Mantan Koruptor Dilarang Maju Jadi Caleg, Eh....Ketua DPR-RI Malah Menuding Kebijakan KPU Ini Kurang Bijaksana
KPU akan melarang mantan terpidana korupsi maju menjadi calon legislatif. Para koruptor itu tidak layak mewakili rakyat lagi untuk melaksanakan fungsi yang lebih penting lagi misalnya membuat undang-undang atau mengesahkan anggaran.
Tetapi anehnya, justru Ketua DPR-RI Bambang Soesatyo dari Fraksi Golkar yang dipilih menjadi ketua dewan menggantikan Setya Novanto mempertanyakan kebijakan yang akan diterapkan KPU ini.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mempertanyakan langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersikukuh melarang mantan terpidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif, sehingga dirinya menyebut kebijakan tersebut kurang bijaksana.
"Kami mendukung KPU menciptakan hasil demokrasi yang bersih bebas dari korupsi namun bersikukuh menjegal mantan terpidana korupsi untuk menggunakan hak dasarnya sebagai warga negara untuk dipilih sebagai calon legislatif menurut saya kurang bijaksana," kata Bambang dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin 28 Mei 2018.
Dia menjelaskan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, telah mengatur bahwa mantan napi yang sudah menjalani masa hukuman 5 tahun atau lebih boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif selama yang bersangkutan mengumumkan diri ke publik mengenai kasus hukum yang pernah menjeratnya.
Bambang sependapat dengan pernyataan Wakil Ketua KPK Saud Sitomorang bahwa mantan terpidana korupsi boleh saja dicalonkan partainya jika memenuhi sejumlah syarat.
"Syarat tersebut antara lain bersangkutan harus menyatakan/mendeklarasikan secara jujur bahwa dirinya mantan napi korupsi, tidak dicabut haknya oleh keputusan pengadilan, melewati jeda waktu 5 tahun jika tuntutan di atas lima tahun, menunjukkan penyesalan dan berkelakuan baik selama menjalani tahanan serta tidak mengulangi perbuatannya," ujarnya.
Menurut dia, apabila KPU masih tetap bersikukuh, sementara dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPR, pemerintah dan Bawaslu pada Rabu (23/5), hasilnya tidak sepakat dengan usulan KPU karena tidak ada dalam UU Pemilu.
Bambang memiliki catatan terkait kebijakan KPU tersebut, pertama, sikap KPU itu terlampau berlebihan dalam membangun pencitraan lembaganya.
"UU sudah mengatur mengenai hak-hak seorang warga negara termasuk para mantan terpidana. Dan keputusan seseorang kehilangan hak-hak politiknya itu ada di pengadilan bukan diputuskan dalam aturan yang letaknya di bawah UU," katanya.
Dia menilai apabila KPU masih bersikukuh mengeluarkan aturan tersebut maka sama saja dengan melawan UU.
Kedua, menurut dia, dengan keputusan itu, KPU telah merampas hak-hak dasar warga negara untuk dipilih dan memilih.
"Seorang mantan narapidana setelah menjalani hukumannya dan kembali ke masyarakat maka hak dan kewajibannya sama dengan warga negara lainnya. Itu dijamin dalam konstitusi kita, kecuali pengadilan saat memutus perkara yang bersangkutan memutuskan pencabutan hak politiknya," ujarnya.
Selain itu, Bambang menilai KPU juga telah merampas hak warga negara yang akan memilih calon yang dijegal tersebut, mulai dari keluarga, kerabat hingga masyarakat dimana mantan terpidana itu berdomisili. (an/ma)