Manusia Gerobak, Pilihan Hadapi Kerasnya Hidup di Jakarta
Awalnya berharap bisa hidup sejahtera di Jakarta memiliki rumah mewah, ke mana-mana naik mobil. Setidaknya seperti drama Korea yang menjadi tontonan kesukaan ibu-ibu termasuk suaminya.
Dengan bekal uang hasil penjualan tanah peninggalan orang tuanya, Udin bersama istri dan anak semata wayang, meninggalkan Indramayu, Jawa Barat menuju kota metropolitan Jakarta.
Beberapa bulan di Jakarta masih bisa hidup mentereng, dengan uang sisa penjual tanah yang ia bawa dari desanya. "Memasuki bulan ke lima hidup saya mulai goyang. Uang semakin menipis, pekerjaan yang ajeg belum ada," tutur Udin, salah seorang manusia gerobak di Jakarta.
Mendapat predikat atau sebutan manusia gerobak, karena di gerobak ia tinggal bersama istri dan anaknya secara berpindah-pindah mencari tempat yang aman.
Tinggal di rumah mewah dan ke mana-mana selalu naik mobil seperti yang diharapkan hanya tinggal mimpi dan penyesalan.
Selama 12 tahun hidup di Jakarta, hidupnya tidak semakin baik, tapi sebaliknya malah tambah sengsara.
"Saya sekarang menjadi pemulung dan mencari barang bekas dari rumah ke rumah, sekadar untuk makan," katanya, sambil menghela napas. Ia baru saja memarkir gerobaknya di bawah pohon, di kawasan Menteng Jakarta Pusat, Rabu 27 Maret 2024.
Belum sampai satu jam beristirahat setelah berkeliling, istrinya mengajak jalan, khawatir ada Kamtib, ceritanya jadi panjang. Sedang anaknya tertidur pulas di gerobak beralas kain sarung.
Manusia gerobak seperti Udin ini kerap ditemukan di berbagai sudut kota dewasa ini. Manusia gerobak identik dengan gerobak berukuran 2x1 meter sebagai alat bantu dalam mencari nafkah sebagai pemulung.
Fenomena manusia gerobak bukan saja disebabkan kemiskinan, tetapi juga karena masalah sosial dan budaya. Ada dorongan keinginan manusia gerobak untuk bisa bekerja di perkotaan.
Manusia gerobak menyadari situasi dan posisi mereka di perkotaan, serta narasi kehidupan yang keras dan lebih individualis.
Sebagai alat kerja, gerobak berfungsi sebagai pendukung pekerjaan memulung, tempat menyimpan barang-barang bekas dan alat transportasi. Sebagai rumah, gerobak juga adalah tempat tidur, mengasuh anak dan menyimpan barang-barang serta makanan.
Barharap Sedekah
Berbeda dengan cerita Wanto pemulung di Tanah Abang Jakarta Pusat. Terlihat di samping gerobaknya, anak Wanto tengah tertidur pulas beralaskan selembar tikar kertas. Wanto masih sibuk menata barang rongsokan yang dia pungut di sepanjang jalan.
Tampak raut lelah terpancar dari wajah pria yang berasal dari Banten itu. Satu per satu, barang rongsokan seperti kardus hingga botol plastik dia masukkan ke dalam gerobak yang berukuran tak lebih dari dua meteran persegi.
Wanto menekuni pekerjaan memulung lebih lama, sekitar 15 tahun. Dia tak punya pilihan lain mencari pundi-pundi uang di kampung halamannya, Banten. "Ya namanya bodoh (nggak bisa bekerja lain)," kata Wanto.
Bagaimana bisa melakoni pekerjaan memulung di Jakarta? Bermula ketika dirinya diajak rekannya di kampung halaman. Tawaran itu tak bisa ditolak lantaran dirinya tak punya pilihan mencari nafkah di Banten.
"Bingung, kalau ke sini kan cuma kakinya saja harus kuat. Kalau di kampung nangis, kerjaan nggak ada. Kerjaannya ngerambat setengah hari dibayar Rp 35.000. Mana cukup!" ucap Wanto.
Setelah menjalani aktivitas memulung, dia merasa nyaman lantaran pekerjaan itu tak menuntut macam-macam. "Ya rupanya kerjanya enak, ringan, ya lumayanlah untuk makan anak-anak cukup," ucapnya.
Dalam sehari, Wanto bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp70.000. Uang itu dia gunakan untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Kendati relatif kecil, dia tetap bersyukur akan pendapatannya. "Cukup nggak cukup ya gimana lagi," katanya.
Dua manusia gerobak ini kerap membawa buah hatinya memulung. Tujuannya agar ada orang yang iba kepadanya. "Yang penting bawa anak-anak biar dikasih Rp5.000 atau Rp10.000," katanya. Hari Jumat adalah hari yang ditunggu tunggu, pada hari banyak orang bersedekah uang maupun nasi kotak
Selama menjadi gerobak sudah tiga kali ditangkap Kamtib. Tetapi dilepas lagi setelah diberi peringatan dan melihat anak istrinya menangis memohon belas kasihan.