Mantan Wartawan ’Surabaya Post’ Raih Gelar Doktor di FISIP UNAIR
Dewasa ini, independensi jurnalistik sedang mengalami ujian hebat. Idealisme untuk mempertahankan api jurnalistik, dalam praktiknya, banyak yang goyah akibat tergerus gempuran dunia lain, yaitu tekanan ekonomi (komersialisasi). Akibatnya jurnalistik dan praktik jurnalistik menghadapi dilematis hebat.
Itulah antara lain benang-merah yang bisa disimpulkan dari paparan disertasi Nanang Krisdinanto, Drs., M.Si., berjudul ”Runtuh dari Dalam, Tekanan Komersialisasi terhadap Pagar Api Jurnalistik di Indonesia”. Disertasi itu disusun dibawah bimbingan Promotor Prof. Dr. Hotman Siahaan, Drs., dan Co-Promotor Prof. Rachmah Ida, Dra., M.Com., Ph.D.
Berhasil mempertahankan disertasinya, baik dalam ujian tertutup dan ujian terbuka hari Selasa 16 Januari 2018, mengantarkan promovendus Nanang Krisdinanto meraih gelar Doktor Ilmu Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga. Mantan wartawan Harian Sore Surabaya Post ini lulus dengan predikat Dengan Pujian. Ia merupakan Doktor ke-204 Prodi S3 Ilmu Sosial FISIP UNAIR.
Menjawab tim penguji dalam Ujian Terbuka di Ruang Adi Sukadana FISIP UNAIR yang dipimpin Dekan FISIP Dr. Drs. Falih Suaedi, M.Si, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Widya Mandala itu menjelaskan, goyahnya usaha mempertahankan api jurnalistik itu membuat para jurnalis –baik sukarela atau “terpaksa” secara sistematis dan masif bisa ”meruntuhnya dari dalam” ruang redaksi
sendiri.
Mengapa, karena seakan menjadi sesuatu yang tidak terdiskusikan bahwa dalam gagasan jurnalistik, doksa jurnalistik yang kredibilitasnya dijaga oleh ortodoksa (pemisahan ruang redaksi dan ruang bisnis), mendapat tantangan dari heterodoksa yang menyinergikan antara ruang redaksi dan ruang bisnis.
Dalam penelitiannya, Nanang mengungkap, tidak sedikit jurnalis yang kompromistis dengan komersialisasi, sehingga mengesampingkan api jurnalistik (kepentingan publik). Hadirnya rezim komersial ini membuat posisi iklan menjadi penting dalam struktur pendapatan media, bahkan akan menentukan keberlanjutan hidup surat kabar.
Bagi pemasang iklan, hal itu akan menjadi satu metafor yang disebut ”advertisers muscle”. Metafor ini bisa memiliki kekuatan untuk mendikte, mengontrol, dan memengaruhi praktik jurnalistik. Hasil penelitian promovendus ini diakui oleh sebagian besar redaksi surat kabar bahwa advertisers muscle ini membahayakan, bahkan akan menghancurkan pagar api jurnalistik dari dalam (redaksi).
”Dengan kata lain, pagar api jurnalistik diletakkan pada posisi diametral antara ‘hidup dan mati’.
Mengembangkan gagasan yang oposisional bahwa mempertahankan pagar api jurnalistik berarti kematian surat kabar, sedangkan menerabas pagar api jurnalistik berarti keselamatan surat kabat,” tandas Nanang, bapak seorang putera ini. Atas temuan-temuan faktual dalam penelitian itu, Nanang mengkhawatirkan keberlangsungan (masa depan) jurnalistik. Hal itu tidak lain karena terjadinya berubahan doksa jurnalistik. Inilah yang menggoyahkan profesionalisme wartawan dalam melakukan praktik jurnalistik, atau yang selama ini bertumpu pada etika jurnalistik dan menjaga pentingnya independensi jurnalistik untuk kepentingan
publik.
”Dengan hadirnya kompromistis membuat posisi heterodoksa jurnalistik semakin menguat. Sebaliknya ortodoksa jurnalistik terus melemah. Jika ini yang menguat, maka suatu saat heterodoksa jurnalistik akan menjadi doksa jurnalistik. Artinya penerabasan pagar api jurnalistik akan dianggap praktik jurnalistik yang sah, normal, benar, dan diterima dengan tanpa perlu dipertanyakan,” kata Nanang.
Kondisi seperti itu, dalam waktu pendek bisa menguntungkan kalkulasi industri media, sebab ada keuntungan yang diraih dari iklan. Namun dalam jangka panjang akan merugikan karena media bisa kehilangan kepercayaan dari publik akibat kepentingannya diabaikan. Karena itu Nanang Krisdinanto berharap dunia persuratkabaran kembali menegakkan pagar api jurnalistik dan menjaga antara ruang redaksi dengan ruang bisnis. (bambang bes)