Mantra Sumpah Pemuda
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
(Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember)
DULU, saat pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak, Malaysia mengadopsi ucapan resmi baru: “Salam satu Malaysia!”. Setiap memulai acara formal, apalagi di level nasional; salam ini selalu menggema, menyertai ucapan salam yang sudah ada: “assalamu’alaikum!”. Jelas, langkah ini positif sebagai bagian upaya pembangunan bangsa (nation-building).
Ketika berkunjung ke Penang, Malaysia; penasaran menyelimuti pikiran. Kala bertemu dengan sahabat dosen Malaysia, dengan nada joke saya bertanya: “Apakah isu persatuan di Malaysia belum selesai?”. Tak ada jawab dari sahabat itu.
Dalam sekejap, dengan sigap ia balik bertanya: “Apakah di Indonesia sudah selesai? Spontan saya menjawab: “Sudah! Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Persisnya sejak Sumpah Pemuda tahun 1928”. Kemudian, secara singkat saya ceritakan sejarahnya. Tak terduga, sahabat itu terpaku diam. Sumpah Pemuda bak sebuah mantra yang membuatnya tertegun.
Ekspresi wajahnya yang dibingkai kebungkaman menampar kesadaran saya. Persatuan Indonesia yang selama ini kita nikmati, dan mungkin kita rasakan “biasa-biasa” saja, ternyata di Mancanegara justru dipandang sebagai kemewahan. Tak pelak, imajinasi komparatif saya semakin menyeruak.
Belgia, misalnya, sebagai salah satu negara makmur di Eropa, tak punya bahasa ‘nasional’ resmi. Sampai kini, warga negara ini terbelah dalam pemakaian bahasa tetangga, yaitu bahasa Perancis dan Belanda. Sejarah mencatat pula, negara super power seperti Uni-Soviet juga runtuh akibat krisis multidimensi, dan kemudian terpecah menjadi 15 negara.
Aspek Sosio-Kultural
Secara komparatif, dalam aspek sosial-politik, negara yang relatif mirip dengan Indonesia adalah Yugoslavia. Selain multi-etnis seperti Indonesia, negara Balkan ini juga sempat diperintah secara otoriter hampir selama 3 dekade di bawah kepemimpinan orang kuat: Josip Broz Tito. Tapi, tidak seperti Indonesia, negara Yugoslavia berakhir tragis. Wafatnya Tito sebagai sosok pemersatu, diperburuk oleh krisis ekonomi dan konflik etnis, Yugoslavia akhirnya juga runtuh dan pecah menjadi 7 negara.
Bubarnya Yugoslavia, sempat membuat orang ragu tentang masa depan Indonesia. Setelah lengsernya Pak Harto tahun 1998, khususnya pada masa awal Reformasi; Indonesia juga mengalami krisis ekonomi, sosial, dan politik. Walhasil, dunia berspekulasi tentang masa depan Indonesia. The Washington Post, 4 Juni 1998, misalnya, menampilkan headline judul: “Will Indonesia be Balkanized?”. Reportase The Economist, 11 November 1999, juga bertajuk senada: “An Asian Balkan?”; memandang prospek Indonesia yang suram.
Argumennya, jalinan ragam bahasa, agama, dan etniknya yang komplek hanyalah “an artificial construct”. Bahkan, The Wall Street Journal 24 Februari 1999, memuat keraguan Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer, tentang kelestarian Indonesia. Dengan bahasa dengan nada menggurui ia menyatakan: “A break up of Indonesia is avoidable if rights are respected!”
Tapi, semua keraguan di atas tak terbukti. Sampai kini, Indonesia tetap utuh dan tegak berdiri! Kunci penjelasan misteri ini, nampaknya terletak pada karakter nasionalisme Indonesia. Meminjam istilah Robert Birrell (1995), Yugoslavia lebih mencerminkan sebuah 'cultural-nation'.
Konsep komunitas nasionalnya lebih berbasis pada parameter sempit dan ekslusif, terutama etnis. Tak heran, jika sepeninggal Josip Broz Tito, klaim Serbia atas haknya sebagai etnis utama telah mengkoyak negara ini.
Sementara itu, Indonesia lebih merupakan sebuah 'political nation'. Konseptualisasi komunitas nasional lebih didasarkan pada idealisme yang inklusif. Seperti tersurat dalam naskah keputusan kongres Sumpah Pemuda tahun 1928: “Kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini [Sumpah Pemuda] wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Menggelorakan keyakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoean-nya”.
Jelas, narasi ini merupakan refleksi dari suatu idealisme sosial dan keyakinan bersama peserta kongres sebagai representasi berbagai etnis di Nusantara. Meminjam narasi Ernest Renan, keputusan Sumpah Pemuda tersebut merupakan imaginasi kolektif tentang “bangsa” yang diidamkan.
Wujudnya merupakan perpaduan spiritual sekumpulan etnis yang bertransformasi menjadi sebuah solidaritas besar, yang secara moral bertumpu pada kemauan hati nurani.
Bagi saya, yang mengagumkan dari peserta Kongres Pemuda tahun 1928, adalah imaginasi politik mereka yang inklusif dan melintasi jaman. Tahun 2004, Clifford Geertz menyodorkan pertanyaan retoris yang menohok: “What Is a Country If It Is Not a Nation?” (Apa arti sebuah negara jika tidak mencerminkan sebuah bangsa). Selain substantif, pertanyaan retoris ini sangat kontemplatif sekaligus inspiratif. Saya memandang, semangat dan rumusan Sumpah Pemuda pada esensinya merupakan jawaban atas pertanyaan Geertz tersebut.
Tak bisa dipungkiri, kita selama ini dimanjakan dengan mewarisi kemewahan gagasan imaginatif tentang sebuah bangsa. Untuk kini dan kelak, tugas imperatif kita adalah merawatnya. Salah satu aspek yang mendasar adalah mencegah reduksi semangat inklusivitas Sumpah Pemuda. Caranya, antara lain, dengan menjauhi berbagai kegenitan politik yang kontraproduktif. Kadang, tanpa sadar, kita telah menyemai eksklusivitas dalam hidup berbangsa, yang mana justru mengasah perbedaan dari pada merajut kebersamaan.
Dalam konteks ini, meminjam kata-kata Sigmund Freud, adalah penting bagi kita untuk menghindari “narsisme terhadap perbedaan-perbedaan kecil” (the narcissism of small differences). Kalaupun perbedaan merupakan keniscayaan, sebagai konsekuensi logis Kebhinekaan, sudah selayaknya penyelesaiannya merujuk pada semangat inklusif Sumpah Pemuda. Jika tidak, kita akan dihadang pertanyaan lain yang tak kalah menyodok: "What Is a Nation If It Is Not a Consensus?".
Wallahu’alam.