Manusia, Islam dan Sains, Ini Sikap Muhammadiyah
Ketua Umum PP Muhammdiyah, Haedar Nashir mengegaskan, poin penting dari Pandemi Covid-19 saat ini, semua warga dunia termasuk di dalamnya warga persyarikatan Muhammadiyah berupaya dengan beragam cara dan perspektif berupaya bergotong royong. Hal itu dalam menangani dampak wabah supaya tidak meluas.
"Sebab, kurang lebih empat bulan, korban akibat Covid-19 sudah lebih dari tujuh juta orang," tutur Haedar Nashir, Sabtu 18 Juli 2020.
Penegasan Haedar Nashir ini, terkait dengan penyenggaraan Sidang Tanwir Muhammadiyah, digelar secara daring, Minggu 19 Juli 2020.
Memang, kata Haedar, ada juga yang berdebat, bahwa tingginya angka kematian tersebut tidak selalu akibat Covid-19 sebagai variabel tunggal.
"Apa pun itu, nyawa manusia tetap punya kemuliaan tersendiri," tuturnya.
Perdebatan mengenai apakah tingginya angka kematian itu punya variabel lain, tidak bisa menggantikan nyawa orang-orang terkasih yang lebih dahulu berpulang meninggalkan kita semua. Bukankah nyawa manusia tetap menjadi taruhan?
"Persisnya, kita perlu menggeser perdebatan itu menjadi lebih manusiawi dan bertanggungjawab. Itulah yang pandemi ajarkan buat kita," kata Haedar.
Bahkan bagi kaum Muslimin, kita semua mengimani firman Allah Swt dalam Surat Al-Maidah ayat 32, yang berarti: “Barang siapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.”
Allah Swt, sang pemilik kehidupan dan penguasa atas segala ilmu pengetahuan mendorong manusia supaya memelihara kehidupan. Dalam Al-Qur’an, nyawa manusia memiliki kemuliaan yang sangat tinggi.
Karena itu, maka kita (manusia) sebagai khalifah di muka bumi tentu juga harus menghargai nyawa manusia.
Karena itu, musibah ini baik dalam konteks agama, sains, politik, ekonomi dan kebijakan tidak bisa dipahami melalui angka. Misalnya bahwa angka kematian akibat Covid-19 bisa disandingkan dengan jumlah kematian akibat diabetes, atau bahwa angka pengangguran masih tidak bisa menggoyahkan stabilitas ekonomi dan lain sebagainya.
"Banyak orang berdebat mengenai mengapa kita harus berlebihan menanggapi Covid-19 ini. Kita memang bersandar pada sains, sebagai ikhtiar memahami situasi musibah dan penderitaan manusia. Tapi bukan berarti bahwa perdebatan terhadap angka tersebut harus dipisahkan dari sikap pemuliaan pada “jumlah” korban nyawa manusia," tutur Haedar Nashir.
Perspektif sains dan agama harusnya berguna bagi manusia untuk mengembangkan kebijaksanaan dan keadaban. Pandemi ini mengajak kita berpikir secara berbeda mengenai apa makna kehidupan bagi dunia modern.
Bagaimana kita memahami nyawa dan ekosistem melalui cara yang lebih baik.
Sehingga kita bisa lebih maju lagi bahwa peperangan, kekerasan dan segala bentuk pengrusakan kehidupan yang berdampak pada kematian satu nyawa saja berarti tragedi dalam kemanusiaan.
Apa pun alasan di balik itu semua, termasuk bagaimana hal tersebut dikonstruksi, tidak berarti apa pun kecuali nyata mengantar pada kemusnahan nyawa kehidupan. Karena itu, cara pandang yang menyederhanakan jumlah korban hanya karena “variabel” lain yang dianggap lebih menjadi penyebab kematian, justru berlawanan dengan semangat memelihara kehidupan.
Di balik cara pandang tersebut, tersimpan kenekatan tanpa dasar dan bersimpatik pada situasi. Cara pandang seperti itu pula menampakkan “keberanian” yang salah kaprah, membelakangi akal sehat.