Manuver Pakde Karwo Berpaling ke Jokowi, Berani Tinggalkan SBY?
Beberapa hari menjelang pertemuan Prabowo Subianto dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur Soekarwo membuat manuver. Ia meminta agar Majelis Tinggi DPP PD mengusung Presiden Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2019.
Alasan Pakde Karwo --demikian ia biasa dipanggil-- cantik. Partai berlambang bintang Mercy itu perlu mengusung presiden incumben karena gubernur terpilih Khofifah Indar Parawansa yang diusung PD sudah mendukung Jokowi. Begitu unggul dalam quick count Pilgub Jatim, Khofifah langsung menyatakan siap menjadi juru kampanye Jokowi.
Pakde Karwo adalah gubernur dua periode yang diusung PD. Ia juga menjadi salah satu anggota Majelis Tinggi partai yang dipimpin SBY tersebut. Bahkan, ia merangkap menjadi Ketua DPD PD Jatim. Dua periode menjadi gubernur berada dalam naungan partai biru itu.
Karenanya, saat mengusulkan agar Partai Demokrat mengusung Jokowi dalam Pilpres mendatang, Pakde Karwo tak ingin sendiri. Selain menjadikan Khofifah yang pendukung Jokowi sebagai tameng, ia juga meminta mandat lewat Rakorda PD Jatim untuk menyampaikan usul tersebut.
Mandat Rakorda menjadi sangat penting. Dengan demikian, usul itu tidak lagi menjadi usul personal. Bukan hanya ide Pakde Karwo. Tapi juga usulan seluruh pengurus PD di Jatim. Tidak seperti Tuan Guru Bajang, Gubernur NTB yang menginginkan Jokowi menjabat dua periode secara personal.
Akankah Pakde Karwo mengikuti jejak TGB yang menyatakan mundur dari PD? Atau dia masih tetap bersama SBY dengan siapa pun partai yang pernah menjadi pemenang pemilu saat ketua umumnya menjadi presiden ini? Lantas bagaimana nasib Pakde Karwo jika kelak Jokowi dan SBY berlawanan jalur?
Birokrat Politisi Ulung
Pakde Karwo menjadi gubernur dengan modal sebagai birokrat karir. Sebelum menjadi orang pertama di Jatim, ia pernah menjadi Kepala Bappeda dan Sekdaprov. Ini adalah dua jabatan bergensi dan posisi puncak dalam karir birokrasi di tingkat provinsi.
Namun Pakde Karwo bukanlah seorang birokrat murni. Ia pernah dibina Golkar di jaman Orde Baru. Ia sempat mendapat sentuhan sesepuh Golkar Jatim Muhammad Said. Pak Said inilah yang membesarkan banyak politisi Jatim di masa Orde Baru, termasuk Pakde Karwo muda di awal karir birokratnya.
Partai Golkar adalah partai yang didirikan penguasa Orde Baru. Pilar utamanya pada masa itu dikernal sebagai sebutan ABG (ABRI, Birokrat, Golkar). Tiga jalur ini menjadi sumber kaderisasi di dalam Golkar untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan.
Melalui tiga pilar itulah, Golkar mampu mempertahankan diri menjadi penguasa di negeri ini selama 32 tahun pemerintahan Soeharto. Paska reformasi politik yang juga berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru, Golkar bermetamorfosis menjadi Partai Golkar.
Kader-kader Golkar akhirnya menyebar ke berbagai partai, termasuk partai baru yang lahir paska reformasi. Diantara partai baru yang menjadi pecahan Golkar antara lain Nasdem, Gerindra, Hanura, PKPI, dan kini Partai Berkarya. Lahir juga Partai Demokrat yang didirikan seorang jenderal TNI SBY.
Pakde Karwo bukanlah seorang birokrat murni. Ia pernah dibina Golkar di jaman Orde Baru. Ia sempat mendapat sentuhan sesepuh Golkar Jatim Muhammad Said. Pak Said inilah yang membesarkan banyak politisi Jatim di masa Orde Baru, termasuk Pakde Karwo muda di awal karir birokratnya.
Sedangkan PNI yang menjadi tempat bergabungnya kaum nasionalis-marhainis mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) pimpinan Megawati Soekarnoputri. Di lingkungan kelompok Islam lahir PKB, PKS, PAN dan tersisa dua partai warisan lama: PPP dan PBB.
Pakde Karwo yang semasa mahasiswa menjadi aktifis GMNI sebetulnya cenderung merapat ke PDIP ketika hendak menjadi calon gubernur. Saat itu, ia didukung penuh Gubernur Imam Utomo, mantan Pangdam Brawijaya yang sudah dua periode menjadi gubernur Jatim.
Sayangnya, ia terganjal oleh tokoh PDIP tulen Soetjipto yang memang dikenal menjadi ''diehard''-nya Megawati. ,.Meski mendapat dukungan besar dari cabang-cabang PDIP, partai berlambang kepala banteng moncong putih ini mengusung Soetjipto dalam pilgub 2008.
Atas bantuan Imam Utomo yang juga seorang jenderal, Pakde Karwo akhirnya tetap bisa bertarung menjadi calon gubernur lewat Partai Demokrat. Inilah awal persentuhan Pakde Karwo dengan SBY sebagai pendiri dan pengendali partai yang juga Presiden RI sejak 2004 ini.
Lewat partai itu, Pakde Karwo bisa menjadi orang pertama di Jatim dua periode menggantikan Imam Utomo. Jadilah ia seorang birokrat karir yang kali pertama menjadi Gubernur Jatim. Ia bukan politisi murni. Tapi juga bukan birokrat 24 karat. Ia birokrat yang pernah mendapat didikan politik dari suhu politik Jatim masa lalu, Muhamad Said.
Lantas kemana Pakde Karwo akan berlabuh setelah selesai menjalankan amanah sebagai Gubernur Jatim? Akankah ia terus berkarir di pemerintahan mendatang? Masihkah ia akan menjadi ''diehard'' SBY atau bisa berpaling ke orang lain yang memegang kendali kekuasaan paska Pilpres 2019
Belum ada konfirmasi pasti darinya. Yang muncul barulah pertanda-pertanda. Sinyal yang keluar, Pakde Karwo bisa saja berpaling Jokowi jika pria solo ini berhasil mempertahankan jabatan presidennya untuk periode kedua. Pernyataan yang meminta DPP PD mempertimbangkan mengusung Jokowi adalah salah satu pertanda.
''Saya mengusulkan ke pusat. Satu gubernurnya yang diusung Partai Demokrat sudah mengumumkan mendukung Pak Jokowi. Jadi itu harus menjadi pertimbangan DPP,'' katanya di depan peserta Rakorda PD, beberapa waktu lalu (21/7/2018).
Komposisi koalisi juga menjadi alasan Pakde Karwo agar DPP PD mencalonkan Jokowi. Menurutnya, dengan bergabungnya PKB dalam barisan pengusung Jokowi, maka peluang partai untuk membuat poros ketiga menjadi tertutup.
Membentur Politik Dinasti
Perkembangan politik paling mutakhir, SBY menyatakan telah sepakat dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk bergandengan tangan. Itu artinya, usulan Pakde Karwo telah bertepuk sebelah tangan.
Malah, pidato politik SBY usai bertemu Prabowo makin menegaskan jika partai yang dipimpinnya akan berseberangan dengan keinginan Pakde Karwo. Juga berlawanan dengan dukungan gubernur terpilih Khofifah yang telah dimenangkan di Jatim.
Jauh-jauh hari, SBY sebetulnya sudah merapat ke Jokowi. Sudah bertemu di istana. Agus Bambang Harimurti, anaknya yang menjadi ''jagoan'' baru Partai Demokrat juga sudah bertemu presiden. Malah AHY juga disebut sudah sangat intens berkomunikasi dengan Mensesneg Pratikno.
ia seorang birokrat karir yang kali pertama menjadi Gubernur Jatim. Ia bukan politisi murni. Tapi juga bukan birokrat 24 karat. Ia birokrat yang pernah mendapat didikan politik dari suhu politik Jatim masa lalu, Muhamad Said.
Karena itu, pidato politik SBY yang mengatakan bahwa banyak rintangan dirinya membangun koalisi dengan Jokowi membuat istana meradang. Juru bicara Kepala Staf Kepresidenan Dr Ali Mochtar Ngabalin langsung menanggapi pernyataan SBY tersebut.
''Pernyataan itu tidak baik. Seakan-akan tidak ada pertemuan sama sekali selama ini. Padahal sudah dilakukan pertemuan empat mata yang diketahui publik maupun yang tidak diketahui. Sudah ada gentlemen's agreement. Tapi Pak SBY mengakhirinya dengan cara seperti ini,'' katanya.
Ngabalin secara tiak langsung malah membongkar persyaratan koalisi yang disodorkan SBY. Dia menyebutkan kalau SBY perlu sabar untuk menjadikan AHY Cawapres. Tapi kalau menteri, Jokowi sudah menyediakan tempat bagi AHY jika Partai Demokrat mau bergabung dalam koalisi.
Mengkristalnya polarisasi hubungan SBY dengan Istana paska pertemuannya dengan Prabowo ini jelas tidak menguntungkan Pakde Karwo. Jalan menuju karir paska tidak lagi menjabat gubernur Jatim makin menyempit. Kecuali Pakde Karwo berani meninggalkan SBY.
Sebetulnya, sejak lama Jokowi berminat dengan kepiawaian teknokratis Pakde Karwo. Namun, loyalitasnya sebagai orangnya SBY menjadi salah satu rintangan. Seperti rintangan yang dibayangkan SBY untuk membangun koalisi dengan Jokowi.
Pilihan Pakde Karwo makin sempit juga untuk berkarir di Partai Demokrat. Sebab, SBY tidak akan mungkin memberikan tongkat estafet partai yang didirikan kepada orang lain, kecuali kepada keluarganya sendiri. Ibaratnya Pakde Karwo akan membentur politik dinasti SBY.
Modal politik Pakde Karwo juga makin berkurang ketika kelak ia sudah menyerahkan jabatan gubernur kepada Khofifah. Jokowi lebih efektif menggunakan gubernur yang menjabat sebagai mitra mendulang suara di Jatim dalam pilpres mendatang.
Pilihan Pakde Karwo makin sempit juga untuk berkarir di Partai Demokrat. Sebab, SBY tidak akan mungkin memberikan tongkat estafet partai yang didirikan kepada orang lain, kecuali kepada keluarganya sendiri. Ibaratnya Pakde Karwo akan membentur politik dinasti SBY.
Tangan untuk menjangkau pemilih muslimat ada di Khofifah. Jejaring untuk merangkul suara kaum nasionalis ada di PDIP. Alat untuk merangkul pemilih kekaryaan ada di Golkar. Dari sini ruang Pakde makin berkurang.
Bagaimana dengan para kiai dan jaringan alumni pesantren? Pengingkaran Pakde Karwo terhadap kesepakatan dengan para kiai sepuh untuk membantu menjadikan wakilnya Saifullah Yusuf sebagai gubernur, membuat legitimasi dia di mata para kiai menjadi lebur.
Apalagi kalau kelak Jokowi merangkul Gus Ipul dalam pemerintahannya. Bisa saja, Jokowi memberikan tempat kepada Gus Ipul yang berhasil mendaur 9 juta suara dalam Pilgub Jatim kemarin. Merangkul Gus Ipul dan menyatukan dengan Khofifah dalam mengamankan suara di Jatim akan lebih efektif.
Gus Ipul lebih bisa diandalkan untuk merawat dan merangkul para kiai sepuh yang memang selama ini menjadi basis utama dukungannya. Juga bisa lebih luwes menghidupkan kembali jaringan alumni pesantren di Jatim untuk kepentingan Jokowi mendatang.
Jika ini terjadi, maka ruang Pakde Karwo untuk mengelar karpet merah menuju lingkaran Jokowi akan makin sempit. Tapi sekali lagi, Pakde Karwo adalah birokrat politisi yang lihai. Bisa saja, manuver berikutnya membuka jalan lebar untuk karir berikutnya. (Tim Redaksi Ngopibareng)
Advertisement