Manusia Domba, Ini Renungan Khas Abdillah Toha
"Presiden Jokowi ingin meyakinkan publik bahwa vaksin aman dengan bersedia disuntik pertama. Dasar pembenci, ada yang menebar isu suntikan ke Jokowi nanti suntikan palsu. Artinya presiden dituduh berniat mencelakakan rakyatnya sendiri. Sungguh manusia dengan otak yang sudah rusak berat karena benci yang mendarah daging."
Demikian Abdillah Toha menyampaikan renungan melalui media sosial, facebook, dikutip Minggu 20 Desember 2020.
Abdillah Toha, salah seorang pengurus Rabithah Alawiyah. Organisasi yang mewadahi kaum habaib di Indonesia. Dia sebenarnya patut dipanggil "habaib" sebagaimana belum lama ini dilakukan kalangan Nahdliyin saat berdiskusi dengannya. Namun, pendiri PAN -- kemudian keluar dari partai yang didirikan bersama Amien Rais itu -- menolak, karena merasa belum pantas dipanggil "habaib".
Karena itu, Abdillah Toha salah seorang yang kritis ketika kalangan habaib diciderai dengan citra kasar, suka mencela orang yang tak sepaham dengannya.
Meski tak lagi di panggung politik praktis, Abdillah Toha tetap mempunyai kegelisahan terhadap masyarakat, khususnya umat Islam. Ia kemudian menulis renungan di media sosial, termasuk di facebook.
Abdillah Toha pun menulis serangkaian renungan terbukukan dalam "Buat Apa Beragama?”. Berikut di antara renungan Abdillah Toha yang khas, berjudul "Manusia Domba".
Beda dengan domba, manusia ada karena berpikir. Aku ada karena aku berpikir (I think, therefore I am). Bila kita tidak menggunakan akal sehat maka kita akan wujud secara fisik tapi tidak exist sebagai manusia yang utuh. Kita akan menjadi domba peliharaan yang digembala oleh mereka yang lebih mendahulukan kepentingannya daripada kepentingan kita. Inilah tampaknya yang banyak terjadi belakangan ini saat kita dihadapkan kepada pilihan pilihan besar dalam hidup bernegara.
Domba digembala dan digiring dari samping kiri kanan dan dari belakang oleh gembala yang membawa tongkat untuk menakut-nakuti domba yang mencoba meninggalkan kelompoknya. Di Australia gembala domba dilakukan oleh anjing yang sudah terlatih untuk itu. Manusia domba yang tak berpikir, digiring dengan dijanjikan hadiah di ujung jalan sambil ditakut takuti dengan tongkat kebohongan bahwa mereka ada dalam bahaya bila tak mengikuti kelompoknya.
Manusia domba adalah manusia yang hidup untuk makan, bukan makan agar hidup. Manusia pesimis yang merasa harus merebut rumput sebelum dimakan domba lain. Manusia yang sholat karena takut neraka, bukan untuk melepas rindu kepada Sang Kekasih. Manusia yang tak mengenal makna hidup. Hidup adalah sekadar sebuah proses lahir-beranak-tua-mati-sorga- neraka.
Domba mendapatkan kekuatannya dengan berkelompok. Ketika digiring dari samping dan belakang, domba berebut berada ditengah tengah agar merasa lebih aman dan selamat dari pukulan tongkat penggembala. Begitu pula manusia domba. Ditengah tengah kelompok, mereka merasa lebih kuat dan aman untuk meneriakkan apa saja yang menjadi keyakinan kelompok. Pandangannya tertutup oleh tebalnya dinding kelompok.
Lain lagi dengan penggembala. Allah telah mengingatkan kita bahwa semua kita adalah penggembala (baca:pemimpin) dan pada waktunya kepemimpinan kita akan dimintai pertanggungjawaban. Pemimpin masyarakat, pemimpin keluarga, dan yang lebih penting, memimpin diri sendiri. Bila kita tak jadi penggembala maka kita akan digembala.
Penggembala ada berbagai jenis. Penggembala domba melihat domba sebagai daging dan bulu yang bisa mendatangkan keuntungan. Karenanya segala cara yang efisien dipikirkan untuk mempercepat datangnya untung dengan memproses pemotongan daging dan pencukuran bulu, bila perlu dengan mesin yang tak manusiawi. Penggembala domba lebih suka memelihara banyak betina yang memberi anak dan membiarkan hidup hanya sedikit domba jantan dan menyembelih sisanya.
Pemimpin manusia banyak yang tak beda jauh. Melihat manusia lain sebagai objek eksploitasi dan memperlakukannya sebagai domba peliharaan. Egoisme didahulukan, aturan hukum terpaksa diikuti namun bila perlu etika dan moral dalam koridor hukum dilanggar. Diri sendiri pun dianggap domba ketika yang diutamakan adalah kepuasan fisik, mengenyangkan perut dan mengumbar nafsu.
Tentu saja sekali dalam sekian puluh tahun kadang kadang ada pemimpin manusia yang sadar dan melihat diri dan kelompoknya sebagai domba tersesat dan bergegas mengembalikan mereka ke arah tujuan yang sebenarnya. Sayang sekali pemimpin jenis ini ketika muncul sering disalahpahami karena hilangnya akal sehat para domba dan dicurigai sebagai pencuri domba domba peliharaan orang lain. Bayangan akan kehilangan daging dan bulu domba yang sangat menguntungkan itu membuat mata penggembala lain gelap dengan melakukan apa saja yang mungkin untuk mengusir sang penggembala yang berniat baik itu.
Salah satu ciri penggembala yang buruk adalah penggembala yang bodoh, tak berpengalaman, dan tak mengenal lapangan. Penggembala jenis ini membawa hewannya ke padang rumput yang sudah habis dibabat domba domba milik penggembala lain. Atau penggembala yang menggiring dombanya ke arah fatamorgana jauh didepan agar para domba patuh mengikutinya untuk mengejar air yang hanya berupa bayangan.
Tak seperti hewan domba yang tak berakal dan sepenuhnya pasrah kepada penggembala, manusia domba sekali sekali akal sehatnya muncul dan sadar bahwa mereka sedang dimanfaatkan tanpa mendapat manfaat berarti buat dirinya. Sadar bahwa mungkin justru keburukan yang akan menimpa mereka. Bila ini terjadi biasanya keadaan sudah sangat buruk dan terlambat. Ketika memberontak untuk merombak tatanan, yang terjadi justru memperburuk keadaan.
Manusia bukan domba namun sebagian kita mendombakan diri dengan menyimpan akal sehat rapat rapat dan menguncinya didalam almari. Kita tak dilarang berkelompok asalkan dalam rangka kerja sama untuk kebaikan dan kemaslahatan. Kita boleh memilih pemimpin, namun pemimpin kita yang utama adalah akal sehat kita.
Wallah a’lam
*) Abdillah Toha, dalam buku “Buat Apa Beragama?”