". Ia pernah mencapai bobot 128 kilogram dan harus menyedot timbunan lemak melalui lobang di perutnya.
Dengan tubuh dan usia yang terus merambat naik, ia mendengar bisik-bisik yang semakin nyaring bahwa ia tidak bisa lagi bermain bola. Ia bukan membantah ejekan itu dengan suara. Di suatu kerumunan, ia datang, dengan setelan rapi, dan memainkan bola dengan kedua kakinya yang dicibir tak lincah lagi. Begitu lama bola itu ditahannya tanpa menyentuh bumi -- dan itu adalah bola tenis.
Tapi Dewa Maradona adalah Diego si wajib pajak di mata pemerintah Italia. Ia terus ditagih. Pemerintah menyimpan catatan terinci puluhan juta dolar utang pajaknya. Sampai akhir, Maradona tak mau membayarnya. Hanya Diego yang mencicil utang itu sebesar 42 ribu dolar, berikut sebuah arloji dan sepasang antingnya.
Bukan berarti rakyat Italia mengakhiri kisah cinta mereka dengan Maradona. Meski ia dibully habis ketika Argentina tampil melawan Italia di Stadion San Paolo -- penonton sampai meledek lagu kebangsaan Argentina ketika himne itu diperdengarkan menjelang pertandingan -- ia tetaplah Dewa Maradona, khususnya bagi warga Napoli. Jajak pendapat koran La Repubblica menyebut: ia adalah orang yang paling dibenci di Italia.
Tapi ia tetaplah Dewa Maradona. Mereka berduyun-duyun berdoa massal setiap kali ia dirawat di rumah sakit di negerinya. Dan sekarang, ketika dewa gempal itu pergi untuk selamanya, warga Napoli langsung mengusulkan agar stadion kebanggaan mereka diberi nama tambahan menjadi San Paolo Maradona. Rasanya tidak akan ada yang berani menunda peresmian nama baru ini.
Diego Armando Maradona adalah ilusionis sepakbola yang tak memenuhi prasyarat ideal untuk menjadi mahabintang. Namun, dengan tinggi 165 cm dan badan gempal, ia adalah dirigen penentu irama permainan di setiap lapangan tempat ia menari. Ia bagai anak panah plastis, yang sanggup berkelit lincah dengan kecepatan yang mengherankan.
Dan anak panah yang lentur itu bisa dalam sekejap menjadi kokoh, lurus, menerobos dengan tajam empat penghambat hebat, dan menyarangkan bola ke gawang lawan, membuat penjaganya baru tersadar beberapa detik kemudian.
Kali ini ia gagal menembus barisan belakang waktu. Ia sendirian -- seperti yang dikeluhkannya ketika ia meninggalkan Napoli. Ia tak tahu: bukan hanya 85.000 orang Napoli yang mengantarkannya, tapi seluruh warga dunia, yang pernah dibuatnya bahagia.